Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 5 - Jangan Membandingkan Aku!

Chapter 5 - Jangan Membandingkan Aku!

Takut semakin marah padanya, aku langsung meninggalkan meja. Mengangkat piring yang berisi nasi dan satu paha ayam, di tangan kiri ada segelas jeruk hangat. Veka kaget dengan tindakanku. Mimik wajah berubah, dia terus memanggil namaku. Namun, tidak ada respon. Aku menyesal sudah membantunya tadi di sekolah. Kalau dia juga lulus, kami akan bertemu setiap hari.

"Loh loh, kenapa makananya diangkat ke sini?" ujar tante Fatma saat melihatku. Dia sedang menyiapkan pesanan dari pengunjung yang baru saja datang.

"Dia terlau cerewet! Aku tidak suka!" ujarku tanpa melihat wajah tante Fatma. Aku lalu duduk di kursi yang ada di dapur.

"Tapi kasian lo dia, makan sendiri nggak ada teman. Jadi anak lelaki itu tidak baik jutek seperti ini. Namanya juga perempuan, ya pastilah cerewet. Yang aneh itu kalau laki-laki yang cerewet. Jangan ulangi lagi ya," ujar tante Fatma dengan tangan yang masih sibuk.

Aku hanya menyimak nasehat tante Fatma tanpa mengangguk pertanda setuju. Bagiku tidak semua nasehat perlu dituruti, cukup di dengar lalu di lupakan. Bisa bermasalah hidupku jika berurusan dengan perempuan seperti Veka.

"Kamu harus memiliki sifat seperti ayahmu. Ramah dan suka membantu orang. Sombong, jutek, dingin, pemarah, nakal, Semua itu bukan karakter dari ayahmu. Jadi tante harap, kejadian tadi menjadi yang terakhir tante lihat. Kamu tidak boleh lagi jutek dengan temanmu. Walau bagaimanapun, dia teman sekolahmu, Arfa. Jadi wajar 'kan kalau kalian makan bersama."

"Aku juga baru bertemu tadi, tante. Dia juga mendaftar di SMA Prabangga."

"Bagus itu! Kalau kamu dan dia lulus, berarti kamu sudah punya teman di sekolah. Hidup tanpa teman itu tidak bagus, Arfa. Sekarang kamu tidak susah lagi cari teman. Meskipun tante lebih suka kalau kamu berteman dengan laki-laki. Tetapi, misalnya hanya perempuan yang mau berteman dengan kamu, tidak apa-apa juga. Dari pada tidak ada sama sekali."

"Aku tidak butuh teman, Tante!" ujarku lalu berdiri, membawa piring dan gelas di tempat pencucian piring.

Nasehat ini bukan pertama kali aku dengar. Tante Fatma sudah berulang kali mengatakan, dan selalu mendapat respon acuh dariku. Tidak perlu di bantah lewat ucapan. Dengan melihat mimik wajah, aku yakin jika tante Fatma sudah tahu, jika aku tidak suka mendengar nasehatnya.

Membandingkan aku dengan ayah adalah hal yang paling aku benci. Kami berbeda, meskipun dalam diriku ada darah ayah. Kehidupan masa kecil kami tidak sama, aku punya pengalaman yang pahit sedangkan ayah tidak.

Aku juga tidak percaya pertemanan. Tidak ada satupun orang yang aku percaya di dunia ini selain ibu dan Kak Tari. Bahkan dengan tante Fatma pun aku harus tetap waspada. Dia orang lain bukan keluargaku, hanya kebetulan kami bertetangga dan sejak lama saling kenal.

Tangan terus mencuci piring. Di sini aku hanya bertugas mengantar makanan ke meja, mengangkat piring kotor dan mencucinya. Tidak seperti biasanya, hari ini ada banyak pengunjung. Aku belum istrahat dari tadi. Hingga waktu menunjuk pukul sembilan malam, aku pun meminta izin untuk pulang.

Setibanya di rumah, aku menyalakan lampu teras. Aku lalu duduk di kursi, menghadap laptop rusak yang sudah menjadi bagus. Laptop ini aku temukan di tempat sampah. Dengan kecerdasan, aku bisa memperbaiki. Jika ada waktu luang, aku juga sering mencari barang bekas untuk menambah penghasilan.

Setelah satu jam berada di depan laptop, aku lalu melangkah ke tempat tidur. Jam dua dini hari, aku harus bangun. Ada visi yang harus diselesaikan dan tidak bisa ditunda. Handphone berdering, aku langsung mengangkat. Hanya ada satu nomor yang ada di benda pipih ini, nomor ibu.

["Hallo, Arfa!"] Terdengar sapaan dari speaker handphone. Aku menjawab dengan suara lembut.

["Tadi bagaimana ujiannya, kamu bisa kerjakan?"] tanya ibu. Aku menuju kasur, ingin berbaring. Rasanya badan sangat lelah, namun aku tidak boleh mengeluh.

"Bisa dong, Bu. Bukan Arfa namanya, kalau tidak bisa menjawab soal segampang itu," ujarku dengan tertawa pelan diakhir kalimat.

["Alhamdulillah. Ibu khawatir, kamu tidak bisa kerjakan. Ternyata anak majikan ibu juga mendaftar di sekolah yang sama dengan kamu. Tetapi katanya, soal ujiannya sangat susah. Dia sudah menyerah, kalau lulus syukur. Kalau nggak, kata orang tuanya, dia akan di sekolahkan di tempat yang lebih bagus."]

"Gimana ceritanya, Bu? Kalau dia tidak lulus, berarti otaknya kurang mampu. Bagaimana caranya, lulus di sekolah yang lebih bagus?"

["Mereka orang berduit, Nak. Bisa melakukan apa saja yang mereka mau."]

Aku berbalik ke kiri, sebelum merespon ucapan ibu. Menjadikan tangan sebagai tumpuan kepala.

"Semua soal akan sulit kalau kita tidak pernah pelajari, Bu. Tadi pertanyaan yang aku dapat, gampang semua kok. Aku bahkan bisa selesaikan sebelum waktunya."

["Ibu senang dengar kabar ini. Kamu jaga kesehatan ya, karena kita jarang ketemu. Telepon ibu, kalau kamu butuh uang. Tetapi ibu harap itu jangan terjadi. Karena kamu anak laki-laki, jadi harus bantu ibu. Kita masih butuh uang yang banyak untuk pengobatan kakakmu."]

"Iya, bu. Ibu juga harus jaga kesehatan. Jangan lupa istrahat yang cukup."

Setelah percakapan itu. Ibu langsung mematikan panggilan. Aku rindu dengannya, tetapi harus ditahan. Sudah dua tahun, ibu bekerja sebagai asisten rumah. Meskipun kami berada di kota yang sama, ibu memilih untuk tinggal di rumah tempatnya bekerja. Karena jika tinggal di rumah majikan, ibu akan mendapat gaji lebih banyak.

Aku menatap langit-langit. Terpisah dengan dua perempuan yang paling aku sayang dan hidup mandiri diusia seperti ini, sangat tidak mudah. Aku harus membagi waktu belajar, bekerja, dan sekolah. Aku harus membuktikan jika bisa. Aku mencoba terlelap, memasang Alarm untuk bangun di jam satu malam.

Detik jam terus berputar. Seperti yang diinginkan, aku bangun saat alarm berbunyi. Biasanya karena tidur yang terlelap, aku tidak bisa mendengar suara alarm. Mengumpulkan nyawa agar dapat berdiri. Aku pun melangkah untuk mencuci muka.

Memakai topi coklat dan masker serta kaca mata. Agar wajah tidak dapat di kenal jika terjadi sesuatu. Tidak lupa pula memakai jam tangan, yang fungsi sesungguhnya hanya aku yang tahu. Aku lalu memakai jaket tebal, sebab cuaca malam sangat dingin. Kali ini aku tidak akan berlari, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan visi tidak lama.

Langkah terhenti saat handphone berbunyi. Aku mengangkat dengan panik. Ada apa dengan ibu, menelepon di jam begini?

["Arfa, kakakmu sudah sadar. Ibu di telepon dari pihak rumah sakit,"] ujar ibu dengan suara yang bahagia.

"Alhamdulillah. Jadi kapan kita ke rumah sakit, Bu. Kalau ibu ke sana aku ingin ikut. Sudah lama aku tidak bertemu dengan Kak Tari."

["Ibu tidak bisa ke sana besok. Ada acara di rumah majikan ibu. Gimana kalau kamu saja yang pergi melihat keadaan kakakmu?"]

"Iya, bu. Nanti aku saja yang ke sana. Sekarang ibu istrahat ya, sudah malam."

Ibu menyetujui, telepon langsung dimatikan. Tidak ingin waktu habis, aku langsung melangkah cepat keluar rumah.

Menggunakan sepeda, aku menuju ke sekolah Prabangga. Aku mengendara dengan sangat laju. Keadaan malam tidak membuat keringat bercucuran. Aku lalu menaruh sepeda di tempat yang agak jauh dari pagar belakang sekolah. Mematikan semua cctv yang ada di rumah-rumah sekitar. Agar pergerakanku tidak terbaca.

Sebelum memanjat pagar sekolah setinggi tiga meter, aku juga mematikan semua cctv yang ada di sekolah. Bisa bahaya, jika ada satu saja gambar yang menangkapku. Aku langsung melangkah ke ruang guru.

Wajah tersenyum sinis. Setelah ini, kalian tidak bisa macam-macam lagi! Sekolah ini akan berada di bawah kendaliku!