Bentuk bulan kembali ke asalnya, bulan sabit. Setelah pertarungan selesai, mereka menepi ke daratan dan Galigo melepaskan mantranya terhadap mereka bertiga. Isogi menyimpan kitabnya sendiri dan Sandanu yang ingin mengetahui kitab itu seolah tidak diizinkan.
"Ayo kita ke keraton sekarang!" ajak Isogi pada Boe.
Sandanu tidak menduga bahwa perempuan itu begitu licik. "Tunggu, kenapa kalian pergi begitu saja padahal kami ikut membantu?"
"Apa aku meminta pada kalian?" Isogi memasang wajah dinginnya.
Galigo kecewa mendengar ucapan perempuan itu, dia sudah salah menilai padanya saat matanya menatap pada dirinya tadi. "Ya, kamu memang tidak memintanya dan kami tidak mengharapkan kepedulianmu."
"Galigo?" Mutia dan Way Gambas menatapnya. Anak itu seperti sangat kecewa dan Galigo terlihat pergi begitu saja.
Melihat yang terjadi, Sandanu marah. "Hai kamu! jangan karena kamu lebih tua dari kami bisa seenaknya saja memanfaatkan kami, kami bisa saja merebut kitab itu darimu."
Mutia yang tidak ingin terjadi keributan lagi, mencegah Sandanu dengan memegang tangannya. Lagi pula pasukan keraton sudah datang, mereka menyambut Isogi dan memberikan kuda untuknya. Isogi dan Boe meninggalkan mereka begitu saja.
Sebenarnya Boe sendiri merasa bersalah, tapi rekannya yang terasa sebagai senior tidak menghendaki dirinya untuk melakukan hal bodoh. Karena itu, Boe hanya menoleh untuk memastikan, ternyata mereka benar-benar kecewa.
"Ka Isogi, kenapa kamu begitu kasar pada mereka?" tanya Boe.
Isogi mengendarai kudanya dengan pandangan ke depan. "Kita sudah sepakat dengan pihak keraton untuk mengambil kitabnya karena itu hanya kita yang berhak untuk mengembalikannya."
"Tapi, itu omong kosong karena mereka pun membantu."
Isogi menoleh Boe. "Kalau kamu tidak ingin bersamaku lagi, silakan pergi!"
"Maaf, aku akan mengikutimu." Boe seolah tidak bisa berbuat apa-apa lagi, dirinya sudah bergantung pada perempuan hitam manis itu. Mereka pun dikawal oleh prajurit keraton malam itu, hingga keesokan paginya mereka memasuki pelataran keraton Sriwijaya.
***
Keraton Sriwijaya adalah keraton ketua suku tanah Musi yang di bangun di tengah-tengah jembatan Ampera yang sangat luas lebarnya. Jembatan Ampera merupakan peninggalan kedatuan Sriwijaya pada masa silam yang diduga dibangun menggunakan bebatuan hingga tahan melewati perubahan zaman beratus-ratus tahun yang hingga kini belum terpecahkan cara pembuatan jembatan raksasa itu. Kemudian di masa pemerintahan tanah Musi di beri lapisan perak merah dan menjadi tempat berdirinya keraton tanah Musi.
Ampera sendiri bermakna amanat penderitaan rakyat akibat peperangan dua wilayah seberang sungai hingga dibagunlah jembatan sebagai bentuk perdamaian dan menjadi sebab berdirinya kedatuan Sriwijaya pada era megalitik sebelum tahun Zodiark yang tersohor di daratan Andalas. Dan beralih kedudukannya menjadi tanah Musi sejak berakhirnya perang dunia pertama.
Keraton Sriwijaya terbuat dari kayu pohon tembesu dan seru yang berlapis emas dengan atap berbentuk limas. Dan bangunannya terdiri dari beberapa tingkat yang disebut bengkalis.Tingkatan ruangan diatur menggunakan filosofi Kekijing, dimana setiap ruangannya diatur berdasarkan penghuninya yang memiliki bakat, pangkat dan martabat.Tingkat tertinggi adalah singgahsana ketua suku tanah Musi.
Rumah Limas dibangun menghadap ke arah timur dan barat. Bagian yang mengarah ke barat disebut dengan Matoari Edop atau berarti matahari terbit yang melambangkan kehidupan baru. Sedangkan yang menghadap ke timur disebut dengan Matoari Mati yang berarti matahari terbenam atau melambangkan akhir dari kehidupan.
Jika melihat bagian atas atap, terlihat ornamen simbar berbentuk tanduk dan melati. Selain sebagai ornamen, simbar ini berfunsi sebagai penangkal petir. Melati melambangkan keagungan dan kerukungan, simbar dua tanduk berarti laki-laki dan perempuan, sementara tiga tanduk berarti matahari-bulan-bintang.
Setelah melewati ratusan anak tangga, Isogi bertemu dengan ketua suku seorang diri di tingkat tertinggi yang disebut gegajah dan membiarkan Boe menunggunya di tingkatan pagar tenggalung yang merupakan tempat menyambut tamu sambil melihat pemandangan tanah Musi dari dalam keraton Sriwijaya yang tepat berada di tengah-tengah sungai.
"Ini kitab yang dicuri, saya mengembalikannya." Isogi memberikan buku itu kepada ketua suku tanah Musi yang duduk di atas undakan khusus yang disebut amben.
Ketua suku yang sudah paruh baya dengan keriputannya menerima kitab dari tangan Isogi. "Terima kasih Nak," suara wanitanya bergetar dan dia mengenakan baju Aesan Gede yang mengkombinasikan warna merah jambu & emas.
"Sebenarnya kitab apa itu, saya pernah melihat kitab itu dimusnahkan di tanah negeriku." Isogi mengetahui tentang kitab tersebut.
"Apa?" Wanita tua berambut putih itu terkejut. "Dari mana asalmu?"
"Saya dari negeri Karra."
"Dulu kitab ini berjumlah sembilan dan tersebar di seluruh dunia, itu yang aku dengar dari ketua suku sebelumkuā¦." Ketua suku tanah Musi bercerita.
Kitab itu diyakini sebagai gerbang menuju dunia dimensi yang lain, tentang dunia yang berjalan beriringan dengan waktu yang sedang berlangsung bersamaan. Semua orang ingin membuktikannya dan terdengar di beberapa tanah negeri memiliki buku yang sama, tapi mereka tidak bisa membuktikannya.
Sebagian orang mengaggapnya mitos dan sebagian tidak percaya. Tidak pernah terdengar tentang orang yang bisa membuka buku itu dan melihat dimensi lain hingga mulai terdengar buku-buku itu dimusnahkan.
"Lihatlah garis di punggung kitab ini, sewaktu aku menerimanya ada delapan tapi sekarang tinggal empat, ini membuktikan lima dari sembilan kitab telah dimusnahkan." Ketua suku mengakhiri ceritanya.
Isogi masih tidak paham mengenai kitab tersebut, tapi dalam hatinya menginginkan kitab itu. Dia memandang kitab dengan keinginan besar.
"Apa tujuan hidupmu, Nak?" tanya ketua suku.
Isogi tersentak dengan pertanyaan itu, tapi dia mencoba menjawabnya. "Saya ingin mengubah dunia ini menjadi lebih baik lagi."
"Umurku sudah senja dan orang di tanah ini hanya memikirkan kesenangannya sendiri, terimalah kitab ini dan wujudkan impianmu."
Isogi melihat ketua suku mengulurkan tangannya dengan ikhlas untuk memberikan kitab tersebut, dengan perlahan Isogi mengambil kitab kembali.
"Para ahli bahasa di negeri Tirta mengatakan kitab itu ditulis dalam bahasa atlan yang telah musnah dan dipercaya sebagai induk bagi seluruh bahasa di dunia, tapi tidak ada yang mempelajari lagi mengenai bahasa itu hingga buku ini tidak bisa diartikan, mereka menyebutnya sebagai kitab pusaka."
Ketua suku tanah Musi menceritakan bahwa sebelumnya ketika berdiri kedatuan Sriwijaya di tanah itu terdapat sebuah tempat kelimuan yang mempelajari bahasa atlan yaitu di Muara Takus. Sebuah lembaga kadewaguruan yang mengajarkan ilmu bahasa dan sastra, akan tetapi sejak berakhirnya perang dunia pertama kini Muara Takus berada di bawah kekuasaan negeri Tirta dan tidak lagi diizinkan orang belajar di tempat itu kecuali keturunan empat lubuk keluarga kerajaan.
Pada masa revolusi negeri Tirta, Muara Takus yang dianggap sebagai simbol status sosial bagi lubuk keluarga kerajaan menjadi sasaran hingga kini lembaga kedawaguruan itu tinggal reruntuhan yang terbengkalai.
"Aku akan mencoba mengartikannya dan mencari jawaban tentang misteri di kitab pusaka ini." Isogi yakin karena sejak kecil dia tertarik dengan kitab yang diperebutkan dan akhirnya dibakar oleh ketua suku di tanah negerinya.
Ketua suku tanah Musi sendiri merasa percaya pada perempuan muda itu yang memiliki jalan hidup untuk kebenaran, sinar batu akiknya menjunjung tinggi keadilan dan dia merasa bahwa perempuan ini bisa memimpin bagi mereka yang membuka gerbang tersembunyi di dalam kitab pusaka. []