Segurat senja masih terlihat bagaikan benang kusut yang mulai pudar dan malam terjatuh bersama lolongan anjing hutan yang memanggil anaknya untuk pulang ke sarangnya yang berada di balik bebatuan. Kerlap-kerlip lintang mulai bermunculan di langit yang memperhias malam dengan tabir sinar yang menawan. Begitu pula, bunga-bunga ashar bermekaran menghiasi tepian jalan besar di bawah pohon-pohon akasia yang rindang depan rumah penduduk.
Dan penerang-penerang tanah Lampung dinyalakan sepanjang jalan yang penuh warna-warni seakan ada karnaval. Memang seperti karnaval, tapi yang ini berbeda. Semua penduduk tanah Lampung berkumpul di pinggiran jalan di petang itu. Suara alat musik dibunyikan untuk menyamput orang terpenting yang keluar dari keraton. Mereka adalah keluarga ketua suku tanah Lampung yang mengantarkan kepergian putrinya untuk mengembara melihat dunia luar lebih luas.
Tandu kereta gajah terdepan terisi oleh ketua suku dan istrinya, di belakangnya ada tuan putri Way Gambas dengan tiga orang asing yang diterima baik untuk menemaninya pergi meninggalkan tanah Lampung. Kepergian inilah yang dirayakan oleh penduduk tanah Lampung.
"Kenapa semua orang berkumpul dan bersenang-senang seperti tahun baru, padahal tahun baru kan besok malam," kata Sandanu yang terheran dengan penduduk tanah Lampung yang memainkan musik dan bernyanyi penuh kebahagiaan.
Way Gambas yang duduk di bagian depan sendirian menjawab. "Mereka mengantarkan kepergian bagi keluarga keraton, supaya yang pergi merindukan tanahnya dan kembali pulang."
"Wah! Ini tradisi yang unik," kata Galigo yang duduk di belakang bersama Sandanu dengan Mutia berada di tengah mereka.
Mendengar pujian Galigo terhadap tradisi tanah Lampung, Way Gambas tersenyum tapi hatinya berkabung dan dia terdiam. Dia sedih karena kepergian orang yang dirindukannya tidak mendapatkan upacara pengantaran sehingga dia tidak juga pulang sejak tiga tahun yang lalu. Sebabnya pula, karena minggat.
***
Saat fazar menyingsing, ketua suku melepaskan pelukannya dan membiarkan putrinya pergi berkelana untuk mencari yang dia inginkan. Dalam benaknya, dia merasa bersalah dan biarkanlah anaknya menyelesaikan semua masalah yang telah terjadi.
Dengan empat gajah, Way Gambas pergi bersama orang-orang asing yang telah menerobos masuk paviliunnya. Mungkin pertemuan ini sudahlah menjadi suratan takdir, dan mungkin inilah yang selama ini dia tunggu-tunggu.
Hutan lebat dengan segala penghuninya yang hidup liar menjadi teman perjalanan mereka pagi itu. Bagi yang lain hal ini sudah biasa, tapi bagi Way Gambas ini adalah hal yang baru.
"Sekarang apa yang ingin kamu ceritakan?" Mutia mendekati Way Gambas dengan gajahnya.
Way Gambas masih terkagum dan memperhatikan hutan yang menyejukan dengan suara-suara alam yang berbunyi berkesinambungan. Dari suara gangsir, burung, monyet yang loncat dari pohon ke pohon hingga binatang-binatang yang lari di semak-semak untuk mencari makan.
"Mmm… apa kamu sudah terbiasa berjalan di hutan?" Mutia belum mendapat respon dari Way Gambas.
"Maaf," Way Gambas menolehnya. "Aku bersedia pergi dengan kalian karena aku merasa bosan dan ingin juga menghadiri perayaan pesta pantai. Aku pernah dengar bahwa pesta pantai di negeri Tirta hanya tiga tahun sekali."
Mutia yakin ada yang disembunyikan oleh Way Gambas. Tapi gadis itu tidak mau bercerita juga, padahal sejak pertama kali Way Gambas datang menggagalkan hukumannya, Mutia ingin tahu apa yang diinginkan putri itu.
Mutia yang merasa mewakili dari kecurigaan Sandanu dan Galigo menoleh ke belakang, memberitahukan bahwa dirinya tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Kemudian, perjalanan terus berlanjut. Mereka memasuki hutan belantara, mendaki bukit, menyeberangi sungai dangkal dan membuka semak belukar. Sandanu yang berjalan paling depan, dengan Way Gambas di belakangnya, yang diikuti Mutia dan Galigo menjaga di belakang.
Bagi Way Gambas perjalanan itu melelahkan, tapi tekadnya membuat dia tetap bertahan dan menyembunyikan keluhannya. Hidup di hutan cukup mudah untuk mendapatkan makanan karena hutan menyediakan yang mereka butuhkan, bahkan uang sama sekali tidak berguna meskipun ketua suku tanah Lampung memberikan bekal cukup banyak untuk perjalanan itu yang tersimpan dalam kantung yang tersampirkan di atas punggung gajah belakang mereka.
Sampai akhirnya larut malam dan ini pertama kalinya Way Gambas bermalam di hutan. Mereka berkemah di dekat aliran sungai dan kali ini perkemahan bertenda Sandanu dirikan karena ada putri tanah Lampung yang ikut serta.
Galigo mencari kayu bakar saat Sandanu dan Mutia mendirikan tenda, sedangkan Way Gambas mencuci kakinya di sungai. Dia duduk memandangi langit dan mendengarkan nyanyian alam yang menenangkan. Akhirnya di malam hari, api unggun dinyalakan dan mereka berkumpul sedangkan gajah-gajah makan rerumputan tidak jauh dari tempat perkemahan.
Mereka terdiam saling tatap sejenak hingga akhirnya Galigo memulai percakapan. "Bagaimana kamu bisa sesehat ini sedangkan waktu itu batu akikmu telah pecah?"
"Ya, aku juga tidak melihatmu memiliki batu akik," kata Sandanu.
"Baiklah," Way Gambas akan bercerita. "Aku pengguna teknik rahasia karena itu tidak diketahui bagaimana aku mengendalikan batu akik."
"Teknik rahasia?" tanya Mutia.
"Karena ini adalah rahasia, aku tidak akan menceritakannya pada kalian." Way Gambas berdiri. "Aku akan tidur lebih awal." Dan dia pun pergi masuk ke tenda.
Mereka bertiga mencoba memaklumi Way Gambas, apa lagi mereka tahu bahwa dia seorang putri keraton yang sempat mengurung diri bertahun-tahun. itu sebabnya sikapnya yang tertutup dipastikan ada hal yang membuat dirinya seperti itu. Mereka membiarkan apa yang dilakukan oleh Way Gambas sekalipun merasa risih melihatnya.
Setelah Way Gambas pergi. Sandanu melirik Galigo. "Mata sipit, aku masih penasaran dengan kekuatanmu, kamu mau bertarung denganku?"
Galigo tersenyum sinis. "Boleh, aku juga ingin mengalahkanmu."
Malam itu, Sandanu dan Galigo bertarung. Mutia hanya bisa melihatnya, tapi Way Gambas yang berada di dalam tenda kembali keluar. Dia penasaran dengan kegaduhan yang terjadi. Akhirnya, dia bersama Mutia duduk di dekat api unggun menyaksikan pertarungan Sandanu dan Galigo.
"Batu mustika Siliwangi bersinar, cakar harimau…" Sandanu menyerang.
Galigo sudah tahu elemen sastra yang dimiliki Sandanu. Dengan ketenangan alam malam itu, Galigo berhasil menghindari serangannya. Serangan Sandanu ternyata sangat kuat hingga kayu pohon berantakan terkena serangan cakarannya.
"Baiklah giliranku, batu sissi' naga bersinar, nafas langit…" Galigo menyerang.
Meskipun Sandanu mengetahui elemen sastra Galigo, ternyata dia masih belum bisa menghindari dan akhirnya dia terpental sampai sungai. "Sialan, kamu menyerangku beneran, aku kan cuma mengajakmu latihan."
"Heh, kamu sendiri yang tidak bisa menghindari seranganku, kenapa aku yang disalahkan?"
"Seharusnya kamu pelan-pelan, gak harus aku sampai terjebur sungai."
"Kamu ini gimana? Kenapa jadi aku yang salah?"
Sandanu tidak terima hingga dia pun bertengkar adu fisik dengan Galigo sampai-sampai mereka bertengkar di dalam sungai yang dangkal. Mutia dan Way Gambas tertawa melihat tingkah konyol mereka.
"Mereka lucu ya?" Mutia senang jika memiliki banyak teman dalam perjalanannya.
Way Gambas mengangguk sambil tertawa. Dia putri yang telah mengurung diri selama tiga tahun, kini merasa bebas dan melihat kehidupan bagi seumurnya. Masa remaja yang menyenangkan dan penuh petualangan.
Hingga tiba saatnya tengah malam, mereka menari bersama mengelilingi api unggun. "SELAMAT TAHUN BARU 665 ZODIARK."
Untuk merayakan malam tahun baru, satu persatu dari mereka harus bercerita untuk menghibur malam yang panjang itu. Bagi Sandanu, Mutia dan juga Galigo yang memiliki banyak pengalaman dalam perjalanannya tentu menceritakan petualangannya yang baginya paling menyenangkan.
Hingga giliran Way Gambas bercerita, dia tidak menceritakan pengalaman hidupnya. "Aku akan menceritakan kisah tentang dua belas roh bintang yang menjadi awal lahirnya tahun Zodiark."
"Roh bintang?" ucap Galigo penasaran dibalas senyuman Sandanu dan Mutia yang seakan pernah mendengar cerita itu.
Ketika dunia diliputi gonjang-ganjing akibat fitnah di tengah umat manusia yang damai, menimbulkan perang berkecamuk. Lalu muncul seorang petapa yang bernama Sutasoma untuk menghentikan peperangan itu. Dengan kekuatan sastra yang tinggi, dia memanggil kedua belas bintang zodiak untuk menghentikan peperangan. Yang ternyata kekacauan itu disebabkan oleh bangsa jin yang terusir dari dunia astral.
Malam itu terdengar menyenangkan di tengah hutan yang oleh cerita-cerita mereka yang luar biasa. Tapi perjalanan mereka masih jauh hingga tanah Melayu, sedangkan pesta pantai akan diadakan dua pekan lagi pada malam bulan purmana pertama tahun ini, tepat di hari ungu pada saat bintang akuarium bersinar. []