Sepanjang siang benda-benda menyerap panas dari sinar matahari dan saat malam tiba benda-benda itu kehilangan panasnya. Angin tidak lagi berhembus kencang dan udara yang berada dekat dengan permukaan tanah semakin dingin hingga tidak lagi bisa menahan uap air. Kelebihan uap air itu kemudian menjadi embun. Butiran air yang bening, murni dan suci.
Embun itu pun menyambut pagi dan cahaya matahari menciptakan kilauan yang indah di ujung-ujung daun yang hijau bagaikan permata. Memberikan kesejukan pada alam dan ketenangan bagi setiap mata yang memandang. Burung-burung pun berterbangan dari sangkarnya untuk mencari makan, ada juga yang kembali ke sarangnya untuk tidur sepanjang siang, seperti kelelawar yang menggantung di ruas-ruas bambu.
Di ujung rumput, embun jatuh ke dalam kolam dan ikan di dalamnya merasakan kesegaran yang nyaman. Katak kecebong mulai berenang untuk menikmati hidup pertamanya di dunia, dalam air. Tidak ada yang lebih menyejukan daripada air yang melepas dahaga akibat tidur panjang yang penuh mimpi. Mimpi yang buruk ataupun mimpi yang lebih indah.
Tapi, Way Gambas yang merasa terbangunkan karena sebuah pelukan hangat pada dirinya membuat dia termenung meskipun segelas air tersedia di samping ranjangnya. Sosok gagah dengan kumisnya yang menambahkan ketampanan itu, membuat Way Gambas tersenyum. "Apak!" Suaranya berbisik memanggil ayahnya dalam bahasa Lampung.
Dengan desahan berat, mata sang ayah membuka dan mendapatkan putrinya bangun dengan keadaan baik-baik saja. Wajahnya bergestur lega dan penuh rasa syukur dengan pagi yang membuatnya merasa gembira.
"Nikeu (kamu) sudah bangun anakku?" kata ketua suku pada anaknya.
Way Gambas mengangkat tubuhnya. Dia duduk dan bersandar pada sandaran empuk ranjangnya. "Terima kasih apak menjaga nyak (aku) semalam, nyak baik-baik saja."
"Apak tidak akan membiarkan nikeu melakukan hal itu lagi, berjanjilah pada apak untuk menjaga kehidupa nikeu." Ketua suku duduk dan dia membelai lembut rambut anaknya yang terang keemasan.
Way Gambas mengangguk. Lalu ketua suku mengambil segelas air dan dia meminumkannya pada putrinya, dia merasa lega dan semuanya baikan. Air itu merupakan ramuan yang semalam diracik oleh para tabib untuk memulihkan tenaga tuan putri.
Semuanya kini menjadi lega mendengar bahwa tuan putri terbangun dalam keadaan sehat. Tidak ada yang tampak berbeda dari dirinya meskipun semalam mengeluarkan kekuatan yang cukup besar hingga membuatnya pingsan.
Ketua suku bisa meninggalkan putrinya sendirian dan dia akan melakukan urusan yang harus diselesaikan. Tidak lagi bisa dia memaafkan anak-anak itu yang sudah membuat keadaan keraton Skalabrak mengalami kekacauan semalam.
Masih bisa didengar dari penghuni keraton mengenai kejadian semalam. Keraton Skalabrak yang begitu megah di tengah tanah Lampung, bangunan bercahaya penuh kilauan kuningan dan termashur. Keraton Skalabrak terdapat beberapa bagunan, terutama pusat pemerintahan di bagian depan gerbang dan diikuti oleh bangunan pusat pengembangan ilmu dan ketata-negaraan juga paviliun pribadi keluarga keraton.
Bangunan-bangunan tinggi yang dibangun dengan kayu-kayu terbaik yang tahan sepanjang tahun, dilapisi logam kuningan dan banyak ukiran hiasan lengkung tumbuhan paku. Nuwo Sessat, orang menyebutnya sebagai bangunan yang tidak menapak pada tanah karena begitu agung dan tinggi terhormat.
Anak-anak tangga di bangun untuk bisa menaiki bangunan itu, sekitar ada lima anak tangga kayu, kecuali bangunan pemerintahan yang begitu agung. Ada lima puluh anak tangga di depan Nuwo sessat dari sebelah kanan dan kiri, kemudian anak tangga lebih luas yang menuju bangunan lantai teratas yang berjumlah seratus anak tangga. Memang tangga itu langsung menuju ruang agung tempat ketua suku bersinggah.
Atapnya pun terbuat dari anyaman ilalang dan membentuk kuncup di atasnya yang berlapis kuningan yang puncaknya lebih tinggi dari segala bukit barisan yang mengelilingi tanah Lampung.
Di antara suasana pagi yang mulai penuh aktivitas di keraton, dari para pemasak, penjaga kebun hingga pergantian penjaga keamanan, ada dua orang yang merasa asing dengan keadaan itu. Mereka duduk di anak tangga depan ruang istirahatnya. Kabar baik pun sudah mereka dengar bahwa keadaan putri Way Gambas baik-baik saja.
"Bagaimana bisa putri itu sadar begitu cepat, padahal semalam keadaannya sangat kritis," kata Sandanu yang penasaran dengan kabar yang dia dengar.
Memang benar, orang-orang pun tidak mengetahui kepastian yang terjadi. Tidak ada yang mengetahui kekuatan tuan putrinya dan mengenai pengendalian batu akik pun mereka tidak menyadari karena memang tidak ada hiasan batu yang melekat padanya kecuali emas dan perak.
"Mungkin itu bagian dari teknik rahasianya, kamu bilang dia tidak menggunakan mantra kan?!" ujar Mutia.
"Benar juga, tapi itu sangat aneh karena batu akiknya pecah dan aku melihatnya sendiri." Sandanu masih penasaran dan rasanya ingin bertemu dengan putri itu dan bertanya langsung pada orangnya.
Sebelum dia bisa melakukan niatnya, beberapa orang dari biro kepolisian datang menemui mereka dan menyampaikan berita buruk. "Maaf, kalian harus di bawa ke ruang pengadilan kembali."
Sandanu dan Mutia saling tatap dan mereka tidak bisa menolak.
***
Dinginnya ruang tahanan yang beralas rumput kering membuatnya merasa tidak nyaman. Ini merupakan bangunan yang tidak berpanggung dan Galigo menanggung resikonya karena tinggal semalam di tempat itu. Dia sendiri terbangunkan dari gedoran penjaga yang langsung membawanya keluar untuk dibawa ke ruang pengadilan.
Tidak ada yang bisa Galigo lakukan untuk meloloskan diri, ini di dalam keraton besar tanah Lampung. Meskipun dia sadar bersalah dan tahu akibat yang akan diterimanya sebuah hukuman berat yang mungkin akan mengakhiri hidupnya karena sudah mencelakakan keselamatan putri tanah ini, Galigo merasa bersyukur mendengar keadaan putri Way Gambas baik-baik saja.
Setibanya di ruang pengadilan, sudah ada Sandanu dan Mutia yang menjadi tersangka dalam kasus semalam. Galigo menjadi tambah bersalah, karena gadis berambut marun itu pun ikut mendapatkan akibatnya.
"Kamu ada di sini?" tanya Galigo saat berlutut dengan tangan terikat di belakang.
Sandanu yang bernasib sama menjawab. "Semua ini gara-gara kamu tahu."
"Sudah kalian jangan bertengkar, ini ruang pengadilan." Meskipun dalam keadaan sama seperti mereka, Mutia bersikap tenang.
Di sekeliling mereka banyak penjaga keamanan dan di hadapannya sudah ada ketua suku sebagai hakim tertinggi dan hakim sendiri berdiri di sampingnya. Maka, persidangan pun dimulai pagi itu.
Juru kasus membacakan kronologi kejadian sejak kedatangan mereka yang tiba-tiba jatuh di kolam paviliun Siger saat pemandian putri Way Gambas dan pengadilan akan memutuskan untuk menghukum mereka, tapi ketua suku memberikan keringanan. Setelah keringanan hukuman dan diterima sebagai tamu terhormat, ternyata mereka membuat kekacauan keraton dengan menggunakan mantra penidur hingga semua orang jatuh dalam alam mimpi.
Galigo melakukan mantra penidur, tapi Sandanu dan putri Way Gambas masih terbangun. Sandanu tidak menyadari bagaimana dirinya tidak mempan oleh mantra itu sedangkan putri Way Gambas memiliki keterampilan khusus untuk bangun dari dalam alam mimpi.
Kemudian, putri Way Gambas melihat Sandanu dan Galigo yang bertarung. Dia menghentikan mereka dengan kekuatan pengendalian batu akik yang membuatnya dalam keadaan kritis. Maka dari kejadian yang diceritakan Mutia bahwa Galigo akan mencuri harta tanah Lampung untuk dibagikan pada rakyat miskin, Galigo dinyatakan bersalah.
Sandanu dan Mutia juga menerobos dalam keraton yang membuat kekacauan pun dinyatakan bersalah. Maka hakim akan memutuskan hukuman bagi mereka.
"Silakan ketua suku yang diagungkan sebagai hakim tertinggi memutuskan hukuman bagi mereka!" Juru Kasus mempersilakan ketua suku mengambil keputusan.
Ketua suku berdiri di hadapan semuanya. Dia mengenakan pakaian keagungannya dengan mahkota kopiah emas yang bertahta hiasan karangan bunga yang bulat ke atas dengan ujungnya yang beruji-ruji tajam. Wajah tegasnya sangat berwibawa dan kain putih yang dikenakan membuatnya bersinar dan menyematkan sulaman benang halus dilehernya yang menjuntai ke depan.
Tiga anak muda yang menjadi tersangka menundukkan kepalanya. Mereka akan mencoba menerima keputusan yang terbaik.
"Karena kalian tidak berasal dari tanah Lampung dan membuat kekacauan di keraton tanah ini, maka saya tidak bisa memaafkannya lagi. Andi Galigo yang datang dari negeri Dirga akan dihukum gantung depan alun-alun sedangkan Rakeyan Sandanu dan Cut Mutia yang berasal dari tanah Aceh, kalian akan dikembalikan ke tanah asalnya. Dengan ini, hukuman telah diputuskan."
Sebelum hakim mengetuk sebuah palu untuk persetujuan hukuman itu, di depan pintu pengadilan putri Way Gambas berdiri dengan berteriak lantang. "Batalkan!"
Semua orang tercengang dengan melihat kedatangan putri Way Gambas. Selama tiga tahun, tidak ada orang di keraton yang melihat tuan putrinya keluar dari paviliun Siger bahkan dengan pakaian keagungannya yang bermahkota siger.
Dengan tatapan ke depan, langkah kaki yang anggun, Way Gambas menghadap ayahnya. "Maafkan saya yang mengganggu proses pengadilan ini, tapi tidaklah akan berjalan pengadilan tanpa saya karena saya yang menanggung resiko sebagai korban dari kekacauan yang terjadi, karena itu pengadilan ini dibatalkan."
Ketua suku tersenyum melihat putrinya datang dengan kesopanan dan kewibawaan yang terpancar. Setelah tiga tahun mengurungkan diri, kini putri itu telah berubah. "Baik, akan dibatal pengadilan ini."
Mendengar suatu keajaiban yang datang dua kali di ruang pengadilan ini, Sandanu yang bahagia berdiri mengucapkan terima kasih pada putri Way Gambas. "Terima kasih untuk kebaikan tuan Putri terhadap kami." Sandanu menunduk sopan.
Mutia pun melakukan hal yang sama, tapi Galigo masih tersimpu dan menundukkan kepalanya.
Ketua suku langsung mengajak anaknya dan bertanya mengenai alasan dia menyelamatkan mereka. Ketiga anak itu benar-benar pemberani dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar. Dan lagi, Way Gambas ingin meminta sesuatu pada mereka mengenai impiannya.
Ketua suku mengajak putrinya ke bangunan bersantai di tengah kolam. Mereka lesehan bersama ditemani harum uap teh hijau di cangkir sebagai minuman. "Apa yang nikeu inginkan pada tiyan (mereka)?" ucapnya dengan bahasa Lampung.
"Tiyan bisa terbang apak dan nyak ingin terbang bebas di atas langit, jika tiyan bisa membawa nyak terbang ke atas langit, nyak akan ikut tiyan ke tanah Melayu." Way Gambas telah mengetahui rencananya.
Ketua suku lega mendengar hal itu, tapi dia pun menjadi penasaran dengan perkataan putrinya bahwa mereka jatuh dari langit saat datang ke keraton Skalabrak. Maka kemudian, ketua suku pun memberikan perintah memanggil mereka ke lapangan keraton untuk menunjukkan permintaan tuan putri Way Gambas.
***
Dalam hati Galigo sangat bersyukur tapi mengetahui permintaan tuan putri membuat dia bimbang. Apalagi Sandanu tidak akan memanggil temannya Malin Kundang karena dia mengaggap bahwa semua kesalahan yang terjadi akibat dirinya sendiri. Galigo tidak yakin akan melakukan teknik pengendalian batu akik sissi' naga di depan banyak orang, mengingat selama ini dia adalah pencuri yang selalu bersembunyi.
Dia sendiri masih penasaran dengan kekuatan Sandanu, dia sama sekali tidak bisa menandingi mantranya dan lengannya terluka oleh serangan Sandanu hingga dia mengikat lengannya itu dengan sobekan lengan bajunya. Jadi, sejak semalam, satu lengan baju Galigo disobek dan digunakan untuk menutupi lukanya.
Sejujurnya, melihat penampilan Galigo saat datang di pengadilan membuat Mutia terkejut karena semalam dia tidak melihat lengan kanannya yang tertutup tubuh sisi kiri. Sandanu sendiri tidak menyadari hal itu, dia tidak menanyakan tentang luka Galigo.
Sekarang, di lapangan keraton sudah berkumpul semuanya. Ketua suku duduk di singgahnya dan putri Way Gambas siap menerima permintaannya.
"Sekarang tunjukkanlah kemampuanmu hai anak muda dari negeri Dirga!" Ketua suku mempersilakan.
Sandanu berdiri bersama Mutia di sisi lapangan dan memperhatikan sekeliling yang sama penasarannya. Sandanu sedikit mengingat bayangan burung putih yang dinaiki Galigo sewaktu tabrakan dengan Malin Kundang. Tapi apakah yang dinaikinya itu burung?
"Baik, yang mulia ketua suku yang diagungkan!"
Galigo mulai memfokuskan aliran sastra dalam tubuhnya untuk bisa mengeluarkan kekuatan pengendalian batu akik. "Udara yang mengembang dengan kepakan sayap sang naga, batu sissi' naga bersinar," Galigo mengucapkan syair. "Naga angin datanglah."
Semua orang tercengang, Sandanu tidak percaya bahwa anak bermata sipit itu bisa menguasai syair yang mampu memanggil roh astral berbentuk seekor naga dengan dua kaki dan sayap seputih tubuhnya yang membentang. Tangannya terlihat lebih pendek dan memiliki sepasang tanduk di wajahnya yang juga memiliki mulut menjorong ke depan. Naga angin yang datang dari dunia roh batu akik.
"Dia begitu hebat," ucap Mutia kagum dengan kekuatannya sekaligus penampilannya.
Galigo meloncat di atas punggung naga. "Silakan tuan putriku naik," Galigo mengulurkan tangannya.
Dengan rasa cemas dan takut, Way Gambas menerima uluran tangan Galigo. Karena rasa keinginannya yang lebih tinggi, maka dia pun segera duduk di belakang Galigo dan memeluk badannya.
"Sawerigading, terbanglah tinggi menembus awan." Galigo memerintahkan naganya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading mulai mengepakan sayapnya dan dia meluncur tinggi ke angkasa. Way Gambas berteriak kencang, sekencang pelukannya pada Galigo. Dirinya merasa bebas dan terbang bagaikan burung. Dia ingin meninggalkan semua kesedihannya dan menatap dunia lebih luas lagi.
Ketua suku mendengar teriakan putrinya yang bahagia, istri tercintanya pun meneteskan air mata saat melihat anak kandungnya bisa berteriak senang sejak tiga tahun mengurungkan dirinya sendiri.
Sekarang Way Gambas akan membebaskan dirinya dari kurungan yang dia buat. Dia akan menerima permintaan dari Galigo ikut ke tanah Melayu sebagai hukuman dari ayahnya untuk Galigo dan Sandanu juga Mutia yang sudah menerobos keraton Skalabrak.
Mungkin dengan begitu, dia akan menemukan seseorang yang telah lama hilang dari hidupnya. Orang yang membuatnya merasa bersalah dan mengurung diri. Orang yang sangat dia rindukan. []