Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 7 - Kak Tari Depresi?

Chapter 7 - Kak Tari Depresi?

Bibir terasa kelu. Kak Tari hilang ingatan? Rasanya aku masih tidak percaya. Apa yang dikatakan Kak Tari benar, lewat ucapan saja tidak cukup untuk membuktikan jika aku adiknya. Apa harus mengatakan ke ibu yang sebenarnya terjadi? Tapi aku yakin ibu akan panik mendengar semuanya. Setelah sekian lama menunggu Kak Tari sadar, kabar yang didengar ternyata masih menyakitkan.

"Aku siapa? Kenapa aku tidak mengingat apapun?" ujar kak Tari sambil menangis tersedu.

Aku langsung memeluk, Kak Tari masih membelakangiku. "Ingatan kakak pasti akan kembali kok. Kakak nggak usah pikir macam-macam. Kak Tari pasti sembuh," tuturku pelan. Badan kak Tari terguncang karena tangis. "Kak Tari tenang ya. Jangan menangis."

Perlahan-lahan tangis Kak Tari mereda. Sosoknya yang lembut dan tenang ternyata tidak berubah. Meskipun hilang ingatan, Kak Tari tetap sama. Aku yakin, suatu hari yang entah kapan, keadaan akan berubah.

Aku ingin bertanya banyak dengan Kak Tari. Tetapi aku undur, nanti saja jika keadaannya sudah membaik. Memaksa untuk menjawab akan memperparah kondisi. Lama mengusap kepala, Kak Tari mulai terlelap. Aku menggeser pelan-pelan, membiarkannya beristrahat. Mungkin dia lelah, terlalu banyak berpikir.

Jika sudah bertemu dokter dan mendapatkan penjelasan, baru bisa memastikan apa yang akan aku lakukan untuknya. Sekarang masih pukul delapan pagi, aku harus menunggu satu jam lagi. Tidak ingin detik dan menit terbuang sia-sia, aku menghabiskan untuk membaca buku.

Akhirnya, alarm handphone berbunyi. Kebiasaan, jika sudah terlarut membaca buku, aku bisa lupa waktu. Sekarang jam menunjuk pukul delapan lewat lima puluh lima menit. Sengaja membuat alarm, agar tepat pukul sembilan, aku sudah berada di depan pintu ruangan dokter.

Aku berdiri mendekati Kak Tari yang sedang membelakangi. Berbisik pelan ditelinga, "Kak, aku ke ruang dokter dulu ya. Aku akan kembali."

Aku mengusap pelan kepala kak Tari lalu melangkah menuju ruang dokter. Perasaan was-was menggeluti hati. Tidak mengharapkan kabar buruk terucap, aku yakin semua akan baik-baik saja. Tenyata pintu ruangan belum terbuka. Aku datang terlalu tepat waktu. Mungkin dokter dalam perjalanan. Aku tidak tahu siapa nama dokter yang sudah lama menangani Kak Tari.

Lama menunggu sambil duduk di kursi depan ruangan, akhirnya orang yang ditunggu datang. Tidak ada antrian, hanya aku sendiri yang menunggu. Aku langsung di perintahkan masuk oleh seorang perawat. Aku pun duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan dokter.

"Kamu sudah bertemu dengan Tari?" tanya dokter padaku.

"Sudah, dok."

"Tari siuman jam satu malam. Saat bangun dari koma, dia tidak mengingat apapun. Dia sangat histeris. Kami langsung menyuntikan obat penenang. Sampai sekarang, Tari masih di bawah kendali obat penenang."

Aku kaget mendengar ucapan dokter. Aku masih diam, menunggu dokter melanjutkan cerita.

"Jadi begini, aku ingin bertanya tentang kondisi mental Tari sebelum mengalami kecelakaan."

Aku mengerutkan alis mendengar pertanyaan dokter. Kondisi mental? Maksudnya apa? Aku tidak mengerti. Sepertinya dokter bisa membaca isi pikiran lewat raut wajahku.

"Hipotesa awal setelah Tari siuman, dia mengalami demensia asosiatif. Hilang ingatan karena riwayat pernah mengalami kejadian traumatis. Misalnya, mohon maaf ya, mungkin saja pernah mengalami pelecehan seksual, kekerasan fisik, atau apapun yang menyebabkan mental dia terganggu. Atau mungkin, Tari pernah depresi berat seperti skizofrenia. Kalau kamu bisa menceritakan pada kami, mungkin dapat membantu untuk cepat mengetahui kondisi yang sebenarnya dialami Tari."

Aku mengangguk, ingatan tertuju pada kejadian saat itu. Ketika kak Tari pulang sekolah dengan keadaan baju yang sudah robek bekas guntingan dan rambut yang acak-acakan. Aku yang sedang membaca buku di ruang tamu, sangat kaget dengan kedantangannya. Aku langsung berdiri menghampiri. Kak Tari terlihat sangat lemah.

"Kakak kenapa?" tanyaku dengan panik, sambil mengguncang pelan tubuh Kak Tari. Pandangannya kosong. Dia langsung lemas. Aku yang tidak siap menahan tubuh, membuat kak Tari dan aku terduduk di lantai.

Hanya tangisan yang menjadi jawaban Kak Tari. Aku tidak tahu, siapa yang sudah melakukan ini padanya. Baju seragam SMA yang dipakai sudah tidak terbentuk. Untung saja kak Tari memakai baju kaos dibalik seragam, untuk menutup badan. Jika tidak, aku yakin semua mata jahat lelaki sudah menginginkannya.

Kak Tari tidak menceritakan apapun padaku. Setelah kejadian itu, dia menjadi orang yang pendiam. Hingga akhirnya terdengar kabar, Kak Tari kecelakaan saat pulang sekolah. Sampai sekarang aku tidak tahu, apa yang sudah membuatnya pulang sekolah dalam keadaan kusut.

Aku tidak bercerita tentang semua yang dialami Kak Tari pada dokter. Hanya membenarkan, jika sebelum kecelakaan, Kak Tari mungkin mengalami depresi. Dokter mengangguk mendengar penjelasan singkatku.

"Terimakasih untuk informasinya. Kami akan bekerja sama dengan psikiater untuk membantu pengobatan Tari."

"Baik, Dokter. Terimakasih! Aku sudah boleh keluar?"

"Silahkan," tutur dokter sambil mengangguk.

Sepanjang jalan menuju ruang inap Kak Tari, aku hanya memikirkan ucapan dokter. Apa aku harus menceritakan semuanya ke ibu? Tetapi jika aku berbohong untuk menyembunyikan, ibu akan semakin sedih jika mengetahui sendiri. Namun, jika ibu tahu keadaan yang sebenarnya, pasti akan bersedih.

Aku sudah tiba di rungan inap. Kak Tari masih menghadap dinding, membelakangi pintu, mungkin masih terlelap. Aku mendekat, mengusap pelan kepala. Aku berjanji akan mencari orang yang sudah membuat kakak seperti ini! Mereka tidak akan hidup tenang, kak! Aku akan melakukan hal yang sama, seperti yang mereka lakukan ke kakak.

Aku tetap mengusap kepalanya, sambil membatin. Tidak lama lagi, aku akan bersekolah di tempat kakak dulu sekolah. Mereka pikir semuanya selesai setelah kakak kecelakaan! Oh tidak bisa begitu! Aku tidak akan biarkan itu terjadi, kak! Mereka akan membayar perbuatannya. Aku akan membuat mereka merasakan, apa yang kak Tari rasakan.

Dering handphone mengentikan aktivitas tanganku. Aku langsung mengangkat. Terdengar sapaan lembut dari ibu.

["Katanya kamu akan mengabari ibu kalau sudah tiba di Rumah Sakit. Kenapa dari tadi ibu tunggu tidak di telepon?"]

"Aku tadi tunggu dokter datang dulu, Bu. Supaya bisa menjelaskan ke ibu semuanya. Aku baru saja berpikir untuk menelepon, ternyata ibu sudah telepon aku duluan. Barusan aku selesai bertemu dengan dokter yang merawat kak Tari."

"Setidaknya kamu lapor dulu ke ibu, bagaimana keadaan kakakmu setelah siuman."

"Iya, Bu. Maafkan aku. Kakak baik-baik saja kok. Tadi setelah aku datang, aku mengajaknya cerita. Dia belum bisa banyak bicara."

"Terus apa kata dokter?"

Aku terdiam, berdiri menjauhkan diri dari kak Tari.

"Arfa? Kenapa diam?"

"Kak Tari hilang ingatan, Bu?" ucapku pelan sambil menatap langit-langit. Tidak ingin Kak Tari mendengar percakapanku dengan ibu. Meskipun bibir terasa berat untuk berucap, aku harus jujur.

Beberapa detik setelahnya, aku tidak mendengar suara ibu. Begitupun denganku yang juga tidak berbicara.

"Kamu jangan bercanda, Nak!" Suara ibu terdengar menahan tangis.

"Aku tidak bercanda, Bu. Kak Tari tidak mengingatku. Bahkan dia tidak mengingat namanya."

Meskipun terasa berat untuk berkata, Ibu harus tahu semua yang terjadi dengan Kak Tari. Aku pun menceritakan yang tadi dikatakan dokter, tanpa ada yang disembunyikan. Mendengar suara ibu yang menangis terisak, darahku mendidih. Aku harus secepatnya menemukan orang-orang yang sudah mencelakai Kak Tari! Ingin rasanya menyiksa mereka hingga aku puas.