Chereads / BLUE & GOLDEN HOUR / Chapter 9 - Chapter 9 : Keputusan Zelea

Chapter 9 - Chapter 9 : Keputusan Zelea

"Lepaskan tanganmu, Gadeon!" bentak Zelea kepada suaminya yang masih mencekik erat anak gadisnya, Donela.

Secepat kilat, Zelea menepis kedua tangan Panglima Gadeon dari leher Donela hingga tangan Panglima Gadeon terpental.

Zelea mengepalkan tangan kanannya kuat-kuat lalu memukul ke arah dada Panglima Gadeon. Untunglah Panglima Gadeon berhasil menghalau. Kedua telapak tangannya menangkap dan menahan pukulan lurus Zelea yang keras hingga ia terseret mundur ke belakang.

Melihat pukulannya terhalau, Zelea melancarkan serangan lain. Ia menyerang dengan tendangan jejag. Panglima Gadeon mundur dengan cepat hingga tak terkena tendangan.

Zelea mengincar wajah Panglima Gadeon. Ia maju untuk memukul ke arah wajah. Panglima Gadeon menangkis dengan lengan kanan di hadapan wajahnya.

Zelea mengubah pijakan kaki membentuk langkah segi empat. Panglima Gadeon lengah. Ia lamban menebak gerakan Zelea yang kembali menyerang dengan pukulan bandul hingga mengenai bagian perutnya.

Panglima Gadeon terhempas mundur. Ia kelimpungan hampir terjatuh. Ia menahan sakit di perutnya yang terkena pukulan.

Panglima Gadeon melihat Zelea begitu serius menyerang. Ia sadar, rupanya Zelea benar-benar marah karena tak terima dengan perlakuan dirinya kepada Donela.

"Aku harus berhenti!" pikir Panglima Gadeon tanggap.

Ia harus berhenti dari perkelahian dengan istrinya sendiri. Kalau tidak, akan ada yang terluka entah dirinya atau pun Zelea. Ia memilih untuk segera pergi.

Panglima Gadeon kabur meninggalkan mereka berdua di kamar.

Zelea tak mengejar. Ia berpikir bahwa mengejar suaminya bukanlah keputusan yang tepat saat ini walaupun marah dan sedih berkecamuk di dalam hati akibat perlakuan suaminya itu kepada anak gadisnya yang tak berperikemanusiaan apalagi Panglima Gadeon adalah ayahnya sendiri.

Zelea lebih memilih untuk segera memberi pertolongan pada Donela.

"Donela .... !" panggilnya penuh kecemasan.

Zelea segera memberikan pertolongan pertama. Bersyukurlah, Zelea bisa bernafas dengan lega ketika pertolongan pertamanya bisa membuat Donela segera sadarkan diri.

Dengan mata berkaca-kaca, Zelea tak henti-hentinya memeluk Donela.

Ia melihat Donela terpaku dalam lamunan hingga tertunduk lesu. Zelea menjadi sangat iba melihatnya. Ia memegang kedua tangan Donela. Diangkatnya wajah anaknya itu dengan jari tangannya. Air mata menetes di wajah Donela.

"Tak perlu takut dengan siapapun Donela. Ibu akan selalu menolongmu!" ujar Zelea.

Ia berusaha menenangkan hati Donela. Ia menatap dalam-dalam wajah Donela berusaha untuk memahami apa yang sedang dirasakan Donela saat ini. Ia merasa Donela sepertinya kali ini sangat terpukul.

"Ibu, aku lelah dengan semua ini!" ujar Donela dengan suara lemah.

Donela kembali tertunduk lesu.

"Aku tak kuat lagi, bu .... !" ujarnya kemudian.

Air mata Donela kembali menetes. Ia menangis tersedu-sedu, menumpahkan beban berat yang membukit. Beban yang selama ini telah ia pikul di pundaknya. Air matanya mengalir deras sangat menyentuh hati. Ia terisak-isak menambah pilu yang menyayat.

Zelea membiarkan Donela menangis. Ia membiarkan Donela melepaskan segala kepenatan dalam dirinya. Ia membiarkan Donela menumpahkan kesedihannya dengan tangisan. Dipeluknya Donela lekat-lekat. Zelea ingin Donela membagi kesedihan kepadanya. Ia ingin menjadi orang yang selalu berada di dekatnya. Tak peduli apapun keadaan Donela, seorang ibu akan selalu menjadi malaikat bagi anaknya.

Lama sekali Donela menangis. Selalu terbayang dalam pikirnya perlakuan ayahnya yang begitu tega kepadanya. Ia masih mampu menghalau sakitnya perlakuan orang kepadanya, seberapa banyaknya jumlah mereka, seberapa kerasnya perlakukan mereka ataupun seberapa banyak kekerasan itu diberikan kepadanya. Tetapi ketika seorang ayah yang melakukannya, ia menjadi begitu lemah apalagi kali ini, ayahnya sendiri ingin dirinya mati. Donela benar-benar hancur karenanya.

"Uhhh....!" keluh Donela sangat lirih dalam isak tangisnya seakan ia mengeluh dengan takdirnya yang buruk.

Namun, Donela merasa harus kembali bangkit. Ia masih memiliki malaikat dalam hidupnya. Ia percaya kepada ibunya. Ibunya tak akan pernah meninggalkan bahkan mencelakakan dirinya. Ibunya tak akan sanggup melakukan hal yang sama seperti ayahnya.

Donela sadar, keanehan dalam dirinya tak bisa dihindari. Ia hanya harus terus menjalani takdirnya yang aneh dan terkutuk itu. Jikalau ia harus mati maka ia akan terima. Jikalau ia harus dibela maka ia akan berterima kasih.

Donela berusaha sekuat tenaga untuk mengakhiri kesedihannya. Ia berusaha untuk berhenti menangis. Ia menatap wajah ibunya.

"Ibu, apakah ibu tak apa-apa?" tanya Donela lembut kepada Zelea yang terlihat olehnya ikut menitikkan air mata.

Zelea menatap Donela lembut.

"Tak masalah, ibu baik-baik saja." Zelea menjawab lembut.

"Apakah kamu takut pada ayahmu? tanya Zelea kemudian.

"Iya, bu! Aku takut!" Donela menjawab dengan kejujurannya.

Zelea menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan berusaha mengurangi rasa pilu dan amarah yang kembali membuncah.

Ia kembali memeluk erat Donela dan memberinya kecupan-kecupan hangat di kening, berusaha kembali menenangkannya.

"Kamu tak perlu takut, Donela! Ibu ada di sampingmu. Ayahmu tak akan berani mengganggu lagi!" ujar Zelea sungguh-sungguh.

Ia ingin agar Donela tak lagi takut dengan ayahnya. Ia tak ingin Donela menjadi trauma karenanya.

Donela mengangguk tanda ia percaya kepada ibunya.

"Terima kasih, bu .... !" panggil Donela lirih.

Ia mengeratkan pelukannya.

"Kamu harus tegar, Donela! Segala keburukan yang menimpa hidup suatu saat akan bermakna juga!" ujar Zelea memberi motivasi kepada Donela.

Ia ingin agar Donela tetap tabah dalam menghadapi takdirnya yang kejam. Ia yakin suatu saat nanti takdir buruknya ini akan menjadi takdir baik untuknya.

"Aku lelah bu ...." ujar Donela begitu lirih terdengar di telinga Zelea.

"Kalau begitu berbaringlah, Donela! Tidurlah dengan nyenyak! Ibu akan menjagamu di sini, di sampingmu!" ujar Zelea lembut.

Zelea mengerti keadaan Donela yang kelelahan. Ia mempersilahkan Donela tidur dengan nyaman. Donela merebahkan badannya di kasur. Ia tidur memiringkan badan memeluk Zelea di sampingnya. Zelea menyelimuti Donela. Donela masih menatap ibunya dengan tatapan sayu.

Zelea menatap wajah Donela. Ia berusaha mendalami perasaan Donela dalam-dalam yang tersiksa karena terlahir dengan keanehan hingga dewasa ini.

Keanehan yang dianggap orang lain sebagai kutukan. Kutukan yang menjadi kemalangan baginya maupun bagi orang lain. Lebih parahnya lagi, keanehan ini bisa mengancam nyawa dirinya sendiri juga orang lain.

Ia tak pernah terima ketika anaknya dianggap sebagai iblis pembunuh yang terkutuk. Ia tak terima dikala orang-orang mengutuk Donela seakan Donela seorang iblis yang meresahkan kehidupan penduduk di Negeri-negeri Adogema.

"Aku bisa apa? Tak ada yang bisa kulakukan selain bersyukur memiliki Donela dan bersabar dengan keadaannya. Tak ada yang peduli pada Donela, tidak juga dengan ayahnya. Hanya aku yang Donela miliki satu-satunya di dunia ini. Aku yang bisa menguatkannya! Hanya aku yang bisa melindunginya! Hanya aku yang bisa menolongnya!" ujar Zelea lirih dalam hatinya yang terenyuh.

Pernyataan-pernyataan itu begitu menghentakkan jiwanya. Ia menghela napas panjang berusaha menghempaskan kepenatan dalam diri ketika ia mengasihi Donela.

"Aku harus menolongnya. Bagaimanapun keadaannya. Kali ini, aku harus menolong Donela!" pikirnya memaksakan keadaan.

Donela mulai mengatupkan kedua matanya. Ia menguap tanda lelah. Beberapa saat kemudian, ia tertidur pulas hingga terdengar dengkuran dari mulutnya.

Zelea menatapnya dengan iba. Ia merasa saat ini Donela sangat kecapean setelah kejadian tadi. Zelea tak lagi mengantuk. Ia menolak untuk tidur. Ia akan menjaga Donela dalam tidurnya.

Waktu berlalu, Zelea masih berjaga. Ia tak berhenti memikirkan Donela.

"Bagaimana menolong Donela dari ancaman dan kebencian orang? Lalu, bagaimana mengobati Donela dari mimpinya yang berbahaya? Bagaimana menolong orang yang terancam mati oleh mimpi Donela?" pikir Zelea.

Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk.

Melalui pemikiran yang panjang dan matang, akhirnya Zelea tahu apa yang harus dilakukannya untuk menolong dan mengobati Donela.

Pertama adalah dengan mengamankan Donela di tempat yang jauh dari ancaman dan kebencian. Di sana, Ia akan mengajarinya ilmu bela diri agar Donela mampu menghadapi ancaman dalam dirinya tanpa bergantung kepada orang lain.

Kedua, ia harus bisa menyelamatkan calon korban di mimpi Donela. Dengan begitu, akan mengubah kepercayaan orang-orang bahwa mimpi Donela tidak lagi nyata. Donela tak lagi menakutkan.

Kedua cara tersebut selalu terngiang dalam pikiran Zelea selama penjagaannya.

"Aku akan mencari cara agar secepat mungkin Donela mengungsi. Aku putuskan untuk mengubah takdir! Besok aku akan menyelamatkan Penasehat Yizab dari kematiannya karena jika Penasehat Yizab mati maka Donela akan berbahaya." tegas Zelea dalam hati.

Zelea menghela napas panjang kemudian memandang Donela yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Lambat-laun waktu berjalan, keduanya terlelap juga hingga fajar memaksa keduanya membuka mata.

****

Bersambung...