Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 8 - Rekaman Suara Hasil Rapat

Chapter 8 - Rekaman Suara Hasil Rapat

***

Sudah tiga hari aku meletakan alat perekam di sekolah. Tetapi, belum sekalipun mendengarnya. Kira-kira akan ada kejutan apa di dalam rekaman itu? Aku jadi penasaran. Sekarang aku sedang memindahkan hasil rekaman ke laptop.

Aku mulai mendengarkan rekaman dari hari pertama setelah meletakan alat. Tanganku mempercepat rekaman, karena tidak ada informasi penting. Di hari pertama dan kedua sama, masih tidak ada informasi yang di dapat. Di hari ketiga, tepatnya hasil rekaman jam delapan pagi, pihak sekolah ternyata mengadakan rapat.

Diawali tawa yang ribut, mereka pun memulai rapat. Saat suara seorang lelaki bicara, seketika keadaan menjadi hening. Hanya satu suara yang terdengar. ["Rapat akan di mulai. Sebelum bapak wakil kepala sekolah bidang kesiswaan membacakan hasil ujian para calon siswa baru, aku persilahkan kepada kepala sekolah untuk memberikan sambutan terlebih dahulu."]

Aku memperbaiki duduk. Tertera di laptop, rekaman untuk waktu rapat adalah lima jam lebih. Aku tidak akan mendengar semuanya, sesekali tangan mempercepat rekaman. Hanya bagian yang dianggap penting saja yang akan aku dengar.

Sepuluh menit berlalu, kepala sekolah selesai berbicara. Bagiku semua ucapannya tidak terlalu penting. Bukan sesuatu yang ingin aku ketahui.

["Baik. Aku persilahkan bapak wakil kepala sekolah bidang kesiswaan untuk membahas hasil ujian calon siswa."]

["Terimakasih untuk kesempatan yang diberikan. Silahkan bapak dan ibu melihat langsung, hasil ujian seluruh calon siswa dalam kertas yang sudah dibagikan."]

Hening beberapa detik, aku tidak mendengar apapun.

["Apa benar data ini, Pak? Ada seorang siswa yang menjawab semua pertanyaan dengan benar. Tidak ada satu nomor pun yang salah."]

["Iya, Bu! Benar! Dia siswa yang mengerjakan soal di ruangan berbeda dengan yang lain. Ada dua orang siswa yang diuji di ruangan itu."]

["Kenapa bisa begitu?"]

Tanya seorang guru lelaki, sepertinya dia adalah moderator rapat ini. Percakapan mereka semakin menarik untuk aku dengarkan.

["Di hari ujian, dua orang siswa itu datang terlambat. Mereka bukan calon siswa dari data yang sudah kita jamin untuk lulus. Jadwal yang ada di kartu ujian mereka berbeda. Memang di kartu, tertulis jadwal pelaksanaan ujian pukul sembilan. Tetapi, untuk siswa yang dikhususkan, ada pemberitahuan jika harus datang satu jam lebih cepat dari jadwal yang tertulis."]

["Silahkan, bapak kepala sekolah memberikan tanggapan."]

["Dia anak siapa? Dari sekolah mana?"]

Sepertinya yang bertanya ini adalah kepala sekolah. Aku menyimak percakapan mereka sambil menggoyang-goyangkan kaki di atas meja.

["Dari data yang aku dapat, dia anak Pak Agung. Nama lengkapnya benar Veka Anggina. Hanya saja, anak Pak Agung ternyata ada dua yang mendaftar di sini. Dan yang dibayarkan ke pihak sekolah untuk bisa lulus dengan nilai tinggi bernama Deva Anindia."]

["Data kamu itu tidak salah?"] Suara kepala sekolah terdengar tegas.

["Sebenarnya, aku belum konfirmasi langsung ke Pak Agung, Pak. Informasi ini aku dapat dari data kartu keluarga di berkas yang dikumpulkan para calon siswa."]

["Mungkin bapak sekretaris bisa menghunbungi Pak Agung untuk konfirmasi. Jangan sampai kita mengganti posisi, tapi ternyata salah."]

Hening setelahnya, mungkin karena sedang menghubungi seseorang yang bernama Pak Agung. Untung saja, di malam setelah ujian, aku menyempatkan waktu dua puluh menit untuk menukar namaku dengan Veka. Jika aku lulus dengan nilai tertinggi dan menjadi peringkat pertama, pasti akan menimbulkan banyak tanya di benak pihak sekolah.

Pasti mereka akan mencari tahu siapa aku. Jika itu terjadi, bisa saja semua identitas yang aku palsukan akan terbaca. Guru-guru yang ada di SMA Prabangga sangat licik, mereka akan melakukan segala cara untuk mewujudkan keinginan mereka.

Sepertinya panggilan sudah di jawab. Aku tidak begitu mendengar percakapan mereka. Suara terdengar sangat kecil.

["Benar, Pak. Veka Anggina juga anak Pak Agung. Veka dan Deva itu kembar. Pak Agung tidak tahu, jika anaknya yang bernama Veka juga tes di sini. Tetapi katanya, untuk posisi pertama harus ganti. Mereka berdua harus ditukar. Deva Anindia jadi peringkat pertama, sedangkan Veka Anggina jadi peringkat lima puluh dua."]

Aku membelalakan mata. Kenapa ada orangtua yang seperti itu? Apa tujuan Pak Agung menukar posisi kedua anaknya. Harusnya dia bangga pada Veka, bisa mendapatkan nilai tertinggi dan menjadi peringkat pertama. Veka juga 'kan anaknya. Dasar orang tua gila! Harusnya dia tidak pernah ada di muka bumi ini.

["Kita ikuti perintah Pak Agung! Dia sudah membayar mahal. Pak sekretaris, tolong dicatat. Setelah rapat, ubah kembali peringkat calon siswa!"]

Aku tertawa kecil mendengar kalimat ini. Jika mau, bukti percakapan mereka ini akan aku sebarkan. Dan semua guru yang ikut rapat, akan tinggal di jeruji. Tetapi, aku masih ingin berlama-lama memainkan kalian. Rasanya terlalu cepat jika semua ini berakhir dalam waktu dekat.

Kalian pikir bisa, seenak jidat mengganti peringkat calon siswa sesuai keinginan. Selama ada aku, semua rencana kalian akan gagal! Aku yang akan menjamin, tidak satu pun niat buruk kalian terlaksana!

Rapat terus berlangsung. Aku mempercepat rekaman. Semua siswa yang mengikuti tes di bahas satu persatu. Tibalah namaku disebut, menjadi peringkat tiga pulih delapan.

["Dari data yang sudah aku dapat. Dia lulusan SMP Permadani. Tidak memiliki riwayat organisasi, apalagi memenangkan olimpiade. Dia siswa yang biasa saja di sekolah. Bapak dan ibunya sudah meninggal. Dia seorang yatim piatu yang hidup sendiri."]

Aku tersenyum sinis. Untung saja data riwayat pendidikan beserta riwayat keluargaku, sudah diubah. Jika tidak, pasti akan ketahuan kalau aku sangat berprestasi.

["Kedua orang tuanya sudah meninggal? Jadi bagaimana cara dia membiayai hidup?"]

["Mungkin saja bekerja setelah pulang sekolah. Aku tidak mencari tahu lebih lanjut, Pak."]

["Kenapa kita harus berlama-lama membahas siswa ini. Dia tidak akan menguntungkan buat kita. Tidak punya pertasi dan miskin, apa yang harus dibanggakan dari dia. Kita bisa lanjut ke siswa berikutnya. Dia tidak lulus!"]

Ucap seorang guru lelaki. Aku sangat marah mendengarnya, berani-beraninya dia menghinaku seperti itu. Aku coba merekam jelas suaranya. Menutup mata sambil meresapi, agar bisa tersimpan dimemori. Tunggu saja, aku akan membuat perhitungan dengannya.

["Dia ini, siswa yang datang terlambat dengan Veka Anggina. Mereka ujian di ruang yang sama. Kita bisa mempertimbangkan kembali. Dia dan Veka mengisi pertanyaan seratus lima puluh nomor dalam waktu satu jam. Mungkin dia sedikit pintar. Kita bisa meluluskan siswa ini, tetapi taruh di kelas yang biasa."]

["Kalian tahu 'kan. Semua yang akan menjadi siswa di sekolah ini harus dari bukan anak orang sembarangan. Kita bisa luluskan dia, tetapi jangan simpan namanya sebagai siswa yang mendapat nilai tertinggi. Taruh dia di urutan paling akhir!"]

["Baik, Pak!"]

Hening beberapa detik, suara yang menjadi moderator kembali berbicara. Rapat terus berlangsung. Semua siswa yang mengikuti tes di bahas satu persatu. Layak dan tidak layak bersekolah di SMA Prabangga tergantung kakayaan dan riwayat pendidikan . Bukan hanya aku dan Veka saja yang ingin mereka tukar. Ada lagi siswa siswi yang lain, hanya karena mereka terlahir dari keluarga yang tidak terkenal.

Bahkan ada banyak siswa yang tidak di terima, padahal nilai ujian mereka lulus. Hasil keputusan rapat lebih mementingkan siswa siswi yang sudah memberi suap pada sekolah. Aku tidak tahu, berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh para orangtua untuk menyuap guru-guru ini.

Pikiran kembali mengingat Veka. Bagaimana mungkin orangtuanya tidak tahu, jika Veka ikut tes di SMA Prabangga? Aku jadi penasaran dengan kehidupan Veka. Memiliki orangtua yang pilih kasih, rasanya pasti berat.

["Rapat kita tutup. Tolong untuk guru-guru yang ditugaskan untuk mengubah nilai hasil ujian, bekerja dengan benar. Jangan sampai ada yang tertukar dan tidak sesuai hasil rapat kita."]

Setelah rapat ditutup, kembali terdengar suara riuh di ruangan. Mungkin mereka lelah, terlalu lama mengikuti rapat. Aku langsung mematikan rekaman. Sepertinya tidak cukup, jika aku hanya menaruh alat perekam di ruang guru saja. Rekaman harus aku taruh disemua penjuru sekolah. Mungkin aku membutuhkan sekitar lima puluh alat perekam lagi.

Aku harus bereaksi sebelum terlambat. Tangan mulai menari di atas laptop, melaksanakan tugasnya. Mereka tidak tahu, sudah bermain-main dengan siapa.