Chereads / Satria Galuh / Chapter 22 - Perasaan Mutia

Chapter 22 - Perasaan Mutia

"Mengapa kamu berdiam untuk bertahan dan menyembunyikan semua itu?"

Mutia mendekati Galigo yang merasa malu karena perbuatan Sika telah menunjukkan sesuatu paling tersembunyi dalam dirinya. Mutia merasa iba terhadap kehidupan yang pastinya sangat berat untuk dihadapi seorang diri.

Galigo menjauhi semuanya. Sebenarnya, dia tidak ingin bicara dengan siapa-siapa. Tapi kenapa gadis berrambut marun itu tidak mengerti sama sekali keadaannya?

Galigo mengingat saat Mutia menemuinya di penjara tanah Lampung, yang ingin menjadi temannya, ingin membelanya dan bisakah Mutia menghilangkan kabut yang tersembunyi dalam hati Galigo?

"Aku hanya terbiasa dengan semua ini," kata Galigo.

Mutia menatap Galigo dengan tajam. "Tidak, kamu hanya takut tidak ada yang mempedulikannya, kamu terlalu takut hingga melarikan diri begitu saja."

Takut? Melarikan diri?

Benarkan itu yang selama ini Galigo lakukan? Dia sama sekali tidak takut atau mencoba melarikan diri. "Cukup, kamu tidak mengenalku. Jadi, jangan bicara yang tidak kamu ketahui."

"Ya aku tidak mengenalmu, tapi setidaknya kamu tahu bahwa aku ingin mengenalmu," ucap Mutia dengan kecewa.

Mutia pun meninggalkan Galigo sambil menangis. Di belakangnya, Galigo sama sekali tidak bisa memahami perasaan Mutia yang ingin berada di dekatnya dan ingin menunjukkan arah agar Galigo bisa keluar dari kabut yang menyelimuti hatinya.

Galigo tersenyum sinis.

Peristiwa itu terjadi di tempat makan terbuka di bawah pohon keramat. Suasana yang sangat menyejukkan dengan harum bunga-bunga liar bermekaran hingga kupu-kupu hilir mudik mencium aromanya, yang warna biru, ungu, ataupun jingga.

Tepatnya, Galigo berada di sisi semak-semak yang menyepi tanpa ada orang yang lewat. Mutia yang mendekatinya pun pergi dengan perasaan tersakiti karena Galigo sama sekali tidak peduli pada dirinya.

Mutia menjauhi Galigo dan duduk di dekat Way Gambas. Di atas balok kayu yang dijadikan kursi tanpa sandaran. Di depannya ada meja papan kayu bulat yang lebih besar, dan kakinya terbuat dari tiga balok kayu yang sama dengan kursi.

"Kamu sudah bicara dengan Galigo?" tanya Way Gambas penasaran.

Mutia sudah menghapus air matanya sebelum duduk, meskipun matanya merah, "mungkin dia memang ingin sendirian dan terus berdiam diri."

Way Gambas tersenyum mendengar nada suara Mutia yang sangat peduli pada Galigo. "Apa kamu menyukainya?"

Mutia kaget dan menatap Way Gambas. "Menyukai anak sepertinya, tidak mungkin." Dalam hati merasa janggal. "Aku hanya kasihan."

"Jangan begitu, nanti kamu bisa jatuh cinta lagi." Way Gambas tertawa pelan.

Mutia sama sekali tidak ada arah ke perasaan itu, tapi mungkinkah itu bisa terjadi? "Kamu ini apa-apaan, sudahlah."

Meskipun Way Gambas adalah putri dari tanah Lampung, tapi dia sudah terlihat sangat dekat dan akrab dengan Mutia. Sepanjang perjalanan Mutia sudah memberitahukannya banyak hal. Tanpa Mutia dan jika hanya berjalan dengan Galigo, Way Gambas yakin bahwa perjalanannya ke tanah Melayu akan sangat membosankan dengan dia yang pendiam dan hidupnya penuh kabut begitu tebal.

Tapi, bagaimana Galigo bisa bertahan?

Way Gambas menoleh belakang pada Galigo. Anak itu diam dengan memandangi semak-semak. Kemudian, ada anak kecil yang mendekatinya karena mengejar seekor capung. Anak itu meminta Galigo untuk menangkap capung yang hinggap di depannya. Galigo masih bisa tersenyum pada anak itu dan menangkap capung untuknya.

Setelah sarapan pagi, Way Gambas bersama teman-temannya melanjutkan perjalanan dan meninggalkan tanah Kubu. Penduduk tanah Kubu yang mengaggapnya keluarga mengantarnya sampai gerbang tanah Kubu. Perpisahan yang ramai dan menyenangkan, kecuali bagi Galigo.

Way Gambas melihat anak itu mencari seseorang. Mungkin Sika yang tidak menampakan diri untuk mengucapkan perpisahan. Way Gambas memang tidak tahu yang terjadi di kolam itu, tapi dia pun berharap Galigo bisa menghilangkan kabut yang tersembunyi menutupi hatinya.

Dan tanah Kubu pun jauh tertinggal oleh perjalanan mereka.

***

Tiba malam hari terjatuh lagi dalam perjalanan mereka. Mereka tidak mengambil jalan pintas sejak singggah di desa Benggalis, meskipun begitu jalan yang mereka lewati tetap memasuki hutan. Hutan yang sepi, hanya suara liar yang terdengar. Jauh dari aliran sungai, tapi mereka cukup memiliki bekal minuman dari desa sebelumnya.

Alat-alat perkemahan dikeluarkan dari tempatnya yang disampirkan pada punggung gajah. Perkemahan dibangun di pinggir jalan. Tidak ada seseorang pun yang melintasi jalan malam ini. Di langit bintang mulai menghiasi dengan cahaya-cahayanya.

Saat api unggun dari kayu kering dinyalakan, Mutia menegur Galigo. "Tidak bisakah kamu bicara? Aku lelah melihatmu seperti ini." Mutia menjatuhkan kayu bakar dengan kasar hingga api unggun tercerai.

Way Gambas dan Sandanu kaget.

"Memangnya apa peduli kamu?" Galigo merapikan api unggun.

"Kamu itu laki-laki yang bodoh atau bagaimana?" Bentak Mutia. "Aku menyesal telah memikirkanmu, mencoba memahamimu, mempedulikan semua yang terjadi padamu tapi apa yang kamu lakukan?"

Galigo berdiri. "Terima kasih untuk semua itu, tapi layakkah orang yang juga menyembunyikan ketakutannya bicara seperti itu untuk orang lain? Bukankah itu menyedihkan."

"GALIGO!" teriak Mutia sambil menangis.

Mutia hendak pergi tapi Galigo menarik tangannya. "Aku bisa menunggumu, tapi datanglah jika kamu bisa menghilangkan rasa takutmu itu!" Dalam hati, Galigo berharap pada gadis berrambut marun itu. Gadis yang selalu ceria meskipun dalam dirinya menyembunyikan kegelapan yang hitam.

Mutia tidak peduli, dan dia meninggalkannya.

"Mmm… aku tidak melihatnya." Sandanu menyibukkan diri dengan merapikan perapian.

Way Gambas pergi menemui Mutia. Dia ingin menjadikan dirinya sebagai teman berbagi ceritanya. Way Gambas tahu rasanya kesepian dan tidak dipedulikan, jadi dia ingin belajar peduli pada orang lain.

Setelah para gadis masuk dalam tenda, Sandanu dan Galigo duduk berdua di depan api unggun. Ada batang kayu besar yang disiapkan sebagai tempat duduk. Udara saat itu terasa dingin dan bunyi burung celepuk menggema di udara. Mereka duduk berlawanan arah.

Kini menjadi pembicaraan antara anak laki-laki yang diawali dengan saling tatap mata. Ada banyak makna dari tatapan mereka yang kadang melukis senyum sinis dan jenaka. Keheningan tercipta hingga suara tiupan angin terdengar jelas. Bunyi kayu bakar yang dimakan api pun terekam suasana.

"Aku tidak tahu perasaan perempuan, tapi aku kenal baik tentang Mutia," kata Sandanu, "dia gadis yang ceria dan mudah dekat dengan anak laki-laki siapa saja yang dikenalnya, tapi dia tidak sepeduli terhadapmu."

"Maksudnya?" Galigo menatap anak di depannya.

"Mmm…mungkin dia menyukaimu dalam hal khusus."

Galigo tersenyum kecut seolah sudah wajar banyak perempuan yang menyukainya, bahkan cucu ketua suku tanah Kubu pun memintanya tinggal di tanahnya yang sayangnya Galigo tolak, membuat gadis tanah Kubu itu mengutuknya menjadi kabut tebal.

Tapi entah mengapa ada ruang dalam pikiran Galigo mengenai gadis tanah Aceh itu? Gadis yang tidak dia kenal tapi ingin melindunginya dan ingin mengenal dirinya. Galigo tetap memikirkan Mutia meskipun hatinya mengelak.

Antara perasaan dan pikiran. Pikiran memang lebih logis, tapi perasaan entah bagaimana sulit dipahami. Ada perubahan-perubahan dalam jeda tertentu yang kadang pun melirik terhadap Mutia, tapi kadang menghindarinya.

Galigo tidak mengetahui hal itu. Tentang cinta dan benci yang terasa beda tipis, tapi keduanya saling menyeimbangi dalam hatinya dan memaksa pikiran untuk mengambil keputusan.

"Sayangnya aku tidak bisa," ucap Galigo pelan.

"Kenapa begitu?" tanya Sandanu.

"Dalam perjalanan ini, aku hanya menjalani hukuman dari ketua suku tanah Lampung untuk mengantar putrinya hingga tanah Melayu. Tanpa itu, aku lebih suka pergi sendirian."

"Kalau itu jalan pikiranmu, aku tidak terima," ungkap Sandanu, "aku tidak bisa melihat Mutia terluka karena memikirkanmu sedangkan kamu selalu mengabaikannya."

"Kalau begitu kamu bilang pada Mutia untuk tidak memikirkanku."

"Jangan bicara seenaknya seperti itu…"

"Terus? Bukannya sikapku sudah jelas agar dia mengerti bahwa aku tidak membutuhkan simpatinya?"

"Mudahnya kamu bicara." Suara Sandanu meninggi meskipun lebih pelan. "Meskipun dia terlihat ceria dalam hatinya dia menanggung sebuah luka, kamu mengerti?"

"Aku bisa melihat dari tatapan matanya."

"Lalu kenapa kamu tidak bisa memahaminya?"

Percakapan mereka semakin panas dan mereka terus membicarakan Mutia, sedangkan yang dibicarakan telah tertidur lelap bersama Way Gambas. Malam telah melewati batas waktu, hari telah berubah menuju yang berikutnya. Tengah malam yang semakin dingin, tapi mereka masih belum terlelap untuk membahas mengenai gadis tanah Aceh itu.

Sandanu sendiri tidak mengetahui pasti mengenai trauma yang diderita Mutia. Dia tahu saat di tanah Minangkabau bahwa Mutia memiliki aliran sastra sebagai jewel dan aliran sastra itu bisa distabilkan dengan baik agar bisa dikembangkan hanya dengan menghilangkan baban yang Mutia tanggung. Karena itu, Sandanu tidak ingin melihat Mutia memiliki banyak beban lagi dengan ditambah masalah dari Galigo.

"Kamu mengerti, aku ingin Mutia bisa menjadi jewel sejati yang kuat dan hebat," kata Sandanu, "batu mutiara air mata duyung di kalungnya itulah kekuatan yang terpendam akibat beban yang dia tanggung sendiri."

"Jika itu keinginanmu, maaf aku tidak bisa membantu." Galigo merasa bahwa yang dialami Mutia lebih berat dari dirinya meskipun belum pasti mengenai masa lalu gadis itu.

"Kalau kamu terus menjadi beban baginya, lebih baik kamu pergi. Aku bisa menjaga mereka berdua dan itu jauh lebih baik dari pada kamu."

"Mungkin yang kamu katakan itu ada benarnya." Galigo berpikir bahwa itu yang terbaik. "Aku akan pergi meninggalkan kalian besok pagi." []