Saat berada di dapur, aku melihat ke depan. Ternyata Veka sudah tidak ada, mungkin setelah aku meninggalkannya. Dia tidak mengikutiku lagi. Bagus lah, semoga dia tidak pernah lagi ke sini.
Dering handphone mengalihkan pikiranku, tertera nomor ibu di layar. Aku langsung menekan tombol hijau.
"Hallo, Bu."
["Hallo, Arfa. Kamu bisa nggak, ke rumah sakit sekarang. kata dokter, kakakmu mau di pindahkan ke rumah sakit jiwa. Kalau kamu bisa, tolong temani ibu."]
"Iya, Bu. Aku bisa. Sekarang juga aku akan ke rumah sakit."
["Kalau begitu, kita ketemu di rumah sakit ya. Ibu juga baru mau ke sana."]
Ibu langsung menutup percakapan. Aku berdiri, menghampiri Tante Fatma. Sebenarnya, ada rasa tidak tega meninggalkan Tante Fatma sendiri. Sekarang masih sore, jangan sampai sebentar akan ada banyak pengunjung dan tante Fatma kewalahan. Coba tadi aku tidak mengusir Veka, dia bisa temani Tante Fatma dulu sampai aku kembali.
"Tante, aku izin pulang. Mau ke rumah sakit, jenguk Kak Tari," ujarku pada Tante Fatma. Saat ini aku sudah berada di sampingnya yang sedang mencatat pengeluaran.
"Bagaimana kabar Tari?" tanya Tante Fatma.
"Kak Tari sudah sadar," jawabku singkat. Tidak ingin menceritakan semuanya pada Tante Fatma.
"Benarkah?" Sepertinya Tante Fatma sangat terkejut. "Kenapa kamu tidak cerita ke tante. Kapan dia bangun dari koma?. Tante juga ingin menjenguk Tari, tetapi siapa yang akan menjaga warung … pergilah, tapi nanti ceritakan ke tante, keadaan Tari sekarang."
"Iya, Tante," tuturku, setelahnya langsung meninggalkan warung. Hanya dengan berjalan cepat, aku sudah tiba di rumah.
Aku memakai topi untuk menutup kepala dan masker untuk menutup wajah. Tanganku memasang airphone di telinga, lalu keluar dari rumah. Aku menggunakan sepeda agar cepat sampai. Dengan kemampuan bersepeda yang sangat cepat, aku bisa melewati banyak motor.
Setelah empat kali mendapatkan lampu merah, akhirnya sepedaku memasuki halaman Rumah Sakit. Aku memarkir di tempat parkiran motor. Kaki lalu melangkah masuk ke dalam Rumah Sakit.
"Arfaaa!"
Aku berbalik mendengar suara ibu memanggil. Di airphone yang terpasang di telingaku tidak memperdengarkan apapun. Aku sengaja memakai ini, agar jika ada yang berbisik-bisik, mereka tetap melanjutkan percakapannya tanpa risih dengan keberadaanku.
"Kamu tiba dari tadi. Ibu baru tiba, karena lama menunggu angkot, akhirnya ibu tadi naik ojek," ujar ibu masih dengan napas yang memburu.
"Baru juga tiba, Bu. Yuk kita ke kamar Kak Tari," ujarku langsung menarik tangan ibu.
Aku tidak malu jalan bergandengan dengan ibu. Sering kali, jika ada orang yang melihat aku dan ibu jalan bergandengan, akan mengira ibu jalan dengan brondongnya. Aku selalu acuh mendengarkan itu. Badan ibu yang hanya sebahuku dan masih terlihat muda, membuat aku tidak terlihat seperti anak ibu.
"Ternyata anak ibu sudah semakin besar. Ibu sudah terlalu lama tidak lihat kamu, Arfa. Maaf kan ibu ya, terlalu sibuk," ujar ibu di sela langkah kami. Aku mengikuti jalan lambat ibu. Tidak mungkin aku meninggalkannya di belakang.
"Tidak mungkin bertambah kecil, Bu. Setiap hari aku makan, kok," tuturku. Membuat segaris senyum terlukis di wajah ibu. Aku sangat senang melihat wajah ini.
"Bagaimana keadaan tantemu?" tanya ibu dengan suara lembut.
"Baik, bu."
Aku membuka pintu ruangan Kak Tari. Kami sudah tiba di tempat yang dituju. Pemandangan yang sangat menyakitkan hati menyambut kedatangan kami. Kedua kaki Kak Tari diikat pada bed hospital dengan tangan yang di borgol. Kak Tari sedang berbicara sendiri.
Ibu memegang tanganku dengan erat, sambil mempercepat langkah. Aku menoleh melihat ibu, matanya sudah berkaca. Sepertinya ibu sedang berusaha menahan tangis.
"Tari," suara lembut dari ibu, membuat Kak Tari menoleh.
Hanya dalam hitungan detik, Kak Tari langsung berteriak histeris, seperti orang ketakutan. Ibu sangat panik, langsung memeluk Kak Tari berusaha menenangkan. Aku langsung memencet bel, untuk memanggil para perawat. Tidak lama, mereka pun datang. Perawat langsung menangani KakTari. Aku membawa ibu, duduk di kursi yang ada di ruangan.
Beberapa menit berlalu. Salah satu perawat datang menghampiri kami. "Tari sudah bisa di bawa ke rumah sakit jiwa, Bu. Mobilnya sudah siap di bawah," ujar perawat.
Ternyata para perawat menyuntikan obat penenang ke Kak Tari, agar berhenti berteriak dan bisa ke rumah sakit jiwa dengan aman. Aku sangat sedih melihat keadaan Kak Tari saat ini. Benak bertanya-tanya, kapan aku akan melihat wajah cerianya lagi. Kapan aku bisa bermain dengannya lagi?
Setelah perjalanan tiga puluh menit, kami sudah tiba di Rumah Sakit Jiwa Nuseria. Kak Tari turun dari mobil ambulace tanpa perlawanan. Dia hanya diam dan mengikuti langkah dua orang perawat yang memegang tangannya.
Aku berjalan sambil memegang tangan ibu, di belakang para perawat dan Kak Tari. Aku tahu, beban ibu sangat berat. Tidak mungkin bisa tenang, melihat anak gadisnya sekarang seperti ini. Kak Tari yang dulu sangat pintar dan berprestasi, kini menjadi orang yang kelainan kejiwaan.
Setelah Kak Tari berbaring di bed hospital, semua perawat keluar. Kini di ruangan hanya ada aku, ibu dan Kak Tari. Ibu mengusap lembut kepala Kak Tari. Mataku berkaca melihat pemandangan yang saat ini di depan mata. Kak Tari hanya memandang langit-langit tanpa merespon ucapan ibu. Setelah semua yang ingin disampaikan terucap, ibu langsung izin ke toilet. Di ruangan yang sekarang menjadi kamar Kak Tari ini, tidak tersedia toilet.
Aku mengantikan posisi ibu, berbisik pelan pada Kak Tari, "kakak, jangan sedih. Aku berjanji akan menemukan orang-orang yang sudah membuat Kak Tari begini. Aku berjanji, akan melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan pada Kak Tari. Dan aku berjanji, Kak Tari akan sembuh."
Tanpa pamit, air mata keluar dengan deras. Aku sungguh tidak sanggup, melihat keadaan salah satu perempuan yang aku sayang seperti ini. Dia tidak merepon ucapanku, mata masih tetap melihat ke langit-langit ruangan. Seakan tidak mendengar apa yang aku ucapkan.
Mendengar pintu terbuka, aku langsung menghapus air mata. Tidk ingin ibu tahu, jika aku menangis.
"Arfa, kamu mau, malam temani kakakmu di sini?" tanya ibu sambil melangkah mendekat.
Tanpa menunggu lama, aku langsung mengangguk.
"Kapan kamu masuk sekolah?" ibu kembali bertanya.
"Lusa, Bu."
"Kalau kamu sudah sekolah nanti, rajin-rajin lah ke sini. Ibu tidak janji, bisa ke sini setiap hari. Takut majikan ibu marah dan akan memecat ibu, kalau ibu sering keluar. Kamu 'kan mungkin bisa membagi waktu ... Bila perlu setiap malam, kamu datang jenguk kakakmu, meskipun hanya satu jam berada di sini." Ibu berkata sambil mengusap kepala Kak Tari.
"Ibu tidak usah khawatir. Nanti aku yang akan lihat Kak Tari. Aku usahakan, setiap hari bisa datang ke sini," ujarku sambil melihat ibu.
Ibu berhenti mengajak aku bicara dan menatap Kak Tari dengan wajah sendu. Tatapan penuh kasih sayang dari seorang ibu untuk anaknya. Tangan masih terus mengusap kepala Kak Tari. Bibir berbisik di telinga, "harusnya, tidak begini. Siapa yang melakukan ini ke kamu, Nak? Apa benar ini karena murni kecelakaan?