Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 10 - Penguman Hasil Tes!

Chapter 10 - Penguman Hasil Tes!

"Kamu pasti lulus 'kan, Arfa?" Veka berkata sambil menoleh padaku. Dia mengayun-ngayun kaki, mungkin untuk menetral rasa agar tidak bersedih.

Tanpa berkata, aku langsung memberikan hasil pengumuman pada Veka. Tidak mengerti maksudku, dia hanya memandang dengan bingung handphone yang ada ditanganku.

"Aku juga punya handphone!"

Ya ampun, kenapa perempuan ini lemot sekali. Masa dia tidak mengerti dengan pergerakanku ini. Kepala menggeleng, bingung untuk melakukan apa agar dia mengerti bahasa tubuh.

Aku memegang tangan Veka, lalu menaruh hanphone di atasnya. Lewat isyarat mata, aku menyuruh untuk membaca. Layar handphone menampilkan hasil pengumuman hasil ujian keseluruhan.

Veka langsung melihat. Beberapa detik berlalu, Veka pun bersuara. "Arfaa, kok aku bisa lulus? Ini namaku? Kenapa bisa jadi peringkat pertama?" tanya Veka dengan raut wajah bingung.

Alisku berkerut mendengar ucapan Veka. Kenapa bingung, harusnya 'kan dia senang? Bukan kah ini kabar baik untuknya. Aku tidak berkata apa pun, untuk menjawab pertanyaan Veka.

Lama tidak ada respon dariku. Tiba-tiba mimik wajah Veka tersenyum. "Aku benaran lulus! Aku lulus, Arfaa! Luluuusss!" teriak Veka, dia terlihat sangat bahagia.

"Aku lulus! Aku masih nggak nyangka," tutur Veka sambil menatapku. Matanya berkaca, mungkin saja sedang menahan haru.

Aku tersenyum pada Veka. Senyuman pertama yang aku beri untuknya. Tidak mungkin tetap jutek, dalam kondisi begini. Rasanya senang, melihat Veka sebahagia ini. Apa yang terjadi padanya, jika nilai ujian berhasil diubah? Mungkin dia tetap bahagia, karena setidaknya bisa lulus, namun tidak sebahagia ini.

Meskipun aku tidak suka tingkah Veka, tetapi melihatnya bersedih karena kecurangan, aku tidak tega. Jika aku tidak menukar posisi dengannya, Veka akan lulus dengan peringkat ke tiga puluh delapan. Sedangkan kembarannya, lulus dengan peringkat lima puluh dua. Sungguh tidak adil, bukan? Sebab nilai Veka lebih tinggi.

"Tante Fatmaaa! Aku lulus!" ujar Veka, berlari memeluk Tante Fatma. Pelukan yang hanya sebentar, tetapi mengandung bawang. Terlihat raut haru di wajah Tante Fatma. Aku bingung dengan interaksi antara Veka dan Tante Fatma. Mengapa terlihat seperti orang yang sudah lama kenal? Apakah mungkin, karena mereka memiliki karakter yang sama, mudah dekat dengan orang baru.

Berbeda denganku, yang sangat sulit percaya dengan orang baru dan selalu mencurigai orang-orang yang ada di sekitar. Sepertinya Veka bisa akrab dengan siapapun yang dia inginkan, kecuali denganku.

"Kalau Arfa, gimana? Lulus?" tanya Tante Fatma pada Veka yang bisa aku dengar dari tempat duduk.

"Arfa juga lulus, tante. Dia peringkat ke tiga puluh delapan." Veka masih memancarkan senyum.

"Kalau Veka peringkat berapa?" tanya tante Fatma.

"Aku peringkat satu, tante," ujar Veka dengan senyum malu-malu.

"Berarti kamu lebih pintar dari Arfa. Padahal Arfa itu-"

"Tante, ada yang mau bayar," ujarku memotong ucapan Tante Fatma. Bisa bahaya jika dia menceritakan prestasiku ke Veka.

Aku pun berdiri untuk mengambil piring bekas makan yang ada di meja, tak ingin Tante Fatma mencurigai gelagatku. Aku mulai mencuci piring yang tadi diambil. Veka kembali menggangguku dengan ocehannya.

"Oh iya, sekali lagi makasih ya. Aku yakin salah satu penyebab bisa lulus, karena jawaban yang waktu itu kamu kasih ke aku. Kalau bukan karena bantuan kamu, mungkin aku sudah tidak lulus. Tetapi yang mengherankan, kok aku bisa dapat peringkat pertama. Guru-guru di sana pasti pada rabun atau malas memeriksa soal. Atau juga mereka salah kasih aku nilai. Aku saja isi soal dengan ragu, jawabanku pasti banyak yang salah. Tapi kok nilai yang keluar, benar semua. Aneh 'kan?"

Aku tidak bereaksi apa pun mendengar ucapan terimakasih dari Veka. Bagiku, dia bisa lulus karena usahanya sendiri. Jika dia tidak pintar menyontek, pasti tidak akan lulus.

Saat aku mengambil piring untuk makan, dia juga mengikuti. Masih dengan terus bercerita. Sepertinya setelah ini, aku harus membeli obat telinga di apotik. Suara cempreng Veka sungguh sangat mengganggu.

Kami sudah duduk di kursi. Tanganku mulai memasukan nasi ke dalam mulut, tidak lupa pula dengan memakan lauk. Jika tidak ada Veka, makanan ini pasti sangat enak.

"Kalau dengar kabar ini, ayah dan ibu pasti senang. Aku jadi semangat untuk pulang ke rumah. Aku akan bangga cerita ke ibu dan ayah, jika lulus di SMA Prabangga. Apalagi mereka tidak tahu aku ikut tes di sana. Aku yakin, mereka pasti kaget mendengar kabar ini," ujar Veka sambil makan.

"Sebenarnya aku heran, kenapa ayah dan ibu tidak pernah bangga padaku … Tetapi aku rasa, mungkin karena aku tidak pernah mendapat juara kelas. Sedangkan kembaranku punya banyak prestasi. Dia anak yang hebat dan pantas dibanggakan." Veka berkata, nada suara mengandung kesedihan.

"Tapi kok di pengumuman, kak Deva peringkat ke lima puluh dua? Padahal dia selalu juara di sekolah. Atau mungkin terbalik, aku seharusnya peringkat lima puluh dua dan kak Deva peringkat satu."

Aku yang menunduk makan sejak tadi, langsung mengangkat wajah dan menatapnya.

"Bisa jadi 'kan. Nilai kami berdua tertukar. Tapi tidak mungkin. Masa iya nilai kami bisa tertukar?" ujar Veka sambil berpikir.

Aku kembali melanjutkan makan. Menjawab satu per satu isi pikiran Veka, hanya akan membuatnya curiga, siapa aku. Itu tidak boleh terjadi.

"Aku sebenarnya iri dengan Deva, kedua orangtuaku selalu memujinya. Sejak kecil, dia sudah menjadi bintang iklan. Model untuk pakaian anak-anak, Selalu juara di sekolah, dan masih banyak lagi prestasi Kak Deva. Sedangkan aku, hanya perempuan biasa, tidak berprestasi dan tidak secantik Kak Deva."

Hening diantara kami, Veka menghentikan cerita. Sepertinya dia ingin menangis. Mata mulai berkaca.

"Hari ini, aku bisa membuktikan pada ayah dan ibu. Aku juga bisa punya prestasi, buktinya aku bisa berada di peringkat pertama dari seribu lebih siswa yang mendaftar di SMA Prabangga."

Aku masih menyimak ucapan Veka. Nasi yang ada di piring sudah hampir habis. Takut dia semakin sedih karena tidak di gubris, aku pun memperlambat makan. Setidaknya aku bisa menjadi pendengar.

"Tetapi, aku juga takut kecewa. Takut, jika setelah aku memberitahu ayah dan ibu, mereka biasa saja mendengar prestasiku ini. Aku juga takut, meskipun kak Deva berada jauh di bawah peringkatku, dia tetap dibanggakan. Aku takut ..." Air mata Veka tak terbendung. Dia menangis, air yang sejak tadi mungkin berusaha ditahan. Kini berlomba untuk keluar.

"Kalau menurutmu gimana, Arfa? Apa aku diam saja? Tidak usah cerita ke ayah dan ibu. Kalau mereka lihat nilai ujian kak Deva, mereka pasti juga akan lihat namaku. Biarkan mereka akan tahu dengan sendirinya, tanpa aku yang bicara."

Veka menatapku. Tanpa menggubris ucapannya, aku berdiri dari kursi. Menuju ke dapur lalu menaruh piring bekas makan ke wastafel. Veka berteriak memanggil namaku. Panggilan yang berulang-ulang itu, tidak satupun aku gubris.

Kenapa dia bertanya padaku? Melihat orang tuanya saja, aku belum pernah. Apalagi berbicara dengan mereka. Bahkan aku sudah lupa nama ayah Veka yang pernah disebut oleh pihak sekolah.

Veka sudah berada di sampingku. Dia kembali berkata, "aku akan berusaha agar kamu mau menjadi temanku. Terserah, kamu hindari aku seperti apa, aku akan tetap berusaha agar kita bisa berteman. Kamu itu satu satunya orang yang pernah membantuku. Selama ini, setiap orang yang melihatku saja, nampak jijik. Terimakasih karena sudah mendengar ceritaku." Terpancar senyum di wajah Veka, kesedihan beberapa detik lalu telah sirna.