Tanah Melayu merupakan tanah negeri besar sebagai tempat berdiamnya Tirtadev di istana yang tepatnya berada di teluk Dhamna. Teluk Dhamna sendiri menjadi wilayah agung nan megah di tanah Melayu dan menjadi pusat dari peradaban di negeri Tirta.
Sebuah aliran sungai Siak yang digunakan sebagai jalan besar sehingga banyak orang menggunakan perahu dayung untuk berkunjung ke istana Dhamna yang akan dibuka sebagai tempat berlangsungnya pesta pantai. Masih ada dua jalan besar dari aliran sungai Kampar dan sungai Rokan yang mengalir dari sisi utara dan selatan.
Sejak matahari terbit hingga tenggelam dan terbit lagi, aliran sungai Siak tidak pernah surut oleh aktivitas penduduk lokal maupun para pelancong yang berkunjung ke tanah Melayu. Apa lagi di malam purnama nanti adalah perayaan agung bagi negeri Tirta hingga seluruh penduduk dari tanah negeri berbondong-bondong ke teluk Dhamna untuk menyaksikannya.
Sepanjang aliran sungai Siak, bisa dilihat ragam rumah penduduk yang dibangun di samping-samping sungai dan ada banyak sasak lengkung dari kayu yang dibuat sebagai jembatan penyeberangan bagi pejalan kaki. Bunga-bunga raya pun bermekaran di sepanjang tepian aliran sungai, penuh warna merah dan kuning.
Siang itu, Sandanu bersama Mutia dan Way Gambas menaiki perahu sungai yang beratap papan menuju muara di teluk Dhamna. Sepanjang perjalanan mereka disuguhkan pemandangan indah dari rumah-rumah besar yang beragam penuh warna hiasan dari ornamen-ornamennya.
Semua bangunan berpanggung yang tingginya berpariasi dengan terendah sekitar 1,5 depa orang dewasa dan dibangun anak tangga untuk mencapai lantainya. Tiang-tiang terbuat dari kayu glondongan dan dindingnya dari papan kayu dengan atap dari berbagai ijuk yang dapat digunakan. Dinding penuh warna-warni motif hias dari bebagai jenis tumbuhan dan binatang juga benda-benda langit atau juga reka-reka dalam bentuk tertentu yang mengandung makna kehidupan bagi penduduk tanah Melayu.
"Apa rumah-rumah itu memiliki namanya sendiri?" tanya Mutia kepada pendayung perahu sungai yang dinaikinya.
Di atas perahu itu ada dua orang pendayung yang berada di sisi kanan dan kiri. Perahu sungai bisa dinaiki sekitar lima penumpang ditambah tiga awaknya. Dua pendayung dan satu sebagai petunjuk jalan yang berada di bagian depan. Para penumpang sendiri duduk di kursi panjang pada bagian tengahnya.
Di dalam perahu sungai yang dinaiki Sandanu, bagian petunjuk jalan sedang santai memainkan alat musik karena jalan besar sungai Siak terpantau lancar. Karena itu, dari awal perjalanan mereka dihibur dengan permainan musik gambus yang dipetik dengan iringan lagu melayu yang dinyanyikannya.
Ada lima jenis rumah Melayu yang bisa dibangun di dekat aliran sungai Siak," ujar pendayung di sebelah kiri yang berada di depan Way Gambas dan Mutia.
Kemudian, dia pun menjelaskan tentang lima jenis rumah di tanah Melayu. Balai salaso jatuh merupakan rumah panggung yang memiliki selasar keliling yang lantainya lebih rendah dari ruang tengah dengan puncak atap selalu ada hiasan kayu mencuat bersilang yang disebut sulobuyung. Ada rumah melayu atap limas potong, rumah melayu atap belah bubung, rumah melayu atap lipat kajang, dan rumah melayu atap lontik. Kesemuanya merupakan rumah panggung dengan beragam atap yang berbeda-beda.
"Lalu apa ada jenis rumah lainnya?" tambah Way Gambas.
"Di pesisir teluk Dhamna akan ditemukan banyak jenis rumah dari berbagai tanah negeri yang ada di negeri Tirta," jawab si pendayung.
"Wah, itu pasti sangat mengagumkan."
"Ya, rumah-rumah itu adalah tempat bagi para duta tanah negeri yang mewakili di pemerintahan. Untuk penduduk sendiri, ada rumah yang lainnya."
"Ya, aku kenal seorang duta dari tanah Lampung," kata Way Gambas, "ayahku mengirimkan surat burung padanya bahwa aku akan datang ke tanah Melayu. Kita bisa menemuinya untuk menumpang singgah di rumah Sessat."
"Benarkah?" sahut Sandanu. "Kita tidak perlu menyewa penginapan kalau begitu."
"Benar, dia bernama Saibatin."
Perjalanan mereka pun masih berlangsung dan begitu banyak pemandangan yang mengagumkan dari cipta karya tangan-tangan orang Melayu yang memiliki nilai berharga besar hingga teluk Dhamna tercipta bagaikan tanah surga.
Kehidupan penduduknya pun sangat ramah tamah dengan nilai-nilai pergaulan yang dijunjung tinggi. Anak-anak terlihat bermain gembira, saling kejar-kejaran. Para pedagang dengan senyumnya menawarkan cendera mata bagi para pelancong. Rumah-rumah makan penuh dengan pengunjung dan banyak kegiatan yang tidak bisa diceritakan.
Sandanu merasa senang bisa pergi ke tanah Melayu yang merupakan pusat dari kerajaan negeri Tirta. Dia tidak sabar untuk melihat kemegahan istana Dhamna dan kemeriahan pesta pantai di malam purnama nanti.
Benar seperti yang dikatakan oleh pendayung perahu sungai bahwa di teluk Dhamna berdiri banyak rumah-rumah dari berbagai tanah negeri di daratan Andalas. Yang berjajar dari selatan ke utara yang menghadap ke teluk Dhamna. Tentu ini menjadi pemandangan arsitektur yang mengagumkan dan menciptakan kesatuan bagi negeri Tirta.
Selain itu, ada rumah-rumah panggung beratap jerami yang dibangun di atas-atas pasir putih, tepat di depan rumah-rumah tanah negeri sebagai komplek bagi tamu pengunjung. Banyak orang bersuka ria menikmati pemandangan teluk Dhamna yang di apit dua gunung merapi. Gunung Bangka dan gunung Belitung. Di ujung teluk membentuk celah yang lepas menuju arah samudra Natuna.
Perahu sungai menepi di sisi muara dan para penumpang turun. "Lalu, di mana istana Dhamna yang megah itu?" Sandanu menoleh ke segala arah, tapi tidak menemukan istana yang besar.
"Iya, aku juga tidak melihatnya," sahut Mutia.
"Kalian bisa berkunjung ke istana jika lautan terbuka," kata pendayung perahu. "Tepat di pesta pantai nanti."
"Apa itu lautan terbuka?" Sandanu dan Mutia terkejut.
Way Gambas yang pernah mendengar tentang berdirinya istana Dhamna tersenyum. "Ya, istana itu ada di bawah teluk Dhamna, istana di dasar laut."
"Ha, istana di dasar laut?" Sandanu dan Mutia tidak bisa membayangkannya.
Tapi itulah kemegahan dan keajaiban bagi istana Dhamna yang hanya dimiliki oleh negeri Tirta dan tanah Melayu adalah pusatnya hingga menjadi lima negeri besar di seluruh dunia yang memegang kekuasaan atas mahkota dunia.
Dari muara sungai Siak, mereka melanjutkan perjalanan ke sebelah kanan menuju anjungan tanah Lampung di daerah kedutaan yang berdiri di sepanjang sisi teluk Dhamna. Mereka menggunakan kereta badak bercula dua yang menjadi kendaraan spesial di tanah Melayu, sampai di bagian utara teluk dan memasuki pelataran rumah kedutaan tanah Lampung.
Way Gambas mengenali duta dari tanah Lampung itu. Pria bertubuh tinggi kekar dengan kumis tebalnya yang membuat wajahnya terlihat seram, tapi sikapnya sangatlah ramah. "Selamat datang tuan putri," sambut Saibatin yang telah mendapat kabar atas kedatangan putri Way Gambas.
Way Gambas tersenyum atas sambutan itu. "Apa kabar paman Saibatin?"
"Saya baik-baik saja, mari kita masuk. Kami di sini sudah menunggu kedatangan kalian semua."
Mereka diterima dengan baik oleh duta yang bernama Saibatin dan dipersilakan menginap malam itu sebelum acara pesta pantai esok malamnya. []