Pertapa Sakti dikebumikan di area luar goa dekat dengan pohon emas.
"Aku akan selalu ingat jasa dan kebaikanmu, Pertapa Sakti!" ucap Pangeran Hogan memandangi makam yang ditancapkan kayu dari pohon emas di atasnya bertuliskan nama Pertapa Sakti.
"Aku akan melaksanakan janjiku dan akan berusaha mewujudkannya. Negeri-negeri Adogema akan selamat dari kutukan dan iblis!" tegasnya sembari menaburkan anggrek-anggrek dari sekitaran pagar.
"Penghormatan terakhir untuk guru, Pertapa Sakti!" Pangeran Hogan membungkuk dan menangkupkan tangannya di dada sebagai tanda penghormatan.
"Selamat tinggal, Pertapa Sakti! Aku akan mengunjungi makam anda di lain waktu," ujarnya lagi.
SREKK SREKKK SREKKK!
Suara semak dan perdu yang terserak.
Sesuatu tengah melintas di depan area goa. Suara itu menarik perhatian Pangeran Hogan. Ia menoleh ke area sumber suara. Ia memicingkan telinga untuk mendengarkan lebih jelas. Tak terdengar lagi suaranya hingga diabaikan.
"Aku harus segera kembali ke Kerajaan Sondan," ujarnya kemudian sembari memakaikan panah di punggung dan pedang beserta air dalam wadah kulit di pinggangnya berencana akan segera pergi dari goa ini.
SREKK!
Suara terserak itu lagi dari arah yang sama.
"Suaranya masih di sini, mungkin hewan buruan," pikir Pangeran Hogan.
SREK SREK!
Suara terserak itu berbunyi lagi dan lagi.
"Jangan menolak rezeki dari Langit! Aku buru dulu untuk perbekalan makanan di perjalanan."
Ia dengan sigap menyiapkan busur dan mata panah dengan kedua tangannya lalu mendekati sumber suara. Langkah demi langkah tak bersuara.
SREK!
Pangeran Hogan melihat rusa di balik semak. Ia mengintai rusa itu. Ia pikir rusa itu cukup untuk perbekalan makanan dirinya meninggalkan Bukit Naga.
Senyum simpul menghias bibir merah muda Pangeran Hogan. Ia menyipitkan matanya. Ia berusaha untuk fokus berburu. Ia lalu mengangkat busur dan memasang mata panah. Panah telah dibentangkan.
SRETTTTT!
Suara mata panah melesat.
"Owai!" teriak Pangeran Hogan melihat sesosok manusia bertubuh kurus dan bungkuk melompat-lompat seperti serigala dengan cepat ke arah rusa dan menangkapnya persis seperti serigala saat menyerang.
JLEBBB!
Mata panah Pangeran Hogan tidak mengenai rusa melainkan mengenai pergelangan kaki kiri manusia kurus itu yang tubuhnya telah mendekap erat rusa yang tampak tak berkutik.
"Auuuuuuuhh!" teriak manusia kurus itu lantang.
"Oh, Langit!" seru Pangeran Hogan.
Pangeran Hogan tercengang melihat mata panahnya mengenai pergelangan kaki manusia kurus itu. Panahnya tak meleset, hanya saja manusia kurus itu menggeser rusa ketika ia mendekapnya hingga mata panah malah mengenainya.
Pangeran Hogan bergegas mendekat berusaha untuk segera menolong.
"Khhhhhhhhhh!" Dia mendesis keras menampakkan gigi-giginya yang tak rapi. Wajahnya galak membuat Pangeran Hogan menjaga jarak.
"Gadis aneh," ujar Pangeran Hogan melihat gadis yang lusuh dalam balutan pakaiannya yang terbatas.
Gadis itu kumal. Tubuhnya kotor dan tak umum seperti layaknya manusia. Punggungnya terlalu bungkuk. Kaki kirinya berdarah oleh mata panah. Ia hanya sebentar merasa kesakitan.
"Owai!" sapa Pangeran Hogan kepadanya.
"Wkkhhhhhhkkkkhhh!" jawab sang gadis dengan suara aneh mirip dengkuran.
Ia hanya bisa mengeluarkan suara aneh. Tatapannya tajam ke arah Pangeran Hogan untuk beberapa detik. Ia tidak menyerang balik kepada Pangeran Hogan.
Gadis itu lalu mengalihkan pandangannya ke arah rusa yang didekapnya. Batu tajam di tangan kanannya dihantamkan ke leher rusa berkali-kali hingga melukai area leher. Rusa pun mati. Ia tersenyum sadis. Gadis itu lalu mencabut mata panah di kaki kirinya dengan paksa. Luka di kaki kiri semakin lebar. Ia meringis lalu mengaum keras.
Pangeran Hogan tersentak kaget karena tingkahnya dan semakin menjaga jarak. Gadis itu bukan gadis biasa. Ia tampak seperti gadis hutan yang liar. Tingkah lakunya seperti hewan buas.
Pangeran Hogan masih terpaku dalam diam melihatnya. Namun, ia merasa iba.
"Owai! Ebion sayang!" teriak seorang wanita dewasa berpakaian compang-camping berlari ke arah gadis hutan itu. Seekor kucing hitam mungil mengikutinya di belakang.
Pangeran Hogan segera menoleh ke arah suara. Ia tak percaya ada seorang wanita dewasa yang bisa berada di Bukit Naga. Ia kira hanya ada Pertapa Sakti saja yang tinggal di bukit ini. Hal yang menurutnya luar biasa karena Bukit Naga termasuk mematikan untuk ditinggali mengingat keterbatasan makanan dan air.
Wanita itu memeriksa keadaan sang gadis. Ia terkejut menemukan luka bekas mata panah di kaki kiri sang gadis.
"Ebion, kakimu terluka. Apakah kamu tak apa-apa?" tanya wanita itu dengan was-was.
Gadis itu tak menjawab. Ia hanya menahan sakit.
Wanita itu menoleh ke arah Pangeran Hogan penuh tanya. Tampak air mata membasahi kedua pelupuk matanya. Ia menatap Pangeran Hogan curiga.
"Maaf, a – aku tak sengaja!" ucap Pangeran Hogan terbata-bata.
Ia dengan sigap meminta maaf kepada wanita itu. Pangeran Hogan memintanya untuk tenang.
Wanita itu tak menjawab maaf. Wajahnya berubah sedih. Ia membalikkan badan dan memeluk sang gadis. Dielusnya rambut gadis itu agar ia merasa tenang dan nyaman.
Gadis itu memberi isyarat kepada sang wanita untuk membuka bekal yang ia bawa. Ia menunjuk seikat ramuan. Ia meminta untuk menaburkan ramuan itu di area lukanya. Wanita itu menaburkan ramuan tepat di area yang terluka. Gadis itu meringis. Ia menahan perih akibat kontak luka dan ramuan.
Pangeran Hogan mendekati mereka berdua. Ia berjongkok untuk ikut memeriksa luka sang gadis.
"Maafkan aku! Aku tidak sengaja memanah gadis ini! Aku memanah rusa tepat ketika gadis ini melompat dan mendekapnya," ujar Pangeran Hogan.
Ia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun, wanita itu tak menggubris. Ia hanya menatap Pangeran Hogan dengan raut muka yang sedih. Melihat kesedihan wanita itu, Pangeran Hogan menjadi salah tingkah dan merasa sangat bersalah.
"Aku – aku benar benar minta maaf!" ujar Pangeran Hogan lirih.
Ia meminta maaf untuk kedua kalinya. Ia bahkan sampai menangkupkan kedua telapak tangannya di tengah dada tanda keseriusan maafnya dari hati.
"Baiklah, mungkin hari ini hari malang Ebion!" tanggap wanita itu menerima permintaan maaf Pangeran Hogan.
Wanita itu tak mempermasalahkannya lagi. Ia tampak begitu rendah hati. Ia segera mengambil tali di tangannya untuk mengikat rusa mati.
"Bolehkah aku membantu?" tawar Pangeran Hogan dengan ramah.
Ia mengangguk tanda setuju. Pangeran Hogan membantu untuk mengikat rusa kuat-kuat.
"Terima kasih!" ucap wanita itu lembut.
Wanita itu mencoba memapah si gadis untuk berdiri. Pangeran Hogan tidak tinggal diam. Ia membantu memegang salah satu tangan gadis dan menopang tubuhnya agar mudah berdiri.
"Permisi!" ucap wanita itu lembut.
Ia melangkah pergi sambil memapah Ebion dengan tangan kanannya dan menyeret rusa dengan tangan kirinya. Pangeran Hogan menatapnya iba.
"Tunggu! Bolehkah aku antar kalian ke tempat yang kalian tuju!" tawar Pangeran Hogan berbaik hati.
Wanita itu tersenyum. Ia mengangguk senang. Pangeran Hogan membopong Ebion di punggungnya dan menyeret rusa dengan tangan kanannya sementara wanita itu menggendong kucing hitam mungilnya. Wanita itu sangat pendiam. Ia tak banyak berbicara di perjalanan menuju tempat mereka pulang.
Mereka telah sampai ke tempat yang dituju. Tempat itu sama persis dengan tempat tinggal pertapa sakti di ujung bukit Naga. Sebuah goa yang dalam untuk tidur dan di luarnya sepetak tanah rumput namun tanpa anggrek. Dari ujung bukit sini, jelas terlihat perumahan penduduk Negeri Adogema dan Hutan Warong timur di seberangnya dari atas bukit.
Pangeran Hogan menidurkan Ebion dalam gua yang tak memiliki telaga maupun stalagtit dan stalagmit. Ia lalu menguliti rusa dan mengasapkannya untuk makanan kepada kedua wanita itu. Wanita itu memberi bumbu untuk daging yang tengah Pangeran Hogan asapi.
"Siapa namamu?" tanya Pangeran Hogan.
Wanita itu tak menjawab. Ia menampakkan wajah ketakutan. Pangeran Hogan menganggukkan kepala berusaha memahami keadaan. Ia merasa keduanya sangat tertutup karena mungkin jarang melihat manusia lain atau pun mungkin karena jarang berkomunikasi.
"Dari mana asalmu? Barangkali kamu dari kerajaan Sondan. Aku akan mengantarkanmu pulang ke sana," tanya Pangeran Hogan lagi dengan sangat lembut.
Wanita itu tampaknya masih tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan Pangeran Hogan. Pangeran Hogan berpikir mungkin saja wanita itu belum merasa nyaman kepadanya atau menganggapnya ancaman.
"Kalau tidak aku bisa mengantarkan kalian menuju asal kalian!" tawarnya lagi.
Pangeran Hogan berusaha mengerti dengan ketidaknyamanan wanita ini. Ia harus tahu identitas mereka. Dengan begitu, ia bisa menolong mereka untuk kembali ke negeri mereka karena Bukit Naga tidak layak untuk ditempati.
Daging rusa yang telah dikuliti sebagian sudah matang di asap. Sebagian sisa dikeringkan untuk dibakar lagi di siang dan malam hari.
"Daging sudah matang. Silahkan dimakan!" tawar Pangeran Hogan kepada wanita itu.
Wanita itu mengangguk lalu membagi daging matang menjadi tiga. Ia mengambil dua bagian untuknya.
"Ambillah!" tawar wanita itu menyerahkan satu bagian lainnya.
"Itu untukmu. Makanlah!" pinta wanita itu.
"Aku akan makan bersama Ebion di dalam goa. Permisi!" pamitnya dengan sopan.
"Silahkan!" ucap Pangeran Hogan mempersilahkan.
Pangeran Hogan mempersilahkan wanita itu makan di dalam goa. Ia tahu, wanita itu akan menyuapi sang gadis di sana. Wanita itu pergi ke dalam goa. Pangeran Hogan memakan bagiannya di luar.
Beberapa saat setelah makan selesai, Pangeran Hogan memeriksa sang gadis di dalam goa. Mereka berdua juga telah selesai makan. Wanita itu kini tengah menaburkan bubuk ramuan di kaki sang gadis.
"Dimanakah kalian mendapatkan air minum?" tanya Pangeran Hogan.
"Ada sumur tua di sebelah timur dari pinggiran bukit ini!" Wanita itu menunjuk arah jalan setapak dari pinggiran bukit ke timur.
"Aku akan mengambilkannya untuk kalian," tawarnya.
Wanita itu mengangguk.
"Terima kasih!" jawabnya.
Ia segera pergi menuju sumur dengan membawa sebuah wadah air besar yang mereka miliki. Ia menyusuri jalan setapak di pinggiran bukit sesuai petunjuk dan menemukan sumur yang dimaksud. Sumur itu penuh air tanpa ditimba. Ia menjadi berpikir ulang bahwa Bukit Naga masih bisa ditinggali jika orang telah paham medannya. Hanya saja jarang sekali ditemukan hewan buruan dan air.
"Mereka mungkin saja termasuk telah lama menempati bukit ini," ujarnya lirih.
Ia bergegas kembali ke gua membawa air.
"Owai, kemana mereka?" tanya Pangeran Hogan setengah berteriak.
Pangeran Hogan tak menemukan mereka di dalam goa. Ia bergegas mencari keluar goa juga tak mendapati mereka berdua. Pangeran Hogan celingukan.
"Apakah mereka pergi kabur?" Ujarnya bertanya-tanya dalam kebingungan.
****
Bersambung...