Galigo mengangkat tubuhnya dari kolam. Cahaya dian membuatnya tampak bersinar dengan kulit putih yang berlapis butiran air. Dia mengambil sebuah handuk dan mengeringkan tubuhnya. "Malam yang sunyi." Galigo sama sekali tidak menyadari yang telah terjadi.
Dengan santainya dia berjalan menuju kamarnya sambil menikmati angin yang bertiup sejuk, kelihatannya Galigo tidak merasa kedinginan. Sudah tiga hari dirinya tidak mandi, sebab dalam perjalanan tidak menemukan sungai kecuali sungai Musi yang menandakan akan sampai di tanah Musi.
Ketika, membuka pintu kamarnya. "UHA…" Galigo tersentak karena dua gadis berdiri mengejutkannya.
"Kamu," Mutia menunjuk Galigo sambil memalingkan wajahnya karena memerah malu. "Kenapa kamu bisa sesantai ini, padahal terjadi kerusuhan di penginapan?"
Way Gambas tidak menduga akan melihat laki-laki bertelanjang yang kedua kalinya dari satu orang yang sama. Dia hanya menundukkan kepalanya, sama sekali tidak ingin melihat Galigo seperti itu.
"Memangnya apa yang terjadi?" Galigo mengerutkan dahinya.
"Pencuri yang dicari-cari menginap di sini dan mereka dikejar oleh perempuan sore tadi di kedai makan, Danu juga ikut mengejarnya," kata Mutia.
"Terus, apa urusannya denganku?" Anak laki-laki berambut coklat itu cuek dan dia berjalan mendekati mereka. "Kalian mau di sini? Aku akan memakai baju?"
Dua gadis itu langsung keluar. Dari belakang mereka, Galigo tersenyum saat memakai pakaiannya yang tertutup karena mereka terlihat tidak berpengalaman.
Setelah merapikan diri, Galigo menemui dua gadis yang menunggunya. Dan tentunya, mereka pun mencari Sandanu yang pergi begitu saja dengan menggunakan jasa dari naga Sawerigading. Untung saja Galigo merasa tubuhnya sedang fit hingga bisa menggunakan syair untuk memanggil naga putihnya.
Kemudian, mereka pun melesat ke udara supaya bisa dengan mudah menemukan Sandanu hingga terlihatlah anak itu berdiri di tepi sungai Musi bersama dua orang di kedai makan sore sebelumnya. Dari atas tubuh naga Sawerigading, mereka bisa melihat serangan Isogi yang dikalahkan oleh duo Suroboyo. Keadaan mereka seperti terdesak kekalahan, Sawerigading mendarat dan mereka bertiga turun saat duo Suroboyo akan menyerang mereka yang berdiri di tepi sungai.
"Apa aku sudah melewatkan sesuatu hah?" Galigo berkelekar di samping Sandanu.
"Mereka sangat kuat bahkan perempuan pengguna elemen cahaya pun tidak bisa mengalahkannya." Sandanu menjelaskan secara singkat yang telah terjadi.
"Duo Suroboyo," Galigo mengenalinya, mungkin karena sama-sama seorang pencuri. "Mereka pencuri bayaran yang akan mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk benda-denda berharga."
"Apa?" Mutia dan Sandanu menatap Galigo. "Kamu mengenalinya?"
Galigo tersenyum. "Tentu aku tahu nama mereka di dunia pasar gelap, tapi mereka benar-benar kuat kecuali jauh dari air dan ini ada sungai Musi yang lebar."
"Apa katamu?" Isogi menanggapi ucapan Galigo. Perempuan itu seolah menemukan jalan untuk mengalahkan mereka.
"Ya, aku pernah mendengar mereka dari tanah Jawa." Galigo yakin dengan yang diketahuinya. "Tapi apa kalian bisa melawan mereka di air, sepertinya kalian tidak bisa mendekati mereka."
Duo Suroboyo yang hendak menyerang membatalkan serangannya. Mereka merekahkan senyum senang karena ternyata ada seseorang yang mengenali dirinya secara detil sebagai pencuri bayaran.
"Sepertinya ada yang mengenali kita," ucap Ken Dedey.
Ken Arlok pun menyahutinya. "Sepertinya dia mantan pencuri."
"Kalau begitu kita tunjukkan kemampuan kita yang sesungguhnya, jangan sampai imenz kita rusak gara-gara gadis batu biduri bulan itu."
"Aku setuju."
Galigo tersenyum memperhatikan mereka yang terlihat mulai melancarkan serangan serius. Galogo mendapatkan ide dan dia menggunakan kemampuannya untuk meringankan tubuh kepada mereka bertiga termasuk Sandanu yang akan menyerang duo Suroboyo.
Tentang kemampuan meringankan tubuh dari pengendalian batu akik Galigo, hal ini membuat tubuh orang yang dikehendakinya menjadi ringan seperti melayang di udara, bahkan di atas air pun bisa berdiri.
"Aku akan membantu kalian, batu sissi' naga bersinar… tubuh meringan."
Dengan begitu, mereka bertiga akan menyerang supaya duo Suroboyo menjauhi sungai atau bisa jadi mereka bisa mengalahkan mereka langsung di atas sungai karena bisa menyerangnya dengan jarak dekat.
Sandanu yang sejak tadi menunggu, sudah tidak sabar. "Aku duluan…" teriaknya sambil berlari di atas sungai Musi. "CAKAR HARIMAU."
Sandanu langsung menyerangnya dengan cakar harimau yang sayangnya bisa ditangkis dengan perisai air yang Ken Arlok ciptakan dengan mudah karena berada di daerah berair dan ternyata mereka memiliki pendengaran yang tajam dengan bantuan aliran sastra dari air yang membedakan jenis aliran sastra penyusup dalam objek.
"ULAR BATU…" Boe pun menyerangnya dengan ular batu yang ternyata mudah mereka taklukan meskipun serangan itu dekat dengan arus air yang menggulung.
"JANTRA BIANGLALA…" Berkali-kali Isogi menyerang dengan jantra bianglala yang sangat mudah sekali mereka hindari dan menciptakan air sebagai dinding untuk membiaskan cahaya.
Pertarungan sangat seimbang dan mereka bertiga juga bisa menghindari serangan dari duo Suroboyo. Galigo tetap memperhatikan hal itu sambil menjaga dua gadis cantik yang sepertinya tidak bisa melakukan apa-apa dalam keadaan seperti ini.
Mungkin jika Galigo ikut bergabung mereka bisa dikalahkan. Dia melihat perempuan hitam manis itu seperti menatap pada dirinya untuk melakukan sesuatu. Galigo merasa aliran sastranya cukup lemah setelah menggunakan syair dan mantra peringan tubuh untuk mereka bertiga, tapi apa yang bisa Galigo lakukan. Di medan pertempuran sangat kacau, air muncrat tanpa henti karena serangan demi serangan.
Hingga Isogi yang merasa lelah mencoba mengumpulkan aliran sastra. Hal ini tidak terpikirkan sejak tadi, memang dirinya merasa ragu untuk menggunakan syair yang baru dikuasainya. Sementara mengumpulkan aliran sastra alam yang dia dapatkan dari sinar bulan sabit malam itu, Sandanu dan Boe menyerang duo Suroboyo.
"Apa yang perempuan itu lakukan?" teriak Sandanu pada Boe karena melihat Isogi terdiam sambil menyilangkan tangan dengan ujung jari menyentuh daun telinga.
Boe meneriakinya. "Aku tidak tahu."
Tiba-tiba serangan hiu pemburu dari Ken Arlok menyerbu Sandanu dan anak itu tenggelam dalam air. Boe segera mengutus ularnya untuk menyelamatkan Sandanu hingga keadaan memojokan mereka.
"Payah," gerutu Sandanu dalam lilitan ular batu berwarna coklat susu yang melindunginya.
"Sudahlah, apa sih yang kalian inginkan dari benda yang kami curi?" kata Ken Arlok.
Ken Dedey pun berkelakar. "Jika bukan karena bayarannya yang menggiurkan, kami juga tidak akan mencuri yang hanya sebuah kitab dongeng dari keraton Sriwijaya."
"Kitab dongeng?" Sandanu heran dengan yang mereka katakan. Hanya sebuah kitab dongeng yang mereka curi, apa itu sangat penting? Sedangkan mereka tidak peduli kecuali karena bayarannya. "Kalian dibayar apa untuk mencuri kitab itu?"
"Kekuasaan hahaha…." jawab Ken Arlok.
Isogi yang telah mendapatkan kekuatannya kembali, dia melangkah dengan pelan. "Orang seperti kalian menginginkan kekuasaan, sangat tidak layak bagi kalian yang tidak mempedulikan perdamaian."
"Hem?" Ken Dedey memicingkan matanya.
"Terimalah hukuman dariku." Isogi mengangkat tangannya ke atas. "Cahaya yang bersinar dalam kegelapan untuk menuntun menuju kebenaran, batu biduri bulan bersinar… PURNAMA…."
Bulan sabit yang berada di langit berubah dengan kesempurnaan yang luar biasa berwarna merah. Sinar purnama yang terkumpul menjadi satu titik, sinar itu bagaikan laser yang menyerang bagi yang dikehendaki.
"SERANG…" Isogi menunjukkan tangannya pada Duo Soroboyo dan sinar rembulan dengan kecepatannya menembus tubuh mereka.
Keduanya terpaku saat sinar bulan purnama menghunus bagaikan pedang ke dalam tubuhnya. Aliran sastra seakan menghilang seketika dan mereka tidak memiliki kekuatan lagi. Purnama adalah jenis serangan yang melumpuhkan aliran sastra secara total.
"Sial, kita kalah." Ken Dedey dan Ken Arlok merasakan bahwa tubuh mereka tidak memiliki aliran sastra.
Isogi segera mendekati mereka untuk mendapatkan benda yang mereka curi dan di saat itu, pasukan dari keraton datang untuk menangkap penjahatnya. Isogi mengulurkan tangannya untuk mengambil tas dari Ken Dedey.
"Siapa yang membayar kalian untuk mencuri kitab ini?" Isogi memperlihatkan curian mereka yang dia curigai sebagai kitab pusaka.
"Kami tidak tahu, mereka memakai pakaian hitam dengan lambang bintang merah di punggungnya," kata Ken Dedey.
"Iya, kami memang tidak mengenal mereka," imbuh Ken Arlok.
Karena mereka berdua kehabisan sastra dalam tubuhnya, mereka tidak sanggup menahan diri dan mereka berdua tenggelam terbawa arus sungai Musi. Isogi masih tidak mengerti dengan jawaban mereka yang bisa-bisanya disuruh oleh orang tak dikenal dan apa buktinya mereka bisa memberikan kekuasaan? Dan siapakah mereka yang berlambang bintang merah? []