Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 13 - Memaksa Untuk Berteman

Chapter 13 - Memaksa Untuk Berteman

Sepuluh menit terlewati, aku sudah selesai makan. Langsung saja mengangkat piring dan meninggalkan meja. Aku biarkan Veka makan sendiri. Kalau lagi makan, tidak mungkin dia mengikutiku.

Beberapa pengunjung datang, namun tidak makan di warung. Mereka memilih untuk membungkus pesanan. Baguslah, jadi aku bisa punya waktu untuk mendengarkan rekaman. Aku langsung memasang airphone di telinga.

Terdengar suara kepala sekolah dengan tegas berkata, ["Aku tidak ingin mendengar terjadi kelalaian lagi. Kalau aku sudah memerintahkan, langsung laksanakan. Bila perlu kalian lembur. Untuk tiga guru yang kemarin membuat kesalahan, aku masih memberikan kalian kesempatan. Jika kalian berulah lagi, tidak perlu mengulur waktu, aku langsung memecat kalian."]

Bagus, aku senang mendengar ucapan kepala sekolah yang ini. Sebenarnya aku masih ingin bertemu dengan guru-guru yang ditugaskan mengubah nilai. Hanya ingin tahu seperti apa wajah mereka, tidak akan bermain-main, karena itu hanya membuang-buang waktuku.

Kepala sekolah memberi sepatah kata hampir lima belas menit. Yang aku rangkum dari isi ucapannya. Dia membutuhkan ide-ide cemerlang dari guru-guru agar masyarakat dan orangtua siswa baru, dapat menerima alasan sekolah, kenapa bisa meluluskan semua peserta tes. Dia juga butuh solusi untuk pembagian kelas siswa.

Aku sudah yakin, ini akan terjadi. Karena SMA Prabangga terkenal selektif dalam memilih calon siswa. Tahun ini, untuk pertama kali semua peserta tes diluluskan. Sudah pasti banyak yang bertanya-tanya.

Moderator mempersilahkan seorang guru untuk memberikan saran, guru itu pun berbicara, ["Bagaimana kalau kita buat dua kelas unggulan. Satu kelas untuk siswa yang lulus berdasarkan urutan nilai tertinggi. Dan satu kelasnya lagi, untuk siswa-siswa yang orangtuanya sudah membayar mahal."]

Dasar sekolah aneh! Mana ada sekolah yang membuat aturan kelas unggulan ada dua. Di mana-mana kelas unggulan itu hanya ada satu kelas, di situ sudah terkumpul semua siswa-siswa yang terpintar. Mungkin guru itu ingin membuat sesuatu yang baru.

Moderator berbicara, ["saran di tampung dulu. Sebentar, jika sudah tidak ada lagi saran. Kita bisa putuskan, mana yang tebaik untuk kita pilih."] Hanya beberapa detik berhenti bicara, moderator kemudian lanjut lagi, ["iya saya persilahkan!"]

["Kalau menurutku, yang kita masukan ke dalam kelas unggulan itu, anak-anak dari orangtua siswa yang sudah membayar. Dan untuk siswa yang lulus dengan urutan nilai tertinggi, kita hanya ambil sampai urutan lima besar saja. Kalau seperti itu, mungkin tidak akan nampak,"] tutur guru perempuan yang memiliki suara bas. Aku pikir yang berbicara ini adalah guru laki-laki, ternyata dugaanku salah.

Saran yang sangat tidak masuk akal. Masa sih sekelas guru, memberikan saran seperti itu. Tetapi, kalau saran ini di terima, bagus juga. Jadi semua orang akan lebih bertanya-tanya. Sebab sangat aneh, siswa yang masuk kelas unggulan, justru bukan dari siswa yang dapat nilai tertinggi.

["Saran, Pak moderator. Kalau menurutku, kenapa kita harus pusing. Di sekolah ini 'kan kita yang berkuasa. Nanti ketika hari pertama siswa masuk sekolah, kita baru menempel pembagian kelas di papan informasi. Jadi pembagian kelas, tidak perlu diperlihatkan di akun masing-masing siswa … Dengan tegas kita katakan, jika tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Di tahun ini siswa yang masuk kelas unggulan di acak dan yang menentukan adalah pihak sekolah. Semua punya kesempatan untuk masuk kelas unggulan. Tetapi itu berlaku saat naik kelas sebelas."]

Aku mendengar ada yang setuju dengan pendapat itu. Namun, ada pula yang tidak setuju. Aku pun menyimak baik-baik. Guru itu kembali berbicara.

["Jadi begini, kita bisa kasih kesempatan untuk semua siswa. Bagi yang mendapat nilai tinggi hingga kenaikan kelas, mereka akan masuk kelas unggulan saat sudah berada di kelas sebelas. Aku pikir, dengan alasan ini, tidak akan menimbulkan curiga. Karena kita juga akan menjelaskan, jika tahun ini siswa kelas unggulan dipilih secara acak. Jadi mereka akan berpikir kalau masuk kelas unggulan, karena keberuntungan."]

["Silahkan, bapak kepala sekolah mungkin ada masukan,"] ucap seseorang yang sudah aku kenali suaranya sebagai moderator. Benar juga, dari tadi aku belum dengar suara kepala sekolah untuk memberi saran.

Setelah kepala sekolah berucap, moderator kembali berkata, ["jadi dari semua saran, kita sepakat ya, jika yang di terima adalah saran dari Pak Amsir. Kita akan beralasan, memilih siswa secara acak untuk kelas unggulan dan semua kelas. Sekarang kita pindah pada pembahasan kedua. Apa alasan kita, meluluskan semua calon siswa yang ikut tes?"]

["Kenapa kita tidak katakan saja. Tahun ini sengaja meluluskan semua, karena ingin membuat siswa yang mendaftar bisa merasakan sekolah di SMA Prabangga. Satu alasan simpel, tetapi akan menarik perhatian banyak orang."]

Aku langsung berhenti mendengar suara rekaman saat melihat Veka menghampiriku. Namun, tidak membuka airphone dari telinga. Dia tersenyum seakan tidak ada masalah. Veka duduk di sampingku.

"Aku pulang dulu ya. Besok datang lagi. Aku sudah memutuskan, akan memaksa kamu untuk menjadi temanku. Kata orang, rasa nyaman muncul karena terbiasa. Jadi, kalau kamu sudah terbiasa dengan kehadiranku. Pasti kamu akan nyaman. Kalau sudah nyaman, kamu pasti akan menerima aku menjadi temanmu. Iya 'ka?" tutur Veka dengan senyum diwajah.

Secepat ini kah dia kembali bahagia?Padahal saat makan tadi dia sangat sedih. Aku heran dengan perasaan Veka, sangat cepat berubah-ubah. Apa dia bukan manusia? Atau dia mengalami kelainan jiwa? Kok aku jadi takut dekat dengannya. Aku membatin sambil menatapnya. Bukan untuk membuatnya takut. Melainkan ingin memastikan, jika dia benaran manusia.

"Kamu kenapa hanya menatap aku seperti itu? Apa karena aku sangat cantik?" ujar Veka sambil memainkan matanya, merayuku.

Aku bergidik ngeri dan langsung berdiri.

"Arfa, tunggu! Kamu mau ke mana?" Veka berkata sambil mengikuti. Aku bisa mengetahui dari sentakan kakinya yang berjarak tidak terlalu jauh dariku.

Aku duduk di kursi yang tadi digunakan sebagai tempat untuk makan. Veka menarik kursi dan duduk di sampingku. Aku berusaha menahan amarah.

Apa dia tidak malu, di sini ada Tante Fatma yang melihatnya? Karena Veka terlalu banyak bicara, bibirku yang tertahan sejak tadi, akhirnya berucap, "kamu perempuan yang tidak punya rasa malu, ya? Dari tadi mengikuti, di mana pun aku pergi!"

Veka mendengar ucapanku sambil tersenyum, seakan perkataanku adalah sesuatu yang membahagiakan. Mulutnya terbuka untuk bebicara, "kalau dengan kamu, ngapain aku harus malu? Aku 'kan menganggap kamu temanku. Namanya juga temanan, jadi begini."

"Kamu pulang sekarang! Dan jangan ke sini lagi!" tuturku dengan suara lantang, sambil menatap tajam.

"Husss, nggak boleh ngomong begitu. Kenapa kamu suruh Veka pulang? Memangnya dia salah apa sama kamu, Arfa? Jadi laki-laki tidak boleh kasar dengan perempuan!" ujar Tante Fatma dari tempat duduknya. Dia berkata sambil menghitung uang.

Mungkin suaraku terlalu besar, hingga Tante Fatma pun mendengar. Bagaimana tidak berkata kasar, kalau perempuan yang aku hadapi tingkahnya seperti ini? Sungguh sangat membuat pusing.

"Iya, Tante. Nggak tahu nih Arfa. Ngomongnya kasar bangat. Untung aku bukan perempuan yang gampang kecewa," tutur Veka. Setelah berucap, dia menertawaiku.

Mungkin Veka tahu, jika airphone yang terpasang di telingaku tidak memperdengarkan apapun. Sehingga dari tadi dia terus saja berbicara. Aku yang salah, harusnya bisa berpura-pura tidak mendengar ucapannya. Aku langsung berdiri, meninggalkan Veka.

"Arfa, tungguuuu! Kamu mau ke mana lagi?" Aku mendengar teriakan Veka lagi.