Layar menampilkan tulisan-tulisan, hanya aku yang dapat mengerti. Aku berusaha untuk meretas akun data sekolah. Berulang kali mencoba, akhirnya bisa. Aku memblok nilai hasil ujian, mengubah pengaturan menjadi tidak bisa di edit. Hanya aku yang bisa mengedit. Sebab ketika ingin mengubah data, membutuhkan password yang aku buat.
Aku tidak mungkin memberikan password ini pada orang lain. Sama saja menjerumuskan diri ke dalam lubang masalah. Aku yakin, mereka pasti bingung, kenapa data tiba-tiba tidak bisa diubah dan memerlukan password yang mereka tidak tahu.
Untung saja mereka belum mengubah satupun. Jika aku telat, semua akan selesai. Seenaknya mereka mengumumkan nilai hasil ujian yang salah. Sesuai jadwal, lusa akan diumumkan lewat media online sekolah dan ada pula di akun masing-masing siswa. Kita lihat, siapa yang lebih kuat di sini! Jangan harap, aku akan membiarkan kalian berlaku curang!
Tersungging senyum di wajahku. Ternyata guru-guru yang ada di SMA Prabangga tidak sepintar yang aku kira. Kenapa mereka tidak mengunci data sekolah? Apa tidak takut, kalau semua data diambil orang jail. Oh, bukan orang jail, tetapi orang cerdas. Mungkin saja karena selama ini data sekolah selalu aman.
Terpikirkan, untuk mengambil semua data sekolah. Jangan sampai besok-besok akan sulit buatku. Dilayar laptop menampilkan persentasi pengiriman. Sudah tujuh puluh lima persen. Tidak lama lagi akan selesai.
Setelah dilayar terlihat tulisan seratus persen berhasil, aku menarik napas. Lega rasanya rencanaku berhasil. Akhirnya aku bisa tidur nyenyak. Sekarang sudah pukul dua dini hari.
***
Detik jam terus berputar. Bunyi kicauan burung terdengar. Malam telah berganti siang. Aku bersiap-siap ke warung. Hari ini aku akan membantu bibi Fatma dari pagi. Sebab urusan sekolah sudah selesai. Ijazah telah aku ambil. Tinggal menunggu pengumuman lulus SMA, untuk aku kembali sibuk.
Langkah kaki menuju ke warung. Tidak perlu menggunakan kendaraan, cukup dengan berjalan kaki aku sudah tiba. Tak disangka ternyata di warung ada Veka. Mau apa lagi perempuan ini? Mungkin hidupnya terasa sepi, kalau tidak menggangguku.
"Arfaaa! Kamu sudah datang! Aku dari tadi di sini!" ujar Veka, kini tangannya bergelayut manja di lenganku.
Aku melepas dengan kasar. Lalu berjalan meninggalkan, menuju dapur. Ingin bertanya pada Tante Fatma, kenapa Veka sudah berada di sini, padahal masih pagi. Hanya saja takut didengar. Dia pasti akan merasa bangga, jika aku bertanya tentangnya. Tidak perlu aku bertanya, pasti dia akan menjelaskan sendiri.
"Arfa, aku tuh datang ke sini dari pagi. Sebelum warung di buka malah. Aku tunggu di depan, di kursi itu tuh," ujar Veka sambil menunjuk kursi yang menjadi tempatnya duduk. Baru juga dipikirkan, kalimat itu sudah keluar dari bibirnya.
Aku tidak menggubris ucapan Veka. Pagi begini kerjaan masih padat. Membantu Tante Fatma yang memasak lebih penting dari pada mendengar ocehan Veka.
"Aku sengaja datang ke sini, Arfa. Hari ini 'kan kita pengumuman. Aku ingin lihat nilaimu!" Veka kembali berbicara. Dia mengikuti kemanapun langkahku pergi.
"Sebenarnya, aku juga berharap untuk lulus, tetapi itu tidak mungkin. Ada banyak pertanyaan yang aku jawab sembarang. Dari pada kosong, mending diisi 'kan? Tidak apa-apa, aku sadar bagaimana kemampuanku." Veka tertawa perih di akhir ucapan.
Aku tetap sibuk dengan pekerjaan. Bodoh amat dengan perasaan Veka. Dia 'kan pasti lulus. Aku yang sudah menjamin itu.
"Tapi nggak apa-apa. Aku sengaja datang ke sini supaya kalau kamu lulus, aku bisa ngasih selamat. Iya 'kan, Arfa? Aku ingin menjadi orang pertama yang ucapkan selamat untuk kamu." Raut Veka terus memancarkan senyum saat berucap. Aku tidak menatapnya, tetapi aku tahu lewat ekor mata yang sesekali melihatnya.
"Arfa bicara dong! Masa dari awal ketemu sampai sekarang, kamu diam saja! Aku baru sekali mendengar suaramu."
Ahhh, perempuan ini! Apa sih mau dia? Mengganggu orang saja. Sudah tahu aku malas bicara dengannya. Masih saja ribut seperti lalat. Suara lalat bahkan lebih bagus didengar dari pada dia. Aku mengambil bekas piring masak lalu mencucinya. Veka tidak diam, dia mengambil piring yang sudah bersih dan menaruh ke tempatnya.
Aku merasa risih dengan keberadaan Veka. Mata menatapnya, bukan takut dia justru tersenyum.
"Veka sudah sarapan?" tanya tante Fatma.
"Belum, Tante," ujar Veka masih dengan senyum di wajah.
"Sarapan dulu, Arfaaa! Kerjaanmu dilanjutkan nanti lagi."
Menarik napas. Aku lalu melepaskan piring yang ada di tangan. Menuruti perintah tante Fatma untuk makan. Veka mengikutiku, dia juga mengambil piring dan makanan yang sama denganku. Mata menatapnya, sebab yang aku lakukan selalu diikuti.
"Tante Fatma sudah menyuruhku makan. Kita disuruh makan berdua. Ada yang salah?" ujar Veka tanpa rasa berdosa. Senyuman diwajahnya tidak hilang. Dia lalu memainkan bahu, isyarat meminta jawaban.
Aku tidak ingin berdebat dengan Veka. Melangkahkan kaki ke tempat duduk, menaruh piring di atas meja, tangan lalu memulai aktivitas makan. Mulut Veka terus mengoceh. Masa sih dia tidak merasa capek, bicara dari tadi? Aku yang mendengar saja capek.
Aku makan sambil menunduk. Piring lebih indah ditatap, dari pada perempuan yang ada di sampingku. Tangan mempercepat makan. Kalau kelamaan, kasian tante Fatma tidak ada yang membantu. Warung akan di buka jam sembilan. Biasanya di jam itu, beberapa menu makanan sudah tersedia di etalase, sebagai pertanda jika warung sudah di buka.
"Arfaaa, kenapa makan cepat sekali. Aku 'kan masih banyak. Kamu sudah mau selesai. Terus aku 'kan malu kalau makan sendiri," rengek Veka.
Dasar perempuan aneh. Waktu itu, bisa makan sendiri. Padahal di warung ini sedang banyak orang. Masa sekarang malu. Lama-lama aku bisa gila kalau dekat Veka terus.
Tidak menggubris perkataan Veka. Aku langsung berdiri ketika selesai makan. Dia terus memanggilku dengan suara manja yang di buat-buat. Aku ingin muntah mendengarnya. Menaruh piring di westafel dan mencucinya. Aku lalu membawa makanan yang tante Fatma sudah sediakan di atas piring, untuk di simpan ke etalase.
Pengunjung mulai berdatangan. Veka tidak lagi sibuk mengikutiku. Dia mendapat tugas dari tante Fatma untuk mengantar makan, mengambil piring kotor sekaligus membersihkan meja. Aku akhirnya bisa mencuci piring dengan tenang.
Jam tidak berhenti berputar. Sekarang sudah pukul dua belas. Sesuai jadwal, di jam ini lah pengumuman lulus atau tidak masuk di SMA Prabangga. Aku penasaran dan gugup, takut apa yang sudah aku lakukan kemarin malam di retas lagi oleh orang lain yang lebih pintar dariku.
Jam sudah menunjuk pukul satu lewat, aku duduk di kursi. Di warung hanya ada dua orang pengunjung, aku bisa istrahat sejenak. Aku lalu membuka handphone untuk melihat pengumuman. Bibir menyungging senyum, aku dan veka lulus. Tidak ada yang berubah.
"Kamu sudah lihat penguman?" ujar Veka di sampingku sambil menunduk.
Aku menoleh padanya. Veka kembali berkata, "aku juga ingin lihat, tapi takut kalau nggak lulus. Aku mendaftar di SMA Prabangga, orangtuaku nggak tahu. Rencananya, akan beritahu mereka kalau nanti sudah lulus. Tapi, karena soal ujian sangat sulit, aku sudah tidak percaya diri untuk berharap lulus."
Kenapa Veka tidak beritahu orangtuanya? Ada apa dengannya? Pasti ada yang tidak beres dengan kehidupannya. Kamu terlalu polos, Veka! Tidak tahu jika sebenarnya, ayahmu tidak sayang kamu!
Veka menundukan kepala. Dia pun melanjutan ucapan,"Kalau menurut kamu, aku harus mendaftar di mana? Aku tidak tahu mau lanjut SMA di mana. Adakah sekolah yang mau menerima orang yang otaknya standar sepertiku."