Aktivitas yang terjadi di tanah Musi bisa dilihat oleh Sandanu dari jembatan Ampera.
Pada awalnya dia dan teman-temannya ingin menyeberangi sungai dengan sampan, tapi hal itu tidak terjadi karena kejadian semalam. Sebuah peristiwa yang mengesalkan, pertolongannya yang tidak dianggap oleh mereka yang menyebalkan. Andai saja Galigo tidak membiarkan perempuan itu pergi, Sandanu ingin berduel dengan perempuan berkulit hitam tersebut.
Mereka melanjutkan perjalanan setelah pertarungan di tepi sungai Musi. Dengan gajah-gajahnya, mereka menyusuri sungai Musi hingga menyeberangi jembatan Ampera. Di atas jembatan Ampera yang dibangun penuh warna merah darah dengan keraton Sriwijaya di pusat jembatan, ya keraton itu begitu indah dan mengagumkan penuh kilauan perak merah. Atap limasnya sangat mempesona dan di atas sana, singgahsana ketua suku tanah Musi.
Selama itu, anak bermata sipit tidak bicara sepatah kata pun. Dia lebih sering berjalan di belakang yang lainnya. "Ada apa ya dengan Galigo?" bisik Sandanu pada Mutia dan Way Gambas.
Dua gadis cantik duduk di atas gajah yang berada di samping kanannya, mereka menggeleng kepala bersama. Sama sekali tidak ada jawaban. Sekali lagi Sandanu menoleh ke belakang, Galigo hanya menatap sungai Musi dengan pandangan kosong.
Jembatan Ampera yang panjangnya ribuan langkah kaki, akhirnya terlewati juga. Di seberang sungai, mereka mengambil jalan lurus hingga menjauhi aliran sungai Musi. Tatanan kota di sana sama saja dengan di seberang sungai sebelumnya. Rumah-rumah beratap limas yang megah dari kayu-kayu pohon yang kuat. Sebentar mereka singgah di kedai makan sore itu dan malam harinya beristirahat di rumah penginapan.
Lalu pagi hari perjalanan dilanjutkan hingga akhirnya keluar dari gerbang tanah Musi dan kembali melihat hutan yang lebat dengan pohon-pohon hijau yang menyejukkan. Tidak terasa bahwa hanya alam yang selalu memberikan sebuah ketenangan.
Perjalanan mereka terasa bungkam, terlebih karena Galigo menjadi pendiam. Tidak ada yang tahu mengenai perasaannya yang berkecamuk akibat bertemu seseorang yang entah bagaimana seolah mengingatkan Galigo pada orang lain di masa lalunya.
"Apa ini jalan yang benar menuju tanah Melayu?" tanya Mutia yang merasa bahwa dirinya tersesat. Mutia memang sudah sering tersesat karena mengikuti jejak Sandanu yang selalu buta arah. Dirinya sendiri juga sama, karena itulah perasaannya tidak pernah bohong.
Way Gambas khawatir sebab senja mulai terlihat. "Iya juga, tadi penjaga di tanah Musi mengatakan kalau menuju tanah Melayu tidak akan lama lagi dan kita tidak akan kemalaman untuk sampai di sebuah desa."
"Kalau kemalaman, kita bisa mendirikan perkemahan." Sandanu terkekeh, baginya tidak bermasalah karena perjalanan ini adalah petualangan yang menyenangkan.
"Bagaimana Galigo, apa kamu mencium udara permukiman?" Mutia minta kepastian Galigo, sebelumnya anak bermata sipit itu juga menunjukkan arah tanah Musi dengan indra penciumannya yang tajam.
Galigo bisa mencium nafas permukiman manusia. Jika bepergian, dia bisa mencari arah untuk menuju tanah permukiman meskipun di dalam hutan dan jaraknya jauh-jauh dari tempatnya berada. Tetapi, udara manusia tidak bisa Galigo cium pada saat dirinya di tengah lautan.
Dalam perjalanan kali ini, Galigo memang belum bicara kecuali saat memesan makanan di kedai waktu istirahat. Sekarang keadaan seakan membutuhkannya, ketiga temannya berhenti di depan Galigo.
"Akan aku coba." Akhirnya Galigo bicara pada mereka.
Kemudian, Galigo memejamkan matanya dan menutup telinga. Seakan dia hanya mengaktivkan indra menciumannya. Dia mencari udara permukiman manusia di antara udara-udara alam yang segar. Manusia bernafas menghasilkan karnon dioksida dan pohon mengubahnya menjadi oksigen kembali untuk manusia. Di tengah hutan yang seperti tak terjamah manusia, Galigo merasakan udara permukiman manusia yang kuat.
"Di depan kita ada permukiman warga." Galigo menunjukkannya. "Tidak jauh dari sini."
Semuanya merasa lega, bahwa ternyata tidak tersesat. Sebentar lagi mereka sampai tanah Melayu yang tinggi derajatnya sebagai pusat bertahtanya kerajaan negeri Tirta. Meskipun begitu, Mutia yang kenal dengan kebisingan sebelum memasuki gerbang tanah negeri, kali ini dia tidak mendengarnya. Semuanya terasa seperti masih dalam tengah hutan.
Sinar matahari mulai meredup, nyanyian alam mulai menyambut malam, lapisan udara mulai hilang kehangatannya, dan keramaian masih belum terdengar meskipun Galigo mencium udara peradaban semakin dekat, hingga akhirnya terlihat, sebuah kehidupan yang sangat janggal.
"Inikah tanah Melayu yang besar itu?" Sandanu tidak percaya dengan yang dilihatnya.
***
Sebuah gerbang yang terbuka tanpa daun pintunya, tanpa dinding yang melindungi permukiman warga. Hanya gerbang dari kayu pohon yang didirikan di sebelah kanan dan kiri dengan lengkungan di atasnya yang menyatukan dua ujungnya. Tanaman rambat yang berbunga tumbuh menjalar di gerbang itu. Ada empat pria yang berdiri menjaga. Mereka tidak berbaju, tidak beralas kaki dan hanya memakai celana penutup alat kelaminnya. Tapi ada juga, tombak kayu yang terasah tajam di ujungnya berada di tangan mereka masing-masing sebagai persenjataan.
Dari arah dekat, Sandanu bisa melihat ke dalam tanah itu yang di dalamnya berdiri rumah-rumah kecil, hanya berdiri untuk menciptakan atap pelindung dari hujan atau panas. Yakin, tidak akan ada panas matahari yang terik di tanah ini karena pohon-pohon besar tumbuh berdampingan dengan kehidupan mereka. Ini bukan tanah negeri, tapi seperti perkemahan besar di dalam hutan.
"Apa kamu yakin ini tanah Melayu itu?" Sandanu tidak bisa menduganya.
Mutia pun merasa bahwa dirinya memang sudah tersesat. "Aku pikir ini bukan tanah Melayu."
"Aku setuju, kita memang tersesat dari awal. Seharusnya kita tidak mengambil jalan di persimpangan." Way Gambas merasa menyesal karena ulah Sandanu yang salah menunjukkan arah.
Galigo masih terdiam, dia berada di belakang mereka bertiga.
Seorang penjaga, melihat kedatangan mereka. Orang itu memberitahukan temannya dengan bahasa aneh dan tidak lama kemudian berkumpul sepasukan yang datang mengepung mereka. Tombak-tombak tajam diarahkan pada mereka.
Salah satu yang terlihat sebagai pemimpin mewakili bicara dengan bahasa IND. "Siapa kalian?"
"Kami hanya pengembara yang tersesat," jawab Galigo dengan sopan.
Awalnya Sandanu memang akan bertindak, tapi Galigo mencegah dengan tangannya. Way Gambas tahu sikap Galigo yang bertanggung jawab atas kesalahannya.
"Kalian dari mana?"
"Kami dari tanah Lampung."
Way Gambas menambahkan. "Ya, aku adalah putri ketua suku dari tanah Lampung yang hendak pergi ke tanah Melayu."
Terdengar bisik-bisik prajurit dengan bahasa tak dikenal yang memuji kecantikan Way Gambas sebagai putri tanah Lampung. Mereka merasa terhormat tanahnya dikunjungi seorang putri yang cantik dan jelita. Rambut emas bergelombangnya tergerai indah menambahkan pesona luar biasa dari parasnya.
"Bolehkah kami bersinggah di tanah kalian?" Way Gambas tersenyum.
Pemimpin pasukan itu mencari pendapat yang lainnya. Mereka menurunkan tombak. "Silakan jika kalian berkenan, kami akan sangat terkesan."
Kemudian, mereka pun disambut dengan baik oleh penduduk tanah negeri yang begitu sederhana di tengah alam yang terbuka. Tidak ada jalan besar dan tatanan rumah penduduk beriri secara acak mengambil tempat di bawah pohon besar, hanya keramahan dan senyum yang membuat hangatnya kebersamaan dan selaras dengan alam. Ini seakan bukti dari era klasik yang masih bertahan.
Anak-anak terlihat bertelanjang tanpa pakaian dari sinar-sinar api yang dinyalakan dari kayu bakar yang dijadikan unggun-unggun kecil di setiap sudut keramaian. Udara dingin seolah sudah bersahabat dengan mereka. Yang dewasa pun hanya menggunakan kain yang menutupi kelaminnya dan bagi perempuan juga menggunakan kain untuk menutupi buah dadanya dari kulit pohon dan mereka mengenakan perhiasan dari untaian biji-bijian.
Mereka sangat sederhana dan menjunjung nilai darma yang tinggi terhadap alam. Malam itu, Sandanu dan teman-temannya menerima sajian-hidangan makan malam. Acara makan malam pun dilakukan bersama dengan cara kekeluargaan. Semua penduduk di tanah ini adalah keluarga. Namun di antara mereka tidak terlihat orang yang dimuliakan sebagai ketua suku.
"Ngomong-ngomong tanah apa di sini?" tanya Sandanu setelah selesai makan.
Ketika Sandanu bertanya, datang seseorang kakek-kakek yang menggunakan baju penutup tubuhnya yang terbuat dari kulit beruang madu seperti jubah kebesaran. Kakek itu berjalan dari arah gelap, semua orang memberikan jalan baginya untuk mendekati tamu yang berkunjung di tanah yang beliau dirikan.
Sandanu dan teman-temannya duduk di depan unggun api dengan banyak penduduk tanah ini yang berada di belakangnya. Kakek tetua itu berdiri memberikan sambutan dan semua orang menghormatinya.
"Ketahuilah dengan pertanyaanmu itu anak muda. Bahwa tanah ini adalah tanah Kubu yang berdiri di tengah hutan dan kami hidup untuk melindungi hutan, dan akulah Tumenggung Genta sebagai pemimpin tanah kubu di sini."
"Tanah Kubu?" Sandanu mengulangi nama tempat ini.
Way Gambas ingat mengenai tanah negeri yang tidak ada di peta dunia, tapi dia membacanya di sebuah buku mengenai tanah yang berpindah-pindah, yang tidak menetap. Jadi inilah tanah itu, tanah Kubu.
"Saya mengetahui kalian yang hidup berpindah-pindah di dalam hutan," kata Way Gambas, "saya putri dari tanah Lampung sangat senang bisa berkunjung di tanah Kubu yang hidup dalam kedamaian sejati."
"Terima kasih Tuan Putri," balas Tumenggung Genta.
Setelah itu, acara penghormatan bagi para tamu diselenggarakan. Muda-mudi menari mengelilingi api unggun sambil bergandengan tangan. Sandanu yang tertarik mengajak Mutia untuk melepaskan alas kakinya dan menari bersama mereka. Kegembiraan tercipta di malam itu dengan bintang-bintang di langit sebagai saksi memberikan keindahannya.
Masyarakat tanah Kubu mengklam diri mereka sebagai keturunan dari penduduk kedatuan Sriwijaya yang melarikan diri ke dalam hutan saat ditaklukkan oleh imperium Malaynesia. Karena pada masa lalu leluhur mereka diburu, sehingga masyarakat tanah Kubu memutuskan hidup nomaden untuk menghindari prajurit imperium Malaynesia hingga saat ini cara hidup mereka telah menjadi tradisi yang dipimpin oleh seorang tumenggung. []