Chereads / BLUE & GOLDEN HOUR / Chapter 8 - Chapter 8: Mimpi Donela

Chapter 8 - Chapter 8: Mimpi Donela

Pangeran Hogan tak menemukan jejak kedua wanita asing itu yang pergi entah kemana di Bukit Naga. Ia tak mengira jika keduanya pergi begitu saja tanpa memberi tahu kemana mereka pergi. Ia khawatir karena salah satu dari mereka terluka oleh anak panah dan harusnya beristirahat dalam perawatan.

"Siapa sebenarnya kedua wanita itu?"

"Dari mana mereka berasal?" Pangeran Hogan bertanya-tanya.

Pangeran Hogan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang menuruni Bukit Naga menuju Kerajaan Sondan.

****

Sementara itu, malam di Kerajaan Sondan, warga begitu damai dalam peraduannya. Namun, berbeda dengan keadaan di kompleks kediaman Panglima Besar Gadeon. Suara teriakan gadis memecah keheningan malam.

"Tidak! Aaakkhhh!" teriak gadis mengagetkan seisi kompleks kediaman Panglima Gadeon di istana kerajaan.

Entah kenapa, Semua orang di kompleks terbangun. Namun, mereka memilih untuk kembali ke peraduan tak menghiraukannya. Mereka tak mau peduli. Hanya dua orang saja yang peduli. Keduanya bergegas menuju ke arah sumber suara.

"Ada apa lagi ini, Zelea! Donela berteriak lagi! Dasar gadis terkutuk!" teriak Panglima Gadeon ketus.

Panglima Gadeon merasa sangat kesal.

"Bisakah kamu tak berbicara buruk tentang putri kita, Gadeon!" ucap Zelea tak terima dengan teriakan kasar suaminya.

Mereka sampai di depan kamar gadisnya, Donela. Mereka segera membuka pintu kamar dengan paksa hingga pintu dari kayu jati itu berbunyi dengan keras.

BRAKKK!

Bunyi pintu dibanting keras.

Kamar Donela adalah satu-satunya kamar keluarga pejabat istana yang tak pernah dijaga di setiap malamnya. Bukan karena pihak istana tak mau memberikan penjagaan melainkan memang tak pernah ada pengawal istana yang mau menjaga kamar sang gadis.

"Donela Donela Donela, bangun!" Zelea memanggil-manggil Donela yang tampak belum juga sadarkan diri dari tidurnya.

Ia menggoyang-goyangkan tubuh Donela berusaha membangunkannya dengan segera. Donela masih dalam tidurnya. Bibirnya yang merah muda dipenuhi dengan racauan dan isak tangis. Ia rupanya tengah bermimpi.

"Donela! Bangunlah!" panggil Zelea lagi.

Beberapa saat kemudian, sayup-sayup matanya yang agak sipit mulai terbuka. Donela bangkit duduk. Tampak di matanya, Ibunya, Zelea tengah berada di samping dirinya.

"Ibu .... " Donela memeluk erat Zelea ketika ia telah tersadar sepenuhnya.

Ia tampak sangat ketakutan. Napasnya tak teratur. Tangisnya pecah berpadu dengan sedu-sedan.

"Apa kamu mimpi buruk lagi?" tanya Zelea lembut.

Kedua tangannya mengelus lembut rambut hitam dan punggung Donela, berusaha menenangkannya.

Panglima Gadeon hanya berdiri menatap tajam keduanya dengan menyilangkan tangan. Dahinya yang lebar mengernyit tajam. Tampaknya ia masih merasa sangat kesal.

Zelea menatap mata suaminya. Ia menangkap kekesalan di wajah suaminya. Mata sipitnya menajam memberi kode agar ia tak perlu merasa kesal dan segera ikut menenangkan Donela. Namun, Panglima Gadeon tak menggubris.

"Ibu ... Aku takut, " ucap Donela mengadu kepada Zelea.

Ia merasa ketakutan. Air mata masih meleleh di kelopak matanya yang mengatup. Namun, Sedu-sedannya lambat-laun mulai menghilang. Ucapan "aku takut" selalu menghiasi bibir merahnya setiap kali ia bermimpi seperti itu.

Beberapa saat kemudian, Donela sudah mulai merasa tenang. Ia melepaskan pelukan ibunya.

Zelea mengusap lembut air mata di wajah Donela. Ditatapnya lembut anak gadisnya yang kini menginjak usia 22 tahun itu.

"Bisakah kamu menjelaskannya?" tanya Zelea meminta penjelasan.

Zelea menatap Donela dalam-dalam. Ia memegang erat kedua tangan Donela. Donela mengangguk.

"Aku bermimpi membunuh lagi. Aku menerkam seorang lelaki hingga mati di perahunya!" ucap Donela.

Ia menceritakan lagi dan lagi mimpi buruknya tentang pembunuhan seseorang. Mimpi buruk yang selalu datang di sepanjang hidupnya. Mimpi membunuh seseorang. Mimpi yang menjadi beban hidupnya hingga kini.

Zelea menghela napas panjang mendengarnya. Panglima Gadeon membuang mukanya ke arah kanan. Ia berusaha mengatur amarahnya dengan membuang napasnya dalam–dalam. Ia tak sudi menatap Donela. Ia mengangkat bibir karena merasa jijik kepada Donela.

"Siapa yang terbunuh dalam mimpimu kali ini?" tanya Zelea menyelidik.

Donela terdiam. Ia berpikir sejenak. Ia menatap Panglima Gadeon. Panglima Gadeon tertangkap mata tengah memainkan kumisnya yang tebal dengan muka masamnya yang masih ia buang ke arah kanan.

Alis wajah Donela yang tebal tiba-tiba terangkat ke atas, matanya dan mulutnya terbuka melebar. Dari ekspresinya, Donela merasa takut memandang wajah seram penuh amarah dari Panglima Gadeon.

Ia kemudian menatap Zelea, masih dengan ekspresi yang sama. Donela menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Ia tak jadi menjawab takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan dari ayahnya. Ia menjadi enggan untuk memberitahukannya.

Zelea memandang Pangeran Gadeon. Ia memajukan wajahnya dengan mata terbelalak seakan memberi isyarat agar Panglima Gadeon berlaku wajar. Panglima Gadeon hanya menatapnya tanpa menggubris. Zelea kemudian menatap kembali Donela.

"Bari tahu kami, siapa yang terbunuh, Donela?" bujuk Zelea.

"Ini penting Donela, mimpimu selalu menjadi nyata!" seru Zelea menekankan pernyataan.

"Aku tidak sanggup untuk memberitahukannya, bu!" ucap Donela masih enggan untuk memberi tahu karena kali ini ia merasa kematian dalam mimpinya adalah kematian orang penting di Kerajaan Sondan.

"Beritahu ibu, barangkali ibu bisa membantu!" tegas Zelea meyakinkan.

Ia berharap teka-teki mimpi pembunuhan Donela bisa terjawab kali ini.

Donela berpikir sejenak untuk berani mengungkapkannya dengan resiko apapun. Ia menghela napas panjang berusaha untuk rileks lalu memutuskan untuk memberi tahu.

"Di – dia, Penasehat Yuzab," ujar Donela lirih.

"Apa?" tanya Zelea dan Panglima Gadeon lantang dan terkejut.

Keduanya seakan tak percaya dengan apa yang Donela katakan. Kedua tangan Panglima Gadeon yang menyilang di dada refleks diturunkannya. Ia dan Zelea saling menatap tajam satu sama lain.

"Itu artinya tak lama lagi Penasehat Istana Yuzab akan segera mati!" seru Panglima Gadeon keras. Ia menjadi naik pitam.

Benar! Setiap mimpi Donela tentang kematian warga selalu menjadi kenyataan. Jika Donela bermimpi ia membunuh seseorang maka seseorang dalam mimpinya itu akan mati seperti yang tergambarkan dalam mimpi.

Mimpi yang dialami Donela juga akan terkoneksi dengan orang yang akan mati dalam mimpinya. Orang itu juga akan bermimpi sama persis dengan mimpi Donela.

Terkadang, mereka telah lebih dulu menyampaikan mimpinya kepada pihak keluarga sehingga pihak keluarga menganggap kematian itu akibat pembunuhan yang dilakukan Donela.

Kemungkinan karena itulah penyebabnya, Donela dianggap sebagai gadis yang terkutuk, gadis menakutkan, gadis aneh, bahkan lebih kejamnya, Donela dianggap sebagai iblis pembunuh yang terkutuk oleh penduduk Kerajaan Sondan. Anggapan ini bahkan sudah menyebar di seluruh wilayah Negeri Adogema.

Panglima Gadeon memasang wajah galak. Ia terlihat gemas. Hatinya sangat jengkel terlihat dengan kedua alisnya yang mendekat. Matanya menatap tajam dan melotot serta kelopak matanya menegang. Ia benar-benar marah.

Tiba-tiba, secepat kilat Panglima Gadeon menyambar leher Donela dan mencekiknya.

"Persetan dengan mimpimu, anak terkutuk! Kamu puas mengambil nyawa banyak orang! Banyak warga yang mati terbunuh dan kamu masih belum juga merasa puas!" bentak Panglima Gadeon lantang. Kemarahannya semakin agresif.

Donela tercekik tak bisa bernapas. Ia berteriak meronta-ronta kesakitan. Tubuhnya berguncang-guncang dan tangannya mencoba melepaskan diri dari cekikan Panglima Gadeon dengan sekuat tenaga.

"Apa-apaan kamu, Gadeon! Lepaskan!" bentak Zelea keras dan tegas.

Zelea syok melihat apa yang dilakukan Panglima Gadeon kepada Donela. Ia tak mengerti maksud dari Panglima Gadeon menyerang Donela. Hal yang ia tahu saat ini adalah menolong Donela dari serangan ayahnya sendiri.

Namun Panglima Gadeon sangat keras kepala. Ia tak mau melepaskan cekikan.

"Aku bunuh kamu sekarang!" ancam Panglima Gadeon semakin sadis.

Kedua tangannya semakin keras mencekik Donela. Ia menjadi semakin brutal.

"Wueekkk! Kekkk!" hanya suara itu yang keluar dari mulut Donela.

Donela gelagapan. Ia meronta-ronta. Wajahnya sudah memerah dan matanya melotot dengan urat-urat mata memerah dengan jelas. Donela sekarat.

Zelea tak tahan melihat Donela sekarat. Ia harus melakukan pertolongan sebelum terlambat.

"Aku akan membunuhmu lebih dulu!" teriak Zelea mengancam Panglima Gadeon.

****

Bersambung ....