***
"Tante Fatmaaa!"
Aku mendengar suara cempreng Veka. Dia datang lagi ke warung. Padahal kemarin aku sudah lega, hidupku terasa tenang, karena tidak bertemu dengannya. Ternyata ketenangan itu hanya aku dapat sehari.
Saat ini aku sedang mencuci piring. Mendengar teriakan Veka, semangat kerjaku jadi berkurang. Pasti dia datang untuk mengganggu lagi.
"Tante, Arfa ada?"
"Ada di dalam, nggak tahu lagi ngapain! Kamu ke dalam saja." Aku mendengar Tante Fatma menjawab ucapan Veka.
Sepertinya aku harus bicara pada tante Fatma, jika besok-besok Veka ke sini lagi, katakan saja jika aku tidak datang dan suruh dia pulang. Tetapi, jika aku beritahu seperti itu pada Tante Fatma, dia pasti akan dapat marah. Ahhh, dasar perempuan aneh! Buat aku pusing saja!
"Arfaaa!" Tanpa membutuhkan waktu lama. Suara Veka sudah sangat dekat. Dia telah berada di belakangku.
"Arfa. Arfa. Arfa. Dia adalah temanku yang paling rajin. Laki-laki dingin dan irit bicara. Tetapi aku suka berteman dengannya. Oh, Arfa-"
Aku langsung menajamkan mata menatap Veka, dia sedang berbicara bernada puisi.
"Kenapa? Ada yang salah? Aku ingin buat puisi, judulnya Arfa si irit bicara," ujar Veka sambil tersenyum.
Aku kembali mencuci piring.
"Semoga besok, atau, lusa, atau lusanya lagi, Tuhan membuatnya tidak bisu lagi. Oh Tuhan, kabul 'kan lah, doa dan harapanku. Sebab, aku tidak bisa jika bicara sendiri terus. Arfa terlalu-"
"Berisik!" tuturku dengan mata tajam. Langsung melangkah mengambil handphone dan memasang airphone di telinga. Lebih baik aku mendengarkan rekaman suara yang ada di sekolah, dari pada mendengar suara Veka.
"Ihhh, nggak sopan. Aku lagi bicara, malah nutup telinga. Buka, nggak!" ujar Veka, sambil berusaha melepas airphone dari telingaku.
Aku langsung mencegah tangan Veka. Berani sekali dia. Apa mungkin aku harus marah untuk membuatnya takut. Dia sudah cukup berani. Baru juga kenal, tingkahnya sudah seperti ini. Apalagi nanti, jika dia terus mengikutiku.
Tanganku lalu menjitak kepala Veka. Tinggi badannya yang hanya sebahuku, memudahkan tangan melakukannya.
"Aduhhh! Ihh, Arfa jahat! Sakit tahu!" Veka berkata, sambil mengusap bagian kepala bekas jitakan.
Tanpa menggubris ucapan Veka, aku langsung ke meja untuk mengambil piring bekas makan pengunjung. Ternyata Veka masih mengikutiku. Mungkin jitakan tadi hanya dia anggap candaan. Padahal aku melakukan itu, karena ingin membuatnya berhenti mengiku.
"Veka, kenapa? Kok pegang kepalanya terus. Habis terbentur di dinding ya?" tanya Tante Fatma.
"Iya, tante. Sakit bangattt," tutur Veka. Aku berbalik untuk melihatnya. Veka sedang memasang wajah sedih, seolah ucapannya adalah benar.
Aku hanya melihat sebentar, lalu kembali membersihkan meja. Aku melangkah tanpa melihatnya. Entahlah, drama apa lagi yang akan dilakukan Veka. Aku tidak tahu dan tidak peduli. Suara dalam airphone aku putar dengan sangat keras. Hingga bisingnya sekitar tidak lagi terdengar.
Suara airphone membuat aku fokus untuk mendengarkan. Pihak sekolah ternyata sedang melangsungkan rapat. Mereka membahas tentang penyambutan siswa baru. Saat ini moderator memberikan kesempatan pada kepala sekolah untuk memberikan sepatah kata pembuka rapat.
Veka kembali berada di sampingku yang saat ini sedang mengistrahatkan kaki. Berulang kali dia memperlihatkan wajahnya kepadaku. Namun, tidak mendapat respon. Veka lalu melambai-lambaikan tangan di depan wajahku, berusaha mencari perhatikan. Aku masih juga tidak menggubrisnya.
Veka lalu menarik airphone dari telingaku dengan kasar. Dia lalu berucap, "Arfa, tidak boleh begitu! Aku 'kan ke sini ingin ketemu kamu! Ingin lihat kamu! Dan ingin bercerita dengan kamu! Kalau kamu menghindari aku terus. Percuma aku datang ke sini!"
Aku menatapnya tajam, tanpa berucap. Hati tidak berhenti membatin, melihat tingkah perempuan aneh ini. Memangnya aku yang menyuruh dia ke sini? Kenapa sekarang ngotot? Untung saja dia perempuan, kalau laki-laki, sudah aku tendang dari tadi, agar secepatnya keluar dari warung ini.
Aku mematikan rekaman suara sekolah. Takut Veka mendengar percakapan guru-guru. Jangan sampai kelalaianku membuat rencana berantakan.
"Hehe, maaf!" ujar Veka dengan senyum manja, sambil mengangkat dua jari dan menampakan wajah sok imut.
"Arfa! Veka! Makan dulu. Kalian dari tadi belum makan!"
"Iya, tante," jawab Veka. Langsung berdiri sambil menarik tanganku.
Aku kembali menatapnya. Perempuan ini tidak berhenti membuat aku kesal.
"Makan! Kata Tante Fatma, kita makan!" ujar Veka sambil melepas tanganku dan tersenyum lebar.
Aku langsung berjalan, tanpa berkata satu pun kata pada Veka. Menggubris dia, hanya akan membuatnya semakin banyak bicara. Aku mengambil makanan dan minum, lalu duduk di kursi. Ahhh, Lagi-lagi Veka mengikutiku.
"Mau kamu apa sih? Dari tadi ngikutin aku! Oh, Bukan dari tadi, tetapi dari kemarin-kemarin! Sekarang katakan, apa tujuan kamu! Selesai makan, kamu pulang dan jangan datang ke sini lagi!" ujar ku sambil menatap tajam Veka.
Dia menunduk, akhirnya aku bisa membuatnya takut. Aku lalu mulai memasukan makanan ke dalam mulut.
"Maaf 'kan aku! Kamu tidak suka ya, aku di sini? Aku 'kan hanya ingin berteman dengan kamu. Salah ya?" ujar Veka sambil menunduk.
Aku tidak menggubris ucapannya. Tetap melanjutkan makan. Tidak ingin tertipu dengan wajah penuh bersalah Veka. Kalau aku berbicara, dia akan membalas perkataanku. Mungkin akan begitu terus, hingga dia meninggalkan warung ini.
Veka masih menunduk, belum memulai makan. Dia juga tidak berkata apa pun. Kalau kecewa dengan ucapanku, kenapa tidak pergi saja dari sini. Gampang 'kan, jadi tidak akan sakit hati.
"Kalau di rumah, aku kesepian, nggak punya teman. Kak Deva sibuk dengan teman-teman dan segala macam kegiatannya. Ayah dan ibu sibuk kerja. Aku nggak tahu mau ke mana, makannya aku datang ke sini. Kalau di sini 'kan ada kamu."
Aku hanya menjadi pendengar. Kalau sudah capek bicara, pasti dia akan berhenti.
"Kamu tidak mau ya, berteman denganku?" tutur Veka sambil mengangkat kepala, melihatku.
Secepat kilat, aku langsung merespon pertanyaan Veka dengan mengangguk. Jangan sampai telat semenit.
"Ohhh, iya. Aku ngerti kok! Selama ini memang tidak pernah ada, orang yang mau berteman denganku. Pasti karena aku jelek! Aku pikir, kamu akan menjadi satu-satunya temanku. Ternyata sama saja. Harusnya aku tahu diri sejak awal. Jika waktu ujian kemarin, kamu sekedar membantu, bukan untuk berteman." Veka berkata setelah kembali menunduk. "Aku terlalu percaya diri!"
Veka menarik napas, dan menghembuskan dengan kasar. "Kenapa ya di dunia ini tidak adil? Perempuan cantik bisa melakukan apa saja. Dan yang jelek selalu di pandang sebelah mata. Apa jelek itu penyakit ... Atau aib? Aku sangat sulit mencari teman, padahal aku hanya meminta satu orang, tidak lebih. Setidaknya, aku bisa memiliki teman berbagi."
Aku mendengar suara Veka mulai serak. Dia menahan tangis dalam berucap. Aku jadi sedikit merasa bersalah. Ahhh, jangan mudah percaya, Arfa! Veka ini perempuan banyak drama!
Terdiam hampir satu menit, Veka kembali berkata, "padahal kalau kamu mau berteman denganku. Aku akan menjadi teman yang baik. Tetapi, sudahlah ... aku mungkin ditakdirkan untuk hidup tanpa seorang teman."
"Aku habiskan makanan ini dulu ya. Kalau di rumah, aku sering makan sendiri. Soalnya tidak punya teman. Hanya bibi yang baik padaku, mau temani aku makan."
Veka sudah mulai memasukan makanan ke dalam mulut. Tidak ada lagi suara cerewet yang terdengar. Veka makan dalam diam.