Menjadi seperti burung mungkin adalah sebuah kebebasan. Bisa terbang tinggi menembus awan, melewati batas negeri dengan legang dan menyeberangi lautan tanpa perlu berpikir panjang karena di ujung cakrawala pasti ada daratan. Dan bukankah dunia ini bulat? Maka kehidupan pun akan kembali lagi pada dasarnya.
Setelah puas melihat bentangan alam dari langit yang luas tanpa batas, Way Gambas kembali turun menuju daratan. Kepakan sayap Sawerigading menutup saat kakinya menjajak tanah. Galigo loncat terlebih dahulu dan dengan gagah, dia mengulurkan tangan untuk menopang tubuh tuan putri saat turun dari sang naga.
Way Gambas tersipu malu. "Terima kasih."
Semua orang bertepuk tangan. Galigo memberi hormat sebagai tanda balasan. Lalu Sawerigading pun menghilang. Way Gambas sendiri menghadap pada ayahnya.
"Apak, saya sangat bahagia maka siaplah saya untuk mengikuti mereka pergi ke tanah Melayu." Way Gambas pun duduk di samping ibunya.
"Baiklah, maka persiapkan dirimu." Ketua suku menyetujui keinginan putrinya. "Tapi ketahuilah bahwa mereka adalah orang asing, maka hendak apak lihat kesanggupan mereka untuk menjagamu."
Ketua suku harus mengetahui sehebat apa mereka dan sesetia apa mereka agar bisa menjaga dan melindungi putrinya. Memang ini adalah hukuman bagi mereka yang telah menerobos pada keratonnya dan ternyata pula putrinya bahagia bertemu dengan mereka. Mungkin inilah sebuah takdir.
Ketua suku berdiri dan semua orang hormat padanya. Saat matahari mulai menghimpit bayangan benda menuju titik teratas pada letaknya, ketua suku memberikan pengumuman.
"Wahai anak muda dari tanah asing, kalian kuberi tugas menjadi pengawal putriku tapi tidak akan aku izinkan tanpa kutahu sekuat apa diri kalian. Maka berkumpulah setelah makan siang, tunjukkan pada penghuni tanah Lampung kekuatan kalian dan di tempat ini pula kalian harus bertarung, untukmu Sandanu dan Galigo."
Sandanu berserta Mutia dan Galigo memberi hormat. "Baik ketua suku yang berbaik hati telah menerima kami di tanah Lampung ini."
Kemudian, semuanya bubar untuk istirahat dan makan siang. Saat matahari tergelincir menuju sebelah barat, mereka akan kembali untuk menyaksikan pertarungan Sandanu dan Galigo.
***
Burung elang terbang berputar di udara seakan mengabarkan bahwa di bawahnya ada sebuah perkumpulan penuh gembira. Angin semilir menggoyangkan daun-daun paku tiang yang tumbuh berjajar di keraton Skalabrak. Kumbang-kumbang pun berkumpul untuk sesuatu yang membahagiakan, bahkan kelinci-kelinci hilir mudik di taman-mereka sibuk untuk memperhias lingkungan keraton. Di antara bunga-bunga yang mekar, seperti mawar, melati, kenanga, kemuning hingga kaca piring memberikan taburan wanginya di seluruh halaman keraton.
Semuanya benar berkumpul pada tempat yang ditentukan ketua suku sebelumnya. Berbeda dari acara mengenai permintaan putri Way Gambas untuk bisa menikmati terbang bebas bagaikan burung alap-alap yang terkabulkan oleh pemuda dari negeri Dirga dengan naganya dan hanya dihadiri oleh seisi keraton. Kali ini adalah pertanding seorang jewel dan rakyat dari luar keraton diperbolehkan untuk menyaksikan pertandingan itu. Inilah yang selalu ditunggu-tunggu rakyat tanah Lampung agar bisa berkunjung ke keraton yang megah.
Biasanya pertandingan pengendali batu akik hanya diadakan saat penaikan pangkat prajurit-prajurit muda. Tapi kali ini beda, dua pemuda dari tanah lain akan berduel untuk menunjukkan kemampuannya. Karena mereka orang asing yang pertama kali akan dipercaya ketua suku untuk menjaga putrinya.
Bendera pun berkibar di empat penjuru lapangan. Ketua suku beserta keluarga keraton telah singgah di tempatnya. Penduduk tanah Lampung yang hadir, bisa berdiri melihat jalannya pertandingan kali ini.
Sandanu dengan berbaju layaknya orang Lampung berdiri di sebelah kanan, sedangkan Galigo berdiri di sebelah kiri dengan pakaian yang sama. Dari singgah yang teratas, ketua suku berdiri dan memulai pertandingan mereka, dia meluncurkan cahaya batunya sebagai tanda permulaan.
Sandanu dan Galigo saling bertatapan dari jarak jauh. Sandanu mengingat kejadian malam sebelumnya, dia tidak bisa mengetahui serangan Galigo hingga tubuhnya terdorong. Mungkin karena waktu itu malam, sehingga dia tidak bisa melihat serangannya. Tapi sebagai kewaspadaan, Sandanu yang akan menyerangnya terlebih dulu.
"Batu mustika siliwangi bersinar," teriak Sandanu membuat semua orang terpana melihat cahaya terang dari cincin batunya yang diangkat ke udara pada jari manis kanannya. Jari manis pun diarahkan pada Galigo. "CAKAR HARIMAU…."
Galigo terpaku saat melihat cahaya batu akik milik Sandanu, tapi ketika serangan itu dimulai Galigo semakin tidak bisa memfokuskannya. Tiba-tiba saja, baju yang dikenakannya compang-camping hingga tubuh berkulit putih yang kekar terlihat semua orang.
Orang-orang terheran melihat kejadian itu, kenapa pemuda dari negeri Dirga tidak menghindar dari serangan?
Galigo teringat kejadian malam itu, luka di lengannya adalah bukti serangan yang tidak terlihat. Kali ini, dia sendiri tidak bisa menyadari datangnya serangan itu. Tapi ini adalah serangan ringan yang hanya mengoyak bajunya hingga tercerai-berai. Untung celana panjangnya tidak terbuka. Memang itulah rencana Sandanu. Sandanu sendiri tidak bisa percaya bahwa Galigo tidak menghindari serangannya. Apa mungkin anak itu sengaja?
Galigo mengangkat lengan kanannya dan gelang batunya bersinar. "Batu sissi' naga bersinar, NAFAS LANGIT." Serangan ditujukan pada Sandanu.
Terheran juga kali ini, Sandanu tidak bisa melihat serangan itu dan tiba-tiba saja tubuhnya terpukul-pukul hingga dia melangkah mundur. Bahkan semua penonton pun tambah bingung. Serangan mereka berdua sama-sama tidak terlihat dan mereka sama-sama tidak bisa menghindari.
Tapi pertandingan semakin hebat. Semangat mereka berkobar dan keduanya berlari untuk beradu fisik. Teriakan penonton pun bergemuruh hingga ketua suku bisa melihat ketangguhan tubuh mereka, bukan hanya kekuatan pengendalian batu akiknya saja tapi juga seni bela diri persilatannya pun tidak bisa diremehkan.
Heya, heya, ha-ha…
Pukulan dan pukulan di tangkis dengan pukulan, tendangan dan tendangan ditepis dengan tendangan. Tubuh menghindar saat tangan terayuhkan, mereka benar-benar piawai dalam beradu tangan. Tubuh mereka terlihat lentur untuk menghindari serangan atau menangisnya.
Saat Sandanu mengangkat kakinya ke udara untuk menendangnya, Galigo mengambil sikap kayang dan dengan tangannya dia berdiri membuat orang kagum. Kakinya yang di atas bisa memberikan serangan pada Sandanu yang langsung tiarap hingga memutar badan di tanah untuk merobohkan Galigo, tapi Galigo berhasil menghindar dan berdiri di tanah dengan tegap.
Kali ini, mereka berdiri dalam jarak dan saling pandang. Penonton pun tegang melihat mereka setelah beberapa waktu yang lalu dihabiskan dengan pertengkaran fisik tanpa ada yang kalah. Mereka seimbang. Tanpa diduga, sebuah serangan bersamaan terjadi.
"Batu mustika siliwangi bersinar…."
"Batu sissi' naga bersinar…."
"CAKAR HARIMAU…."
"NAFAS LANGIT…."
Serangan mereka beradu dan keduanya sama-sama terjatuh. Apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka yang sama kuatnya dan sama-sama tidak bisa menghindari serangan lawan?
Mereka berdua langsung berdiri dan akan melakukan serangan lagi, tapi ketua suku menghentikannya. "Cukup, kalian benar-benar mengagumkan."
"Maaf ketua suku, tapi saya benar-benar tidak bisa menghindari seranganya," Sandanu merasa dirinya tidak layak mendapat pujian.
Galigo pun demikian, "Saya sendiri juga tidak bisa menghindari serangannya, serangan dia tidak bisa terlihat."
Dari tempat duduknya, putri Way Gambas terkekeh dan dia menyadari kelemahan mereka masing-masing. Ketua suku yang mendengar suara putrinya yang begitu senang melihat kedua pemuda itu bertanding kekuatan, sudah cukup baginya untuk mempercayai mereka berdua.
"Putriku, apa yang terjadi dengan dirimu hingga tertawa seperti itu?" tanya ketua suku penasaran.
Way Gambas masih tertawa. "Mereka lucu, sama-sama tidak bisa menghindari serangan lawan."
"Apa kamu mengetahui sebabnya?"
"Iya, apak. Saya telah mempelajari mengenai elemen sastra yang memberikan wujud kekuatan pada pengendalian batu akik karena itu saya tertawa melihat mereka yang tidak menyadari hal tersebut."
"Elemen?" Sandanu dan Galigo saling bertatapan dan mereka benar-benar tidak mengetahui hal itu.
"Kalau begitu beritahulah mereka!" Ketua suku meminta putrinya menunjukkan kemampuannya mengenai pengetahuan yang dia kuasai.
"Tapi apak, apakah harus di depan para penduduk tanah Lampung?" Way Gambas menyadari bahwa dirinya belum pernah bicara di depan umum.
Ketua suku tahu hal itu, karenanya dia ingin melihat seberapa besar perubahan pada putrinya dan apa saja yang dia pelajari selama mengurung diri di paviliun Siger tiga tahun ke belakang. "Iya."
Way Gambas harus bisa meyakinkan ayahnya bahwa dia bukan lagi gadis kecil manja yang pemalas. Dia harus bisa membuktikan kedewasaannya pada semuanya, termasuk Sandanu dan Galigo.
Way Gambas pun berdiri dan dia mulai memberikan pengetahuannya. "Ketahuilah bahwa kalian berdua belum mengerti tentang elemen sastra yang kalian miliki."
Way Gambas pun menerangkan mengenai elemen sastra tersebut. Elemen adalah inti dari sastra yang mengontrol jenis pengendalian batu akik. Sebelumnya, sastra sendiri merupakan aliran kekuatan yang mengontrol atau mengoprasikan perintah terhadap tubuh seorang jewel supaya bisa mengendalikan batu akiknya. Dan sudah disebutkan tiga jenis pengendalian sastra yang terdiri dari mantra, syair dan khodam. Di samping itu ada elemen yang menjadi inti perwujudannya, dan elemen sendiri memiliki lima jenis yang digolongkan berdasarkan lima alat indra yang dimiliki manusia.
Ada elemen tanah yang mewakili indra peraba dan memanipulasi objek dalam bentuk padat. Elemen air yang mewakili indra pengecap dan memanipulasi objek dalam bentuk cair. Elemen udara yang mewakili indra pencium dan memanipulasi objek dalam bentuk gas. Elemen cahaya yang mewakili indra penglihat dan memanipulasi objek dalam bentuk terang. Dan elemen suara yang mewakili indra pendengar dapat memanipulasi objek dalam bentuk bunyi.
"Karena kalian tidak mengetahui jenis elemen sastra, kalian tidak bisa menghindari serangan dari lawan sedangkan kelima alat indra kalian tidak fokus, kalian hanya memfokuskan penglihatan," kata Way Gambas.
"Jadi, elemen apa yang aku miliki?" Sandanu yang baru mengetahui jenis elemen sastra sanggat ingin tahu lebih dalam mengenai elemen. "Dan elemen macam apa yang dimiliki anak itu?"
Way Gambas tersenyum. "Kamu menggunakan jenis elemen yang sangat langka di negeri Tirta, elemen suara yang membutuhkan pendengaran tajam dari lawannya, Galigo sendiri tidak bisa mempertajam pendengaran karena suara gemuruh penonton mencampur adukan suara sedangkan Galigo menggunakan elemen udara, serangan jenis nafas langit adalah jenis udara murni yang berbeda dengan angin hingga membutuhkan penciuman yang tajam tapi udara di sini sudah bercampur baunya hingga Sandanu tidak menyadari. Karena itu, kalian terus-terusan terkena serangan lawan, memang karena kalian juga tidak mengetahui jenis eleman sastra."
"Elemen sastra?" Mutia yang sejak tadi duduk di antara para tamu bisa memahami hal itu dan di mencoba menggenggam batu mutiara air mata duyung. "Elemen air."
"Jadi karena itu, hahaha… aku payah!" Sandanu terkekeh.
Galigo pun tertawa. "Hahaha, aku sendiri tidak tahu mengenai elemen sastra meskipun sudah mengusai syair."
Kejadian itu menambahkan pengetahuan Sandanu mengenai dirinya sebagai ahli jewel. Begitu juga Galigo, dia senang bisa bertarung dengan lawan yang seimbang. Maka mereka pun saling berjabatan tangan. Ketua suku yang melihat kedua pemuda itu saling berjabatan tangan, menganggap bahwa pertandingan telah berakhir dan mereka seimbang.
Way Gambas senang dengan hari ini dan dia sudah tidak sabar untuk pergi mengembara. Entah mengapa hatinya mengatakan akan bertemu dengan seseorang yang sangat dirindukannya saat tibanya nanti di tanah Melayu.
Mutia yang bahagia, dia berlari menghampiri Sandanu. Gadis tanah Aceh itu sangat bahagia bahwa akhirnya masalah di tanah Lampung, tepatnya di dalam keraton Skalabrak telah selesai.
Di saat itu, Galigo mendekati Mutia. Dia tersenyum malu, apalagi Mutia merangkul akrab Sandanu dengan tawa riangnya. "Untuk semuanya…."
Mutia menatap Galigo dan wajah merahnya semakin merah. "Iya?"
"Terima kasih." Galigo mengulurkan tangannya pada Mutia. "Kamu sudah mau percaya padaku." []