Chereads / Satria Galuh / Chapter 15 - Tanah Musi

Chapter 15 - Tanah Musi

Satu pekan kemudian, akhirnya mereka keluar dari hutan.

Di depan terlihat gerbang masuk menuju tanah Musi. Yang mereka sudah menyusuri sungai Musi sejak siang hari hingga akhirnya bisa menjejakkan kaki di tanah Musi yang penduduknya tinggal di pinggiran sungai Musi.

Mereka berempat harus diperiksa di depan gerbang dan setelah itu, mereka berjalan menuntun gajahnya memasuki kota Musi yang penduduknya memabangun rumah menjajar menghadap sungai Musi yang lebar. Rumah penduduk tanah Musi di sini berarsitektur rumah tatahan yang berbentuk bujur sangkar dan berupa rumah panggung setinggi dua Depa. Umumnya rumah tatahan terbuat dari kayu tembesu.

Dan jalan besar menjadi satu jalar di pinggir sungai. Pinggiran sungai di bangun dinding batu supaya tanahnya tidak terhanyut aliran sungai saat meluap. Pinggirannya pun di tanami pohon-pohon ketapang kencana sebagai penjaga tanah dan peneduh para pejalan.

Jalanan di tanah Musi sangat rapi dan terbuat dari batu-batu kali yang disusun layaknya di tanah Minangkabau. Tapi untuk pergi ke tanah Melayu, mereka harus menyeberangi sungai Musi dan kota di sebelahnya.

Karena masih dalam suasana tahun baru, mereka yang melewati alun-alun menyempatkan diri untuk menyaksikan pertunjukan seni tari yang sedang berlangsung yaitu tari Gending Sriwijaya yang menggambarkan keluhuran budaya, kejayaan, serta keagungan kedatuan Sriwijaya yang sempat Berjaya dalam mempersatukan daratan Andalas.

"Jadi tanah Musi ini pusat peradaban daratan Andalas masa lalu, kedatuan Sriwijaya?" ucap Sandanu yang tidak menyangka bisa menginjakkan kaki di pusat kota yang termasyur dalam catatan sejarah.

Way Gambas yang tidak menyangka Sandanu tahu tentang kedatuan Sriwijaya terkejut. "Bagaimana kamu tahu tentang sejarah itu?"

Pertanyaan Way Gambas disahuti oleh Mutia. "Dulu kami tinggal di perpustakaan terbesar di tanah Aceh, hampir semua catatan sejarah di daratan Andalas terdapat di sana."

"Karena itu kami tahu tentang kedatuan Sriwijaya," tambah Sandanu.

Kedatuan Sriwijaya merupakan peradaban besar pertama di daratan Andalas yang didirikan oleh Dapunta Hyang sebelum tahun Zodiark di lembah sungai Musi dan mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputradewa yang mendirikan pusat keilmuan sastra yang tersohor di Muara Takus. Namun, kedatuan Sriwijaya berhasil ditaklukkan dan menjadi wilayah kekuasaan dari imperium Malaynesia yang berhasil menguasai setengah dunia atau Nusantara bagian barat.

Kini jejak peninggalan kedatuan Sriwijaya yang tersisa hanyalah sebuah jembatan raksasa yang menghubungkan dua wilayah tepian sungai yang megah, jembatan Ampera.

***

Sore hari, mereka singgah di kedai makan. Seorang gadis pelayan datang melayani. "Selamat datang di kedai kami, di tanah Musi." Pelayan itu tahu bahwa mereka datang dari luar tanah. "Menu makanan spesial kami ada pempek palembang."

"Kami pesan empat porsi." Sandanu mewakili.

"Ada yang kering dan berkuah," kata pelayan menjelaskan. "Yang berkuah namanya laksan dan celimpungan."

"Aku yang berkuah, boleh laksan atau celimpungan," sahut Way Gambas.

"Aku juga yang berkuah," tambah Mutia.

"Kalian berdua berarti yang kering." Pelayan itu tersenyum pada Sandanu dan Galigo.

Tidak perlu menunggu lama, pelayan tadi kembali membawa pesanan mereka. Pempek Palembang dua piring, satu laksan dan satu celimpungan yang bahannya sama seperti pempek. Pempek sendiri merupakan makanan khas di tanah Musi yang berbahan utama daging ikan dan sagu. Dan minuman yang disajikan adalah perasan air jeruk.

Untuk semua pesanan tersebut, Mutia membayar dengan uang sejumlah empat benggol enam ketip. Tapi bekal pemberian ketua suku Minangkabau masih utuh, karena putri Way Gambas memberikan bekalnya sebanyak lima ronce pada Mutia.

Sambil menikmati pempek yang enak, mereka merasakan keharmonisan penduduk tanah Musi dengan lingkungannya. Matahari sudah hampir tenggelam dan semilir angin semakin menyejukan. Mereka bisa melihat anak-anak bermain di tepi sungai dengan bergembira ria dan orang-orang dewasa menikmati sore hari dengan melihat sungai Musi yang tidak pernah kering.

Ketika mereka makan, datang dua orang ke kedai itu. Satu perempuan dan satu laki-laki. Satu berkulit hitam dan satu berkulit kuning langsat. Anak perempuan terlihat lebih dewasa dan anak laki-laki berumur sekitar lima belas tahun dan dia membawa tombak bermata batu akik.

"Permisi, kami mau bertanya, kenapa sampan-sampan tidak boleh menyeberangi sungai? Mereka di luar tidak ada yang mau menjawab," kata perempuan yang memiliki rambut panjang keriting mengembang berwarna hitam bersinar sama seperti warna kulitnya.

Sandanu yang mendengar perkataan perempuan itu, dia menolehnya. Perempuan itu terlihat begitu cantik, kulit hitamnya berkilau dan rambut keriting hitam panjang sampai punggung, ada poni di depannya yang menyamping dan sebuah kepangan kecil depan telinga. Dia memakai celana pendek seatas lulut. Kakinya yang jenjang memakai kaos panjang dengan alas sepatu kulit yang berhak. Perempuan yang bermata hitam itu, memakai jaket berumbai tanpa kancing, terbuka dan baju merah gelap di dalamnya memperlihatkan bentuk tubuhnya yang sexy.

Anak laki-laki yang bersamanya berambut hijau dengan potongan cepak. Dia membawa tombak warna coklat dan kulitnya yang kuning langsat, terdapat tato bergambar, entah apa yang terlukis di leher bagian kanannya. Dia memakai celana panjang, dan kaos hijau lengan pendek yang dirangkap sebuah rompi hitam bermotif.

"Ada pencuri yang masuk keraton pada malam tahun baru dan dia berada di wilayah sini, karena itu tidak ada yang boleh menyeberangi sungai Musi kecuali melalui jembatan Ampera." Pelayan itu menjelaskannya sambil berbisik-bisik.

Malam tahun baru di tanah Musi biasa mengadakan festival bekawang iwak atau menangkap ikan di sekitaran keraton Sriwijaya. Karena keramaian itu, memudahkan pencuri masuk ke dalam keraton.

"Pencuri?" Galigo yang mendengarnya berguman, berarti dirinya dan yang lainnya pun tidak bisa menyeberang.

"Jembatan Ampera?" tanya perempuan hitam manis itu.

"Iya, dan keraton Sriwijaya berada di tengah jembatan itu, keraton ketua suku tanah Musi," jawab pelayan yang kemudian berlalu dari mereka.

Sandanu yang mendengarkan pembicaraan itu, dia mendekati dua orang tersebut. "Kami juga akan menyeberang sungai Musi jika tidak bisa bagaimana? Apa kalian akan pergi ke keraton ketua suku?" tanya Sandanu.

Perempuan hitam manis itu menatap Sandanu dengan curiga. Siapa orang ini?

Sandanu menyengir. "Kenalakan aku Sandanu dan mereka teman-temanku," dia menunjuk tiga orang yang duduk di pojok kedai makan.

"Pergi atau tidak, itu bukan urusan kalian." Perempuan itu berlalu di depan Sandanu. "Ayo Boe, kita temukan pencuri itu dan cepat pergi dari tanah ini!"

Anak yang dipanggil Boe menggaruk rambutnya, dia meringis pada Sandanu seolah tanda permohonan maaf atas sikap temannya. "Iya, Ka Isogi." Dia pun langsung mengikuti temannya keluar dari kedai makan.

"Huft, perempuan itu kasar sekali," kata Sandanu ketika duduk kembali ke tempatnya.

"Bagaimana kita sekarang?" kata Mutia.

Way Gambas menyahuti. "Lebih baik kita bermalam di sini, mungkin perempuan itu bisa menangkap pencurinya dan besok kita bisa menyeberangi sungai."

"Ya, itu ide bagus." Galigo setuju saja. []