Senin sudah datang menghampiri dan ini adalah hari pertama Yuki memasuki sekolah setelah selesainya masa orientasi.
Yuki mendapat kelas 7.6 dengan kelas paling ujung.
Yuki duduk secara acak, ia memilih bangku yang cukup belakang, nomor 4 dari depan, ia hanya menempatinya secara acak, ntah siapa yang akan menjadi teman sebangkunya, itu hanya akan menjadi orang acak.
Sampai Hana datang dan mengatakan akan duduk dengannya, Yuki hanya mengangguk dan berfikir bahwa siapa yang sangka Hana akan satu kelas lagi dengannya dan mau duduk dengannya, tapi Yuki tidak ingin terlalu memikirkannya, alasan kenapa Hana ingin duduk dengannya tentu saja karena Yuki satu-satunya orang yang dia kenal di kelas ini.
Dulu saat ia SD, ia tidak pernah duduk satu bangku dengan Hana, walaupun ia pernah duduk berdekatan.
Pelajaran di mulai, kelas awal mereka hanya perkenalan dengan guru dan yang akan mengajar dan apa saja yang akan di ajarkan selama berada di kelas 7 ini, Yuki hanya mencatatnya dengan baik.
Bel istirahat berbunyi, Yuki keluar dari kelas menuju penjual minuman, Yuki tidak terbiasa membawa minum dari rumah, jadi ia hanya membelinya, Yuki membeli kopi yang biasa ia minum, hanya kopi saset biasa.
Saat Yuki kembali kekelasnya, di perjalanan Yuki berpapasan dengan Rico, karena Yuki memang sama sekali tidak memiliki kesan apapun, jadi ia hanya melewatinya seolah ia memang hanya orang random.
"Yuki."
Mendengar namanya di panggil Yuki hanya bisa terdiam dan menoleh, melihat Rico yang memanggilnya, ia sepertinya sedang bersama beberapa temannya.
"ya?" Yuki menjawab dengan alakadarnya.
"ke kelas?"
Yuki terdiam sejenak dan mengiyakan dengan ekspresi biasa yang mungkin jika untuk orang yang tidak mengenalnya, mereka akan berfikir Yuki adalah seseorang yang sangat sombong dan semacamnya.
"ya... kenapa?"
"nggak... nggak apa-apa..." Rico tampak canggung.
Yuki sangat bingung, di kehidupan yang lalu bahkan orang ini tidak pernah memandangnya, bahkan mungkin tidak tau bahwa ada Yuki di sekolah ini, tapi kenapa sekarang ia bicara dengannya?
Yuki menyedot minumannya dan mengangguk, mengucapkan salam seadanya dan pergi dari sana.
Masa orientasi sudah selesai, ia tidak perlu terlalu formal lagi.
Sepeninggalan Yuki, beberapa teman Rico bicara "wehhh kenapa? Suka sama dia?"
Rico masih melihat punggung kecil Yuki dari kejauhan.
"dia sinis banget, yakin suka ama dia?" tanya temannya yang lain.
"nggak, aku Cuma tertarik aja... dia dingin banget..."
Tidak bisa di pungkiri, Rico memang tertarik dengan Yuki karena selain Yuki adalah sosok yang sangat misterius, ia juga wanita yang memiliki aura yang sangat berbeda, ia memberikan kesan wanita dewasa yang cukup sexy.
Sebenarnya Yuki bukan alpha women yang selalu terlihat berpendirian dan ambisius juga memiliki aura sexy yang dewasa, namun memang Yuki memberikan kesan semacam itu, ia juga memang adalah wanita muda dan dewasa, bisa di katakan saat ini umurnya hampir menginjak 30 tahun, bagaimana mungkin ia tidak menjadi wanita dewasa?
Dulu saat Yuki seumur sekarang, ia sangat tidak percaya diri dengan penampilannya, ia akan berusaha menutupi apapun yang membuatnya tidak percayadiri, tapi sekarang bahkan ia sama sekali tidak perduli.
Yuki menduduki kursinya dan meminuk kopinya, ntah sejak kapan ia mulai meminum minuman semacam ini, walaupun sebenarnya Yuki bukan penggemar kopi yang kuat, tapi Yuki ingat setiap kemanapun ia pergi dan memesan minuman, ia selalu memesan kopi.
Yuki berkenalan dengan beberapa orang yang ada di sekitarnya, walaupun saat ini ia masih lebih sering berbicara dengan Hana. Hana bahkan bertanya kenapa ia tidak masuk ke sekolah yang sama dengan Difa dan Tya yang hanya di jawab seadanya oleh Yuki.
Ia juga menyimpan beberapa nomor ponsel teman sekelasnya yang sudah menjadi teman dengannya.
Yuki sebenarnya cukup ramah, hanya memang beberapa orang yang ada di kelasnya agak sedikit segan dengan Yuki, jika mereka tidak melihat Yuki berbicara ramah dengan Hana, mungkin Yuki akan sedikit kesulitan dalam berteman nantinya.
Selain itu ia juga sekelas dengan Ruby jadi ia cukup dekat dengannya, Ruby anak yang ntah kenapa sering sekali tersenyum, ia selalu tertawa di setiap kesempatan, Yuki ingat ia memang kenal baik dengannya, hanya karena mereka hanya berada di kelas yang sama saat kelas 7 membuat mereka berdua menjadi jauh.
"kalian udah ngerti?" seorang guru matematika sedang menerangkan di depan kelas.
Yuki ingat guru ini salah satu guru killer yang selalu di hindari anak-anak, Tidak ada anak yang menyukainya, saat Yuki baru memasuki masa SMP dulu, ia juga terkejut dengan adanya guru semacam ini.
Yuki agak kurang faham dengan apa yang di terangkan guru itu jadi ia mengangkat tangannya dan bertanya.
Soal yang sedang di jelaskan adalah aljabar, materi yang paling Yuki benci sejak dulu, karena itu ia bermaksud untuk mempelajarinya dengan baik saat ini.
Yuki tidak terlalu bagus dengan pelajaran menghitung seperti matematika, tapi saat ini ia cukup baik, di tambah dengan ia belajar dari kakak laki-laki Tya yang sangat pintar karena mampu memasuki universitas yang sangat bagus.
Ia merasa cukup beruntung.
"iya, kan tadi ini harus di beginikan dulu, biar dapat hasil dari y terus..." guru wanita itu terus menjelaskan dengan nada yang terdengar tidak sabar, sebenarnya Yuki faham kenapa guru ini seperti itu karena Yuki juga sama, Yuki bukan tipikal orang yang sabar saat mengajari seseorang juga, namun karena wanita ini benar-benar guru membuat anak muridnya sangat takut dan tidak ada yang berani bicara.
"udah ngerti neng?" tanya guru itu menatap Yuki.
"..." Yuki terdiam sesaat dan memutuskan untuk bertanya pada kakak laki-laki Tya saja nanti jadi ia hanya mengangguk sebagai balasan, ada beberapa hal yang belum ia mengerti walaupun itu hanya sebagian kecil.
Guru itu melanjutkan pengajarannya, semua sunyi dan tidak ada yang berani bicara, sedangkan Yuki hanya bisa menguap sama sekali tidak mengerti dengan apa yang di katakan guru di depan, kepalanya sakit jika ia terus-terusan berusaha untuk mengerti.
"Yuki ngerti nggak?" Hana bertanya pada Yuki yang saat itu sedang mencatat apa yang ada di papan tulis.
"nope..." Yuki.
"ihh kamu aja nggak ngerti, gimana aku ahhh..." Hana melanjutkan mencatat.
"hahaha..." Yuki tertawa kecil "gurunya galak, mau nanya jadi males..."
"iya kan... tadi kamu nanya aja jawabnya gitu, ada masalah apa si? Kan murid nanya wajar..." Hana menggerutu kesal.
Saat mereka sedang berbincang tiba-tiba guru di depang mengucapkan kata-kata penuh dengan kesinisan.
"pasti banyak deh yang masuk ke sekolah ini bayar, makanya pada bodoh... ini kan sekolah negri, seharusnya anak-anaknya pada pinter."
Yuki yang mendengar hal itu agak sedikit tersindir, di kehidupan yang lalu ia memang bayar untuk masuk ke sekolah ini karena nilainya tidak cukup.
"tuh kaya siapa tu tadi yang nanya, kamu bayar ya neng biar masuk sini, makanya nanya mulu."
Yuki hanya menatap datar guru itu, murid lain juga tidak ada yang berbicara.
Yuki menghela nafas menandakan ia sedang menahan emosinya "kalo saya boleh sombong, saya siswa dengan nilai terbaik yang masuk ke sekolah ini, ibu nggak tau?" Yuki memutar pulen yang ada di tangannya.
"ha? Emang berapa nilai kamu?"
"..." Yuki terdiam sebentar dan menimbang "29,8" pelajaran yang sangat mudah, di tambah Yuki belajar dengan baik saat masih SD, dia juga melakukan banyak sekali research untuk bukunya, bukan hal sulit baginya mendapat nilai segitu.
Semua yang ada di kelas itu terdiam, mereka semua tau bahwa Yuki memang yang terbaik di sekolah itu, namun saat pengumuman di masa orientasi kemarin, tidak di sebutkan berapa nilai yang di miliki Yuki.
Setelah beberapa saat keheningan guru itu kembali menjawab "kamu bayar berapa dapet nilai segitu?"
Semua yang ada di sana terkejut juga dengan pertanyaan guru itu, terutama Hana yang paling tercengang, Yuki adalah siswa teratas di sekolahnya, pemegang rank 1 sampai ia lulus dan guru di depannya bahkan memandang rendah Yuki?
Yuki menghela nafas, jujur saat ini Yuki sama sekali tidak ingin mencari masalah dengan guru di depannya, tapi, tidak kah ini keterlaluan?
"menurut ibu, kenapa sekolah di ciptakan?" Yuki mengembalikan pertanyaan.
Guru itu terdiam sejenak "ya, buat sekolah, biar orang bodoh kaya kamu jadi pinter."
"nahh... kalo gitu kenapa ibu protes karena ada yang tanya? Sekolah di ciptakan untuk membuat anak-anak menjadi berpendidikan, pintar, artinya selama kita adalah murid, kita semua butuh bimbingan karena pengetahuan yang kurang, lalu? Wajar kan kalo seorang murid bertanya? Konsekuensi jadi seorang guru kan?" Yuki melipat kedua tangannya di depan dadanya dan menyilangkan kakinya, ia tidak takut dengan konsekuensi mendapat pandangan buruk dari guru satu ini.
Guru semacam ini yang membuat Yuki bahkan ingin memuntahkan sarapannya, untuk apa kamu jadi seorang guru jika bukan mengajar muridnya yang tidak berpengetahuan?
"nggak semua murid akan langsung mengerti saat di jelaskan sesuatu yang rumit semacam matematika, saya Cuma mewakili murid lain yang mungkin sama nggak ngertinya tapi mereka takut untuk bertanya." Lagi-lagi aura dominan muncul dari tubuh Yuki dengan wajah datarnya.
Sungguh, Yuki sangat menjunjung tinggi kesopanan, tapi Yuki benar-benar ingin muntah di hadapkan hal semacam ini.
"kalo emang ibu nggak suka saya bertanya saat saya nggak ngerti, saya nggak merasa ada gunanya saya ada di sini...." lanjut Yuki.
Guru itu terdiam sejenak dan tampaknya dia akan marah karena merasa di dominasi "kamu berani sama saya? Kurang ajar kamu ya! Kamu nggak ada sopan santunnya sama orang tua!"
Yuki menghela nafas dulu sebelum menjawab "kurang sopan seperti apa yang ibu maksud? Jadi saya harus diam saat ibu menjelekan saya di depan murid lain? Apa nada yang saya keluarkan keras? Apa saya bicara kasar? Saya hanya membela diri saat ada yang mengatakan hal buruk tentang saya..."
"kamu kalo nggak suka sama ibu, keluar aja lah, nggak usah ada di kelas ibu!"
Yuki segera berdiri dan pergi dari sana, ia tidak merasa ada gunanya belajar bersama guru yang seperti itu, Yuki bahkan tidak menoleh saat keluar dari sana.
"anak nggak tau sopan santun!, emang dia selalu gitu ya? Udah bodoh, nggak sopan lagi, dari sekolah mana si dia?"
"dari SD xxx bu sama saya..." jawab Hana.
"kamu satu sekolah sama dia?" Hana hanya mengangguk "dia emang nggak sopan kaya gitu kalo sama orang tua?"
Hana terdiam sejenak dan menyusun kata-katanya, ia sangat mengenal Yuki dari ia kelas 1, walaupun mereka tidak dekat, tapi ia terkadang memperhatikan Yuki dari kejauhan.
"nggak ko bu, dia sopan banget sama guru-guru di SD, dia anak kesayangan guru-guru di sana, dia siswa atas dengan rank tertinggi di sekolah, dia selalu dapet nilai nyaris sempurna bahkan ada yang sempurna di semua mata pelajaran, dia selalu memikirkan orang lain dulu dari pada dirinya, dia nggak pernah nyontek sama sekali, dia berbakat di beberapa bidang, sisanya... dia bahkan lebih tertutup..." jelas Hana.
"saya nggak terlalu deket sama dia, tapi semua temen terdekatnya ada di SMP xx, mereka ada di posisi 2 dan 4 di sekolah." Itu semua yang Hana tau, mungkin jika harus di jelaskan dengan lebih detail, Tya dan Difa adalah yang terbaik yang bisa menjelaskan tentang Yuki.
"temen baiknya ada di sekolah unggulan, kenapa dia masuk ke sini?" tanya guru itu.
"saya nggak tau pastinya bu, saya udah tanya tapi dia Cuma jawab 'hanya ingin' gitu bu."
Guru itu tidak menjawab lagi dan hanya melanjutkan pelajarannya.
Yuki yang sudah keluar hanya duduk di tangga menuju lapangan sembari melihat ponselnya.
"kamu di keluarin?!"
"iya... heheheh..." Yuki membalas pesan dari kakak laki-laki Tya, Farhan.
"astaga... kamu nyari ribut sama guru di awal-awal masuk SMP? Nggak tau lagi deh kehidupan SMP kamu bakal kaya apa..."
Yuki menghela nafas sembari membalas pesan "yahh... Cuma 1 guru, it's no big deal..."
"nilai matematika mu tapi yang terancam..."
"yaa.... abis ni guru bikin emosi..."
"aturan mah kamu jangan tanya ke guru kaya gitu, kalo nggak ngerti tanya kakak aja..."
"ya, maunya itu, tapi pas aku lagi nyatet tadi dia ngatain aku bodoh lah, nyogok lah, dia fikir dia siapa?"
"dia guru..."
'che....' Yuki berdecih kecil dan membalas pesan "nggak usah di perjelas kak..."
"kamu ngapain di situ?" seorang guru yang kebetulan lewat melihat siswa sedang duduk di luar kelas saat jam pelajaran.
Yuki menoleh dan melihat seorang guru pria yang Yuki ingat sebagai wali kelasnya "saya keluar pak..."
"keluar? Kamu bolos ya?" tanya guru itu dengan wajah kesal.
"nggak ko pak... saya di keluarin..."
"kenapa di keluarin?" Yuki menjelaskan apa yang terjadi di kelas tadi, pria ini tau bahwa Yuki adalah murid terbaik yang masuk ke sekolah ini dan berada di kelas yang bimbingnya, ia juga terkejut dengan apa yang terjadi, ia tau tempramen guru matematika itu buruk, tapi tidak menyangka akan seburuk itu.
"haahhh....ya udah kamu masuk kelas aja dulu, nanti di bicarakan lagi..." ucap wali kelas Yuki.
"nggak mau..."
"kenapa?" guru itu heran.
"siapa yang mau masuk ke kelas semacam itu? Buat di hina lagi? Maaf aja pak, saya nggak merasa ada gunanya juga saya di sana, kan bu Tuti maunya ngajar murid genius..." sindir Yuki.
"hadeuuhh, kamu mau gimana sekarang?"
"terserah aja si mau gimana..." gumam Yuki.
"ya udah lah, nanti di omongin lagi, sekarang kamu ke ruang guru aja dulu mau? Daripada di luar..."
Yuki hanya mengangguk dan mengikuti wali kelasnya memasuki ruang guru, sesampainya di sana Yuki bisa melihat ruang guru yang sangat kecil, temboknya sebagian besar hanya terbuat dari kayu, lantainya pun tanah.
"kenapa pak?" tanya seorang guru yang Yuki ingat seorang guru dari pelajaran peminatan, tata busana.
"yahh ini lah, ada masalah sama bu Tuti, jadi di keluarin dari kelas." Wali kelas itu menjelaskan di dengar oleh beberapa guru yang tersisa di sana.
"wahh... rumit ni..." bahkan kepala sekolah ikut ada di sana "ya udah nanti di bicarakan baik-baik aja..." kepala sekolah itu bermaksud untuk mengambil jalan tengah, karena memang Yuki yang ada di depannya ini siswa terbaik, belum lagi sebelumnya banyak yang berebut agar Yuki masuk ke sekolah mereka dan ia cukup beruntung karena Yuki memilih ada di sini, Yuki bukan anak sembarangan.
"saya nggak terlalu perduli gimana hasil akhirnya, yang saya peduli gimana saya bisa belajar dan mendapat ilmu dari orang yang berkompeten... kalau sampai nilai saya nggak objektif...." Yuki menghentikan ucapannya.
"udah... tenang, yang sabar nak... ibu Tuti emang gitu... udah tua, wajar lah..." guru tata busana itu cukup baik dan menyenangkan, dia juga orang yang objektif dan tidak memihak.
"haahh..." Yuki hanya menghela nafas.
Setelah beberapa saat Yuki awalnya hanya duduk di sana sampai ia melihat buku fisika yang ada di meja seorang guru ipa, ia ingat juga dengan guru ipa ini, seorang wanita yang tidak galak dan cukup ramah, dia mengajar dengan cukup baik.