Galigo masih terdiam dan dia menyendiri di sisi keramaian. Ada sebuah kolam kecil di tanah Kubu yang begitu indah karena sekelilingnya ditanami jamur-jamur menyala hingga sekeliling air tampak terang. Ditambah lagi, di atas air banyak kunang-kunang berterbangan.
Dalam pikirannya, Galigo melintasi ruang dan waktu. Mengapa pula mengenai perempuan berkulit hitam itu mengganggu dirinya? Galigo tidak percaya bertemu dengan orang seperti dia lagi. Dia yang berbeda dan dia bukan si perempuan berkulit hitam itu.
Perjalanan hidup memang tidak begitu saja harus berhenti tapi tetap untuk dijalani. Dunia yang berputar, tanpa kembali berputar pada waktu sebelumnya. Tetapi, sang waktu membawanya kembali pada kenangan yang telah lama pergi atau mungkin seharusnya sudah mati.
"Kenapa kau berdiam diri di sini?" Seorang gadis tanah Kubu mendekati Galigo.
Galigo menatapnya, gadis bermata hitam dari sinar kunang-kunang yang sempat terbang di wajahnya. Senyumnya yang merekah dari paras wajahnya yang tampak lugu. Rambut keritingnya yang menggantung menggulung-gulung. Kulitnya sangat gelap karena malam, dia hanya memakai kain penutup buah dadanya dan kain panjang dari pinggang sampai mata kakinya.
"Aku hanya suka melihat air yang tenang." Galigo tersenyum.
"Boleh aku yang menemanimu?"
"Silakan jika kamu tidak keberatan, mungkin kamu akan merasa bosan dengan aku yang ingin berdiam."
"Bagaimana kalau kuajak kau ke tengah ketenangan untuk menikmati diam yang damai?"
Galigo menatap gadis itu dan penasaran apa yang akan diperbuat untuk dirinya. Ternyata, gadis tanah Kubu itu mengajaknya ke tengah kolam dengan menaiki rakit yang terbuat dari bambu. Mereka mendayungnya bersama dengan pelan di antara kunang-kunang.
"Terima kasih, kamu mau menemaniku." Galigo merasa damai dalam diamnya kali ini.
Di tengah danau, Galigo memandang tanah Kubu yang damai dan tenang di tengah hutan. Rumah penduduk dibangun dengan ketinggian yang rendah dari kayu yang hanya diletakan di atas tanah berbentuk persegi dengan beratap rerumputan. Rumah sederhana itu berbentuk panggung dan tidak memiliki ukiran apa pun di dindingnya.
Rumah mereka yang dikenal dengan rumah kilapan merupakan rumah semi permanen yang bisa diangkat untuk berpindah tempat dan di dalamnya tidak memiliki sekat ruangan. Sementara untuk keperluan memasak dilakukan di luar rumah.
Waktu perpindahan masyarakat Kubu ditentukan oleh seorang cenayang dengan ramalannya. Ketika seorang cenayang memutuskan untuk berpindah maka seluruh masyarakat akan berpindah dengan membawa serta rumah kilapan mereka.
***
Pagi hari yang dingin dan kabut tebal melapisi udara sampai-sampai tidak bisa melihat dalam jarak satu depa. Semua terlihat putih dan mengerikan, salah melangkah bisa saja tersesat. Maka jerit tangis ketakutan penduduk tanah Kubu terdengar di mana-mana. Orang tua yang mencari anaknya dan anak yang kehilangan orang tuanya. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Dalam kebutaan mereka mencari jalan untuk menemukan orang-orang yang mereka sayangi. Memang semua penduduk tanah Kubu adalah keluarga, tapi bagi seorang ibu, anak kandung jauh lebih berharga. Maka, air mata terjatuh untuk melepaskan rasa sedihnya.
"Anakku….." raung seorang ibu memeluk anaknya yang baru belajar berjalan.
Sandanu berada di rumah Temanggung Genta, karena tempat tinggal seorang temanggung tidak bisa dikatakan sebagai keraton yang megah meskipun letaknya lebih tinggi dari semua rumah penduduk. Menjadi suatu penghormatan bagi Sandanu dan teman-temannya bisa tinggal di rumah temanggung yang biasa disebut rumah pohon.
Rumah pohon memang benar sebutannya karena rumah temanggung dibangun di atas puncak pohon tertinggi. Ada ratusan anak tangga kayu yang diikat pada batang pohon, tapi tidak mungkin bagi seorang temanggung menaiki tangga untuk sampai di singgahsananya. Tentu saja ada semacam tangga tarik yang dibuat dari akar-akar pohon kuat yang disampirkan pada cabang batang pohon sebagai katrol untuk menarik-turunkan sebuah kotak kayu yang digunakan sebagai tempat yang disebut kubus. Dengan kubus ini, temanggung Genta bisa dengan cepat naik-turun rumahnya dengan cara memutar sebuah tuas untuk menjalankannya yang dilakukan oleh pengawal temanggung, sedangkan para abdi biasa naik turun lewat tangga di batang pohon.
Mengenai pohonnya sendiri, ini pohon yang sangat besar hingga memerlukan dua puluh lima orang yang merentangkan tangan untuk memeluknya. Saking besarnya pohon ini disebut pohon kramat dan ada sebelas rumah pohon yang dibangun di setiap cabang-cabangnya yang dihuni oleh keluarga temanggung ataupun orang penting dalam tatanan masyarakat Kubu.
Pohon keramat sendiri adalah pohon unik yang ditanam oleh seorang cenayang dari biji pohon yang merupakan benda pusaka milik tanah Kubu. Saat biji pohon ditanam, pohon keramat akan langsung tumbuh besar sebagai rumah bagi temanggung dan juga pusat kepemimpinan tanah Kubu. Ketika masyarakat Kubu akan meninggalkan tempat tinggal untuk mencari tempat tinggal yang baru, maka pohon keramat itu akan layu dan langsung mati menjatuhkan biji-bijian yang akan ditanam di tempat yang baru.
Dan pagi ini hal buruk menimpa tanah Kubu. "Apa yang terjadi Ki?" tanya Sandanu melihat hutan dipenuhi kabut tebal dari atas rumah pohon lewat sebuah jendela tanpa kaca.
"Dia anak muda yang tidak dilahirkan dari rahim tanah Kubu tapi dia melukai gadis dari tanah Kubu dan…." Temanggung Genta tidak melanjutkannya.
Sandanu menyadari satu hal. Galigo sejak semalam tidak bersama dengannya. Mutia dan Way Gambas pun tidak menyadari ke mana menghilangnya Galigo. Anak bermata sipit itu menghindari keramaian dan bahkan tidak banyak berbicara sejak pertarungan di dekat sungai Musi.
"Galigo? Apa benar yang melakukan ini adalah Galigo?" Sandanu meminta ketua suku menjelaskannya.
"Anak itu tidak bersalah, tapi…." Temanggung Genta tidak melanjutkan kalimatnya lagi.
"Tapi kenapa Ki?" Mutia sangat mengkhawatirkan Galigo. Kedua tangannya terkepal erat saling bercengkrama seakan tidak sanggup menerima kepastian yang terjadi.
Gadis berambut marun itu tidak bisa menebak tingkah laku Galigo dalam perjalanan dari tanah Musi. Anak laki-laki itu berjalan di belakang dan berkali-kali Mutia menolehnya, sama sekali tidak ada pedulinya. Galigo begitu diam dan bergeming dengan wajah yang tanpa ekspresi.
Temanggung Genta menghembuskan nafasnya. "Ini hanya hal sepele tapi semua sangat ketakutan."
"HA?" Mereka bertiga, Sandanu, Mutia dan Way Gambas terkejut, tapi Temanggung Genta tertawa. Beliau mengetahui bahwa ini adalah ulah seorang cenayang dan hanya ada satu cenayang di tanah Kubu yang mampu menggunakan kekuatan sastra dari batu akiknya.
Di samping itu, gadis Kubu yang seorang cenayang masih berdiri di tengah kolam tempat semalam bersama Galigo di atas rakit, sambil memandangi kabut tebal yang menggambarkan kehidupan Galigo dan memperlihatkan masa depan Galigo yang mengejutkan. Sebagai seorang cenayang, gadis itu memiliki tugas penting dalam masyarakat Kubu yang mewarisi tekad mereka hingga memutuskan tradisi sebagai masyarakat nomaden, untuk menemukan sesuatu tempat yang menjadi tujuan para leluhur.
"Tidak mungkin, dia itu berdarah campuran...." ucapnya sebagai seorang cenayang. "pembawa petaka di akhir zaman." []