Malam sebelumnya, Galigo berdiam diri menikmati kesunyian dengan ditemani gadis tanah Kubu. Bersamanya, dia mendayung rakit menuju tengah kolam yang dipenuhi cahaya kunang-kunang. Tidak ada satu orang pun yang melihat mereka berdua berada di tengah kolam.
Sepanjang malam, Galigo hanya duduk di atas jongko kecil yang diletakkan di atas rakit. Dia berdiam dan hanya sambil saling bersandar punggung, saling membelakangi dengan gadis tanah Kubu yang tidak dia ketahui namanya. Tidak ada yang mereka bicarakan, keduanya menikmati diam secara damai.
Suara bising dari lapangan membisu di antara mereka, udara beku tanpa ada nada. Cahaya kunang-kunang menghijau dalam nestapa. Semuanya begitu tenang hingga air tidak terdengar beriak. Angin pun terdiam mematung. Hingga fazar menjelang mereka berdua tidak menutupkan mata. Ada rasa damai dalam hati keduanya.
Bintang di langit bersembunyi di balik sinar yang kemudian semakin terang setelah kunang-kunang kembali bersemayam pada tempatnya, pulang. Di waktu itu, kebisuan mulai menghilang.
"Mmm… aku… tidak… pernah… "Suara terputus-putus keluar dari rongga mulut gadis tanah Kubu.
Galigo yang tidak bisa memahaminya, dia berdiri dan menghadap gadis itu yang sama-sama berdiri. "Kenapa?"
Gadis berkulit kecoklatan dengan rambut yang terlihat hitam keabu-abuan di depan Galigo, menundukkan kepalanya. Jarinya memutar sebuah batu cincin yang melingkar di jari manis tangan kanan.
Gadis itu merasa takut, tidak pernah dirinya bersama anak laki-laki berduaan sepanjang malam. Entah mengapa, hatinya menjadi merasa tenang tapi kini berubah menjadi terasa tegang dan menyesakkan.
"Apa kau mau tinggal bersama kami di tanah Kubu?" tanya Gadis itu.
Galigo sama sekali tidak berniat untuk tinggal di tanah Kubu, berada di tempat ini adalah sebuah perjalanan yang tidak terduga. "Aku sama sekali tidak menginginkannya." Lagi pula, untuk apa bagi Galigo tinggal bersama penduduk tanah Kubu yang tidak punya tempat menetap selamanya.
Selama ini Galigo berkelana mencari tempat baginya untuk bisa pulang, tapi tanah mana yang bisa disebut sebagai rumah. Kepahitan yang membuatnya pergi meniggalkan tanah yang melindungi pada masa kecil, tak berarti apa-apa lagi baginya. Semuanya adalah kenangan yang tidak ingin diingatnya.
Udara dingin di sekitar mereka mulai menghangat. Cahaya biru sedikit terlihat di langit dan daun-daun mulai tampak kehijauan meskipun masih gelap. Penduduk tanah Kubu masih berada di rumahnya yang tampak sepi dari kolam tempat mereka berada. Selintas, beberapa burung terbang dengan nyanyian yang menggema. Angin pun bertiup menggoyangkan dedaunan beserta dahannya.
Gadis tanah Kubu yang tingginya hanya sebahu Galigo mengangkat kepala dengan mata berkaca-kaca. "Tapi aku menyukaimu dan tidak ingin kau pergi dari tanah Kubu."
Galigo terkejut dengan pernyataan itu. "Aku sama sekali tidak berniat apa pun padamu, semalam kupikir kamu hanya berbaik hati menemaniku."
"Tidak seperti itu," gadis tanah Kubu menggeleng kepala. "Aku sangat menaruh harapan besar ketika kau mau kuajak bersama ke tengah kolam, di sini semalaman kita berdua."
"Tapi…" Galigo tidak bisa berbuat sesuatu untuk menjelaskan kesalahannya. Dia tidak bisa meneruskan ucapannya saat melihat gadis tanah Kubu itu membuat cincin batu di jarinya bersinar.
Gadis tanah Kubu yang sangat lugu. Dengan keluguan dia menggantungkan harapan yang sayangnya harapan itu salah untuk dia inginkan. Suatu kesalahan besar meskipun perasaan telah mengungkapkan kejujuran. Karena keluguan yang terluka, dia tidak bisa menerima dan sebuah larik terucap di bibirnya.
"Dari kegelapan yang menyinarkan cahaya, dari cahaya yang membentuk kegelapan dengan bayangannya. Batu mutiara bintang kejora bersinar….. " Sebuah cahaya terang keluar mengelilingi rakit yang mereka tempati dalam untaian aksara ulu. Gadis tanah Kubu meletakkan kedua tangannya di depan dada dengan mata yang terpejam mengarah pada langit fazar. "Jadilah sesuatu yang tersembunyi padanya…"
Galigo tercengang dengan tindakan gadis di depannya yang mengeluarkan kekuatan bagi dirinya. Galigo merasa tubuhnya menjadi ringan dan semuanya terasa tidak berbobot, dan perlahan tubuhnya terurai menjadi kabut.
"Tidak…. Apa yang kamu lakukan padaku?" Suara Galigo menggema di udara tanpa ada wujud raganya.
Gadis tanah Kubu terdiam menatap yang terjadi pada anak laki-laki yang bersamanya. "Inikah yang tersembunyi padanya? Kabut yang begitu tebal." Tubuh gadis itu tersimpuh dan dia meneteskan air mata sebagai cenayang saat melihat masa depan Galigo yang mengejutkan.
Karena dirinya, Galigo menjadi kabut tebal yang meluas hingga menutupi tanah Kubu. Dan entah bagaimana dan di mana, suara Galigo menggema dengan makian dan kutukan bagi penduduk tanah Kubu.
"Terkutuk tanah ini yang tidak memiliki tujuan dan pengertian dalam hidup, kalian semua tidak akan bisa pergi ke mana-mana dan ketakutan akan menguasai jiwa kalian…" Suara Galigo menggelegar membuat penduduk tanah kubu ketakutan.
Itulah yang menyebabkan pagi hari di tanah Kubu berkabut tebal. Kabut tebal itulah yang sesungguhnya tersembunyi dalam hati Galigo. Mengenai hidupnya, mengenai jiwanya, mengenai hatinya dan segala tujuannya begitu berkabut setebal kabut yang tercipta menyelimuti tanah Kubu.
Gadis tanah Kubu itu menangis dan merasa iba pada kehidupan Galigo yang penuh kabut dan ketakutan tanpa arah tujuan yang pasti. Dia menangis mengetahui begitu tebal kabut yang tersembunyi dalam hatinya. Bagaimana Galigo bisa bertahan hidup dengan kabut-kabut yang tersembunyi ini?
"Kau laki-laki bodoh, kau tidak memiliki tujuan, kau tersesat dalam hidupmu, kau yang ketakutan dengan kehidupan dan jiwamu yang tidak bisa tenang…" teriak gadis tanah Kubu di tengah kolam.
Kemudian, Sandanu tiba di tepi kolam bersama Mutia. Dia mengetahui yang telah terjadi dari cerita ketua suku yang bisa membaca pikiran dari si kabut tebal yang berselimut di tanah Kubu, Galigo. Ketua suku menyuruh Sandanu dan Mutia mengikutinya untuk melihat yang terjadi di sana.
Dari tepi kolam, Sandanu melihat gadis tanah Kubu yang sebaya dengannya. "Apa yang kamu lakukan kepada temanku?" teriak Sandanu.
Gadis tanah Kubu terkejut dengan suara Sandanu. Dia berdiri dan menatap Sandanu, "Apa kau tidak mengetahui siapa temanmu, mengapa kau tidak peduli dalam diamnya yang tersesat karena kabut tersembunyi dalam hatinya?"
Mutia terbelalak dengan pernyataan itu. Kabut yang tercipta adalah perasaan Galigo yang selama ini tidak ada arah tujuan, penuh ketakutan dan diamnya adalah suatu pertahanan. Mutia menyesal telah membiarkan anak bermata sipit itu terjebak dalam perasaannya sendiri yang dipenuhi kabut.
"Apa maksudmu?" raung Mutia tidak terima.
"Seharusnya kalian mengetahui teman kalian sendiri, seharusnya kalian bisa membebaskannya dari ketakutan, rasa sepi dan pelarian terhadap hidup dengan tanpa adanya tujuan." Gadis tanah Kubu terisak dalam ucapannya.
Galigo yang entah berada di sebelah mana seolah mendengar hal itu. Kemudian, kabut menipis dan semuanya kembali terlihat jelas. Kabut-kabut mengumpul kembali di depan gadis tanah Kubu dan mewujudlah Galigo di depannya. "Kekuatan apa yang bisa melepaskan semua yang kusembunyikan mewujud menjadi fenomena alam?" Galigo menatap gadis tanah Kubu.
Matanya masih berkaca, gadis itu merasa sangat iba dengan keadaan Galigo dan khawatir akan masa depannya yang dia lihat. Namun dirinya tidak sanggup menceritakan hal itu padanya dan berharap penglihatannya mengenai masa depan itu adalah kesalahan.
"Pergilah dan cari kehidupanmu yang sesungguhnya agar kabut dalam hatimu bisa menghilang!" Gadis tanah Kubu mengambil dayungnya yang terbuat dari batang bambu. Dia mendayung rakit untuk menepi. Sambil terus menangis karena merasa kasihan dengan hidup Galigo, sampai-sampai dia tidak bisa menatapnya.
Galigo tertunduk dan melihat Sandanu bersama Mutia di tepi kolam. Lalu, dia meraih tangan gadis tanah Kubu. "Siapa namamu?"
"Sika, tapi itu bukanlah nama yang penting untukmu."
"Sika, aku akan selalu mengingat nama itu…" Galigo meminta batang bambu di tangan Sika dan dia yang menepikan rakitnya dari tengah kolam.
Mengenai kekuatan Sika, itu adalah teknik rahasia pengendalian batu akik, seloko dengan batu legendanya, mutiara bintang kejora. Sebuah cahaya yang menuntun dari kegelapan atau dari terang menuju kegelapan. Bintang kejora yang bersinar saat matahari tenggelam dan saat matahari terbit pula. Setelah itu, diketahui bahwa Sika adalah cucu dari ketua suku tanah Kubu. Galigo sangat malu bahwa kehidupannya yang begitu berkabut diketahui oleh semua penduduk tanah Kubu meskipun mereka tidak tahu, masa lalu apa yang membuat hidup Galigo berkabut sebegitu tebalnya? []