Chereads / Belenggu Cinta dan Dendam / Chapter 6 - Hilang Ingatan!

Chapter 6 - Hilang Ingatan!

Aku membuka pintu ruang guru dengan kunci duplikat yang ada di tangan. Aku tidak hanya membawa satu kunci. Waspada, jika satu kunci tidak cocok masih ada kunci yang lain. Setelah mencoba menggunakan kunci ketiga, pintu langsung terbuka.

Di celanaku ada lima belas alat perekam suara berukuran kecil dan memiliki kapasitas memori yang besar. Jika ada yang melihat, pasti tidak akan menyadari kalau benda ini adalah alat peremkam suara. Alat perekam ini sengaja aku buat berukuran kecil seperti kelereng namun tidak bundar. Jika dilihat, orang akan mengiranya batu berwarna coklat.

Aku menaruh lima alat perekam di pot bunga yang ada dalam ruang guru. Letak pot bunga sangat strategis, berada di setiap sisi ruangan dan di tengah. Aku lalu membuka pintu ruang rapat. Di sini aku juga menaruh lima alat perekam. Selanjutnya, aku masuk ke dalam ruang kepala sekolah. Aku hanya menaruh dua alat perekam, karena di sini hanya ada dua pot bunga. Terakhir, aku menaruh alat perekam di ruang istrahat cleaning service. Aku juga butuh informasi dari sini.

Setelah memastikan semua sudah di taruh pada tempat yang tepat, aku secepatnya keluar. Takut ada yang melihat. Untung saja, semua bunga hias yang ada di dalam ruangan, memiliki batu-batu kecil sebagai hiasan yang memperindah. Jika tidak, aku akan berpikir keras untuk menaruh di mana semua alat perekam.

Aku kembali menaiki pagar. Dari dalam sekolah, pagar ini cukup tinggi. Aku sudah mencoba tiga kali untuk naik, tetapi tidak bisa. Dalam cobaan yang keempat, aku akhirnya berhasil. Sebelum mengendarai sepeda, aku mengaktifkan dulu semua cctv di dalam sekolah, yang tadi sempat aku matikan. Namun untuk cctv di rumah-rumah depan jalan, aku aktifkan setelah terlewati. Tidak usah khawatir, kemampuanku bersepeda cukup diperhitungkan, tanpa memegang setir pun aku bisa menyeimbangkan badan.

Tiba di rumah pukul tiga malam. Aku duduk di kursi belajar, lalu menyalakan laptop. Ingin memastikan jika semua alat perekam sedang aktif. Meskipun terlihat kecil, alat perekam yang aku buat memiliki kapasitas satu terabyte.

Dering telepon berbunyi. Apa ibu tidak tidur? Sekarang baru lewat jam tiga. Aku langsung mengangkat, tidak ingin membuat ibu menunggu lama.

"Hallo, Bu!"

["Jangan lupa hari ini kamu harus ke rumah sakit."]

"Iya, Bu. Aku tidak akan lupa. Jam lima aku siap-siap. Agar jam enam pagi sudah di sana dan secepatnya memberi kabar ke ibu. Sekarang ibu istrahat ya! Hari ini ibu akan lelah karena ada acara di rumah majikan ibu," ucapku dengan lembut.

["Ibu tidak bisa tidur, Nak. Ingin secepatnya dengar kabar tentang kakakmu."]

"Tapi kalau ibu tidak tidur, nanti ibu akan sakit. Kata dokter, Kak Tari sudah siuman. Berarti keadaannya sudah membaik. Ibu tidak perlu khawatir ya. Semua akan baik-baik saja," tuturku sambil menutup mata dan menyandarkan punggung ke kursi.

["Sebenarnya ibu juga ingin ke rumah sakit. Tapi tidak enak minta izin ke majikan."]

"Tidak apa-apa, bu. Biar aku saja yang ke sana."

["Kamu secepatnya kabari ibu ya."]

"Iya, Bu. Sekarang ibu harus lanjut tidur."

Syukurlah, ibu menuruti keinginanku, setelah aku memaksa. Handphone dimatikan dan aku lanjut memainkan laptop. Waktu siang sebentar lagi akan datang. Aku tidak ingin tidur, takut terlelap.

Pukul lima, aku lalu keluar dari rumah. Menggunakan topi dan handsed di telinga, aku berlari tanpa henti, hingga tiba di rumah sakit. Tangan membuka pintu, langkah kaki memasuki sebuah ruangan. Terlihat seorang perempuan bertubuh kurus sedang berbaring membelakangiku.

"Kak Tari!" panggilku dengan suara lembut, sambil mengusap kepalanya.

Kak Tari berbalik dengan perlahan. Matanya menyipit saat melihatku. Wajahku tersenyum, sudah lama tidak melihat mata indah kak Tari. Mata itu tertidur terlalu lama. Setiap kali ke sini, harapan selalu kecewa. Kak Tari masih koma dan belum sadarkan diri. Hari ini adalah momen yang sudah lama aku dan ibu nanti.

"Ka-mu sia-pa?" ujar kak Tari dengan terbata.

Aku diam mendengar suara lembut kak Tari. Tangan yang mengusap kepala, berhenti tiba-tiba. Wajah yang tersenyum sejak tadi, kini berubah. Ada apa ini, kenapa kak Tari tidak mengenaliku? Kepala terus menggeleng, berusaha menghilangkan pikiran buruk yang terbesit.

"Aku Arfa, Kak! Kak Tari tidak mengenal aku?" tanyaku dengan suara yang semakin lembut. Namun, tersirat kepanikan.

Kepala Kak Tari menggeleng perlahan, sambil menatapku. Dia hanya diam. Apa yang sebenarnya terjadi dengan kak Tari? Di kepalanya tidak ada bekas benturan akibat kecelakaan. Tetapi kenapa, dia bisa sampai koma terlalu lama dan bangun dalam keadaan tidak mengingat apapun?

Rasanya aku ingin menangis. Tetapi, berusaha menahan karena sedang berada di depan Kak Tari. Bukan tangisan haru sebab pertemuan, melainkan tangisan penuh amarah. Kenapa Kak Tari bisa seperti ini? Siapa yang tidak sedih, melihat keadaan sang kakak yang begini? Badannya sudah terlalu kurus. Baru saja bahagia karena mendapat kabar baik, ternyata aku harus mendapat kenyataan pahit.

"Ja-di nama-ku Ta-ri! Ka-mu sia-pa?" ujar kak Tari setelah lama terdiam.

"Aku Arfa, Kak. Adik kandung Kak Tari!" ujarku, mata mulai berkaca. Tangan menggenggam lengan kak Tari. Tubuh ini terlalu lemah.

"Kena-pa aku bi-sa ber-ada di si-ni?" ujar kak Tari lagi.

"Waktu itu Kak Tari kecelakaan saat pulang sekolah. Kakak sudah koma selama tiga bulan," ujarku tersenyum, berusaha menyembunyikan kesedihan.

"Oh, ja-di a-ku kece-lakaan. Su-dah ter-lalu la-ma, ya?"

Sejak tadi berada di samping Kak Tari, aku belum melihat senyuman yang terpancar di wajahnya. Dia seperti orang kebingunan yang coba mengingat-ngingat sesuatu.

"Kakak jangan banyak pikiran dulu. Nanti lama-lama ingatan kakak juga akan kembali. Mungkin ini pengaruh obat dalam infus karena kakak sudah terlalu lama tidak sadarkan diri." Aku berusaha menenangkan kak Tari, mengusap-ngusap kepalanya dengan lembut.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Seorang perawat masuk sambil memegang infus baru.

"Oh, Arfa sudah datang. Nanti jam sembilan ke ruangan dokter ya. Ada yang ingin diberitahu," ucap perawat sambil tersenyum padaku. Setelah menganti infus Kak Tari, dia lalu keluar dari ruangan. Ada beberapa perawat di Rumah Sakit ini yang mengenalku. Dulu sebulan setelah Kak Tari di rawat, aku selalu tidur di sini menemani Kak Tari.

"Kak, aku keluar sebentar ya. Tidak lama, aku akan kembali secepatnya," ujarku sambil melepas tangan yang menggenggam lengan kak Tari.

Kak tari tidak merespon apapun. Dia hanya terdiam dalam kebingunan. Aku langsung meninggalkanya.

"Suster!" panggilku sambil berlari setelah menutup pintu.

Perawat itu berhenti dan berbalik.

"Apa yang terjadi dengan kakakku? Kenapa dia tidak mengingatku?" tanyaku saat tiba tepat di depan perawat yang selalu melihat perkembangan keadaan kak Tari.

"Itu nanti disampaikan dokter. Aku tidak punya wewenang untuk menjelaskan. Terus pesanku, jangan dulu banyak mengajak Tari bicara. Kalau dia terlalu berusaha mengingat sesuatu, itu akan mengganggu kesehatannya. percayalah semua akan baik-baik saja." Perawat mengusap bahuku dan tersenyum. Dia lalu berbalik dan melangkah, meninggalkan aku yang sedang terdiam.

"Kak Tari akan baik-baik saja!" Aku berucap lirih, mengulang kalimat terakhir dari perawat. Aku kembali ke ruangan, tidak ingin Kak Tari menunggu terlalu lama. Saat masuk, aku mendengar Kak Tari bebicara, namun tidak mengerti ucapannya. Melangkah perlahan untuk mendekat, agar jelas mendengar perkataannya.

"Kenapa tidak ada satupun yang aku ingat?" ujar Kak Tari pelan. Dia sedang bermonolog sambil membelakangi pintu menghadap dinding.

"Kenapa aku tidak bisa mengingat apapun? Namaku siapa? Aku juga tidak tahu laki-laki tadi siapa! Bagaimana caranya aku percaya jika dia adik aku?" ujar kak Tari pelan sambil memukul-mukul kepala. Dia diam beberapa detik, hingga aku mendengar suara tangisan.