Beberapa tahun kemudian.
Yuki sudah berada di kelas 6, saat ini juga mereka sedang mempersiapkan ujian kenaikan kelas.
Yuki juga sudah membuat 7 karya yang dalam beberapa taun ini dan penghasilannya lumayan, ia tidak repot jika harus membayar untuk sekolahnya nanti.
Jika kalian fikir kehidupan karirnya berjalan lancar?
Ohh tentu tidak.
Ia punya beberapa judul lagi sebenarnya, sayangnya beberapa judul itu di tolak, tidak ada yang bisa di lakukannya, mungkin ia akan membuat blog untuk tulisannya yang di tolak, siapa tau ada yang mau membacanya.
Di kelas 6 ini, ia tetap berada di tingkat pertama di setiap nilainya. Ia sering belajar bersama dengan teman-temannya, mereka saling memberikan pelajaran, nilai mereka 4 teratas di antara teman-teman sekelas bahkan teman seangkatan, walaupun saat kelas 4 kemarin satu teman mereka –Mia- pindah ke sekolah lain dan mereka berakhir tidak melakukan kontak lagi.
Ia belum punya ponsel di umur segitu, baru kelas 6 ini ia memilikinya, bukan smartphone seperti yang ia miliki di kehidupan terakhirnya yang lalu, tapi cukup untuknya, ia juga bisa menggunakan internet pada ponselnya.
Cukup baik.
Ia membelinya tentu dengan uang yang dimilikinya. Ia cukup memiliki banyak uang untuk saat ini, tidak seperti di kehidupan yang sebelumnya, ia harus mengumpulkan uang dari pemberian saat taun baru dan acara-acara besar lainnya.
Mia juga bukan hanya pindah sekolah tapi juga pindah rumah membuat mereka semakin jauh. Yuki tidak memperasalahkan hal itu.
Di kehidupannya yang lalu saat ia seumuran saat ini, ia sangat tidak menyukai Mia. Alasannya karena, Mia adalah anak yang sangat mudah menangis dan sangat suka mengadu pada ibunya, dulu ia sangat tidak menyukai sifat seperti itu.
Sekarang, Yuki tidak terlalu perduli dan mewajarkan hal itu, Mia masih anak-anak, wajar sangat suka mengadu dengan ibunya jika terjadi sesuatu, juga jika ada yang mengganggu sangat wajar ia akan menangis.
Jadi sekarang ia tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh, bagi Yuki tidak ada kesan dengan temannya itu, ntahlah dengan Mia, apa ia memiliki kesan dengannya atau tidak, Yuki tidak terlalu perduli.
Walaupun Mia pergi, saat kelas 5 SD kemarin mereka mendapat teman baru lagi yang Yuki ingat bernama Vinka.
Selai itu banyak hal yang berubah saat kelas 5, Difa berpisah kelas dengan Yuki dan juga Tya, masuk ke kelas yang sama dengan Vinka yang saat itu masih menjadi anak baru di sekolah itu, walaupun berpisah di kelas 5, mereka kembali berada di kelas yang sama pada saat kelas 6.
Walaupun mereka duduk berjauhan saat ini, Yuki tidak telalu perduli dengan hal ini, tapi Difa sempat merengek tentang hal ini, bahkan Yuki tidak bisa berbuat banyak.
Yuki duduk dengan teman lain yang seingatnya baru kali ini mereka berada di kelas yang sama, jadi ia bahkan tidak terlalu mengenal anak ini sebelumnya, tapi karena kehidupan yang lalu ia ingat anak ini cukup sering bermain dengannya saat kelas 6.
Di belakangnya ada Fia, ia ingat di kehidupan masalalunya ia sering bermain juga dengannya saat kelas 6, di sebelah Fia ada Aji, selalu sekelas dengannya, jadi ia tidak ingin membahasnya dan lagi ia mengingat kejadian di kehidupannya yang lalu tentang anak laki-laki ini, tidak ada yang bagus tentang bocah ini.
Mengingatnya membuat Yuki ingin muntah, tapi bahkan Yuki berusaha untuk tidak mengiangat apapun tentang bocah menyebalkan ini.
Mengingat bocah laki-laki di belakannya ini, ia jadi teringat dengan Vinka.
Hubungan Yuki dan Vinka tidak bisa di katakan bagus, namun juga bukan sesuatu hal yang buruk, mereka hanya pernah bertengkar saat kelas 6 yang bahkan hanya karena masalah sepele.
Mereka mengatai satu sama lain dengan kasar dan akhirnya bertengkar.
Menggelikan bukan?
'haahhh, nggak ada yang bagus berteman dengan bocah-bocah menggelikan ini.' Yuki hanya bisa menghela nafasnya dalam hati.
Ia ingat ia memiiki banyak sekali bocah yang tidak menyukainnya, ntah karena apa, bagaimanapun juga seorang bocah bisa tidak menyukai sesuatu hanya karena alasan yang tidak masuk akal.
Siang itu, Yuki dan juga temannya yang berada di kompleks yang sama pulang bersama seperti biasa.
"Yuki, hari ini mau main?" tanya Vinka.
"nope, ada pr yang harus di kerjain." Yuki tidak ingin terlalu dekat dengan anak ini sebenarnya, tapi mereka berada di perumahan yang sama, jadi ia tidak bisa menghindarinya.
"ohh, iya ya, ngerjain bareng yu." Tya mengajak Yuki, Yuki hanya mengangguk sebagai balasan. Difa hanya diam karena sudah jelas ia akan secara rutin datang ke rumah Yuki untuk mengerjakan tugas bersama, ini sudah menjadi rutinitasnya bersama Yuki sebelum akhirnya setelah mengerjakan tugas mereka akan bermain.
Difa selalu ingat Yuki bukan anak yang energik, sejak dulu ia selalu ingat Yuki bahkan tidak suka berlarian atau bermain di luar ruangan, setiap kali ia mengajaknya Yuki akan menolak dan bilang 'di luar panas.' atau 'males, mending kita tidur siang aja yuk, ngantuk.' Difa sangat hafal dengan jawaban semacam ini.
Vinka yang tadi mengajak mereka bermain dan mendengar jawaban mereka hanya terdiam.
Bukan berarti ia tidak memperhatikan Vinka saat ini, karena ia merasa kasihan dengan bocah ini jadi ia mau tidak mau mengajaknya, toh setelah mengerjakan tugas mereka memang terbiasa bermain bersama.
Walaupun jika Yuki terkadang ketiduran saat mereka bermain. Gimanapun juga yang bermain adalah Difa, Tya dan Mia saat masih ada dulu, Yuki hanya akan mengawasi sembari sesekali menanggapi ocehan bocah mereka.
"Vinka mau ikut?" Yuki bertanya.
Vinka yang mendengar ajakan itu tentu saja senang walaupun mereka berbeda kelas sebenarnya ia ingin dekat dengan Yuki dan juga Tya, mereka berdua murid teratas di sekolah mereka, nilai mereka selalu bagus.
Di matanya, Tya adalah tipe yang lurus, ia hanya akan memikirkan pelajarannya, bahkan jika di tanya ia memiliki cita-cita apa, ia tidak akan menjawab apa itu dan hanya berkata 'belajar aja dulu, sekarang jalanin yang ada di depan mata dulu.'
Sedangkan Yuki adalah tipe orang yang jauh tidak peduli dengan arah dan tujuan, ia orang yang bebas dan berwawasan, ia sangat mengagumi Yuki, ia memiliki pemikiran yang dewasa dan orang yang sangat tenang, ia cenderung tidak akan peduli dengan apa yang akan di katakan orang lain tentangnya dan sangat sulit untuk di tebak jalan fikirnya.
Itu yang ia fikirkan tentang dua orang murid terbaik di sekolahnya, ia sangat ingin dekat dengan mereka berdua.
Difa tentu juga salah satu murid dengan peringkat di atas, namun ia bahkan tidak bisa mencapai 3 besar, ia kalah dengan 1 murid laki-laki yang sangat pintar, jadi ia hanya bisa berada di peringkat 4.
"aku boleh ikut?" tanya Vinka yang merasa tidak sepantasnya untuk ikut karena ia memang bukan berasal dari kelas yang sama dengan mereka, di tambah mereka akan mengerjakan tugas, bukan bermain. Ia kesal kenapa ia tidak berada di kelas yang sama dengan mereka.
Jika Vinka bertanya-tanya tentang itu dan berfikir memang ia hanya di letakan di kelas guru kelas A maka Yuki tau yang sebenarnya terjadi.
Alasan kenapa Vinka ada di sana dan berpisah dengan yang lain sebenarnya adalah karena permainan di dalam saja, guru kelas A hanya menginginkan murid yang pintar dan kaya, sebenarnya termasuk Yuki, Tya dan Difa, namun sayangnya ibu Yuki hanya ingin anaknya belajar dari guru kelas B yang menurutnya lebih proper dalam mengajar dan tentu saja jika Yuki di atur di dalam kelas B maka ibunya akan meminta Tya dan Difa untuk berada di kelas yang sama.
Bagaimanapun ibunya adalah wali murid yang di segani di sekolahnya, ibunya sangat dekat dengan guru-guru dan juga kepala sekolah karena kakaknya juga berada di sekolah yang sama jadi ibunya sudah cukup lama kenal dengan guru-guru, ibunya juga sangat baik. Walaupun di mata Yuki itu lebih seperti menjilat guru-guru.
"kenapa nggak boleh?" Yuki menatap Vinka dengan tatapan datarnya yang biasa.
"yaa... kan aku beda kelas sama kalian." Vinka hanya menjawab dengan nada yang sedikit sedih.
Yuki menghela nafas dan kembali menatap kedepan "ada gitu peraturan nggak boleh dateng kalo beda kelas?" nada yang di keluarkan terdengar malas.
"yaa... nggak si... tapi kan-" Ucapannya terpotong.
"kalo mau ikut ya ikut, nggak ya nggak." Yuki tidak terlalu suka dengan basa-basi.
"hahaha, jadi kamu mau ikut apa nggak?" kali ini Difa yang bicara, ia hafal dengan Yuki.
"mau..." Vinka.
"ya udah dateng aja, Yuki juga nggak akan ngusir kamu ko kalo kamu udah bilang dulu mau dateng." Tya berucap santai.
Memang benar, Yuki juga memiliki beberapa kegiatan, apalagi ia juga memiliki kegiatan baru setelah ia memutuskan untuk berhenti les piano, ia beralih menjadi les vokal.
Bukan berarti ia berhenti dan bosan dengan piano, ia masih sangat menyukai piano, apalagi ia sangat menyukai pianonya yang cantik dan mendapat banyak penghargaan dari itu semua, tapi selain karena pelatihnya harus pindah ke tempat yang jauh Yuki juga hanya perlu melatih sendiri musik yang ingin di mainkannya, juga jika masih ingin berlatih piano artinya ia harus mengganti pelatihnya, ia tidak menginginkannya jadi ia memutuskan untuk berlatih yang lain sekalian, jadi ia memilih vokal.
Walapun ibunya berencana memberhentikan sementara kegiatan Yuki nanti saat persiapan kelulusannya. Ia sudah cukup lama berlatih vokal, mungkin sekitar 2 tahun.
Sesuai dengan janji yang mereka buat, saat ini mereka berkumpul di rumah Yuki untuk mengerjakan tugas. Selesai mengerjakan tugas mereka lanjut bermain.
"ihh kamu ada piano ya?" Vinka mendekati piano putih yang sangat bersih dan indah, Yuki sangat menyayangi pianonya tentu saja ia akan merawatnya, Vinka baru pertama kali ke rumah Yuki jadi ia baru melihatnya.
"kamu bisa maininnya?" Vinka bertanya dengan antusias. Ia merasa semakin mengagumi teman seangkatannya ini.
"bisa."
"mau liat kamu main dong..."
Yuki menatap pianonya dan mendekatinya, ia duduk di kursi pianonya dan memainkannya dengan nada yang indah, ia hanya memainkannya dengan singkat karena ia sebenarnya sedang tidak dalam mood untuk memainkan sesuatu yang rumit.
"ihh keren, ajarin aku dong..." Vinka juga ingin bisa bersaing dengan salah satu murid terbaik di sekolahnya tapi ia bahkan tidak bisa memainkan satupun alat musik karena ia pun juga tidak tertarik dengan musik awalnya.
"kursus aja, aku nggak bisa ngajarin orang." Yuki menjawab dengan singkat.
"kan kamu bisa, masa nggak bisa ngajarin aku..." Vinka agak sedikit memaksa.
"ya Yuki aja kursus udah lama banget, aku udah pernah belajar juga dari Yuki, tapi nggak bisa-bisa, belajar piano nggak semudah yang kamu fikirin Cuma mencet-mencet doang." Sejujurnya Difa agak sedikit kesal dengan temannya ini, ia tau Yuki bukan tipikal orang yang bisa mengajari orang lain dan ia ingat Yuki bukan orang yang mau melakukan sesuatu semacam mengajar dengan suka rela tanpa imbalan apapun.
Ia ingat dulu ia pernah merengek pada Yuki karena ingin bisa bermain piano juga, tapi sesuai dengan apa yang di katakan Yuki saat itu, tidak semudah yang di lihat orang.
Vinka hanya terdiam mendengar Difa, ia juga kesal, memang kenapa jika ia ingin belajar dari Yuki? Vinka bahkan berfikir jika Difa iri dengannya yang bisa bermain piano juga jika ia di ajari oleh Yuki.
Kenyataannya Yuki memang tidak suka mengerjakan sesuatu yang tidak ada untungnya, dia bukan orang yang baik, bukan juga orang yang jahat, selama ini, bahkan di kehidupan terkhirnya, ia selalu menjadi seseorang yang berada di tengah-tengah.
Tidak jahat, tidak juga baik.
"Difa bener, aku nggak tertarik ngajarin orang, nyusahin..."
.
.
.
Bel berbunyi, tanda kelas akan di mulai usai istirahat.
Fia memasuki kelas dengan wajah tertekuk, Yuki dan Mutia melihatnya.
Seperti biasa Yuki hanya akan mendengarkan, jujur ia ingat dengan apa yang akan terjadi, pasti berhubungan dengan Vinka.
"ehh Fia kamu kenapa?" Mutia.
"itu tu si Vinka tu nyebelin banget." Fia melanjutkan ceritanya panjang lebar, Yuki dan Mutia hanya mendengarkan.
"jadi males ihh temenan sama Vinka"
Yuki mengangkat bahu dengan acuh 'masalah anak-anak...' jika di kehidupan masalalunya ia termakan dengan profokasi Fia, maka sekarang bukan hanya ia tidak peduli, ia juga tidak ingin mendengarnya.
Yuki sudah menduganya, berteman dengan mereka ini bukan sesuatu yang bermanfaat.
"udah lah, sabarin aja, namanya juga anak-anak, ngalah aja lah..." Yuki akhirnya menjawab dengan acuh, bagaimanapun juga ia berusaha membuat circle yang baik untuknya, walaupun ia sendiri juga tidak yakin apa ia mampu mempengaruhi orang lain.
"ihhh nggak bisa! Si Vinka ni udah nyebelin banget!"
"haha..." Yuki hanya bisa tertawa hambar dan tentu saja menghela nafas dalam hati.
Yuki tidak ingin ikut campur lagi dengan masalah ini, jika masalah ini terus berlanjut, ia tau masalahnya tidak akan selesai dengan cepat bahkan akan semakin parah, di kehidupan sebelumnya, Yuki sampai harus di panggil kepala sekolah karena hal ini.
Mengingatnya membuat kepala Yuki sakit dan mual karena jijik.
'haahh, sudah lah.. kalo nggak bisa di kasi tau, jangan salahin aku kalo masalah ini nggak selesai-selesai sampe lulus, eww...'
"udah lah kita jangan main lagi sama Vinka, dia nyebelin banget."
Seperti yang sudah di duga Yuki, pasti ujungnya adalah 'jangan temenin' tipikal pertemanan masa SD.
"kenapa si? Kalo kamu gitu terus nanti gantian lho kamu yang bisa nggak punya temen, yaa... aku si sekedar ngasi tau aja." Yuki menggambar sosok karekter pria tampan berambut panjang dengan dengan jubah merah sewarna daun maple, karakter kesukaannya.
"ihh kamu belain dia?"
"nggak, aku ngasi tau ke kamu doang, ya terserah kamu si, aku nggak larang kamu buat musuhan sama orang... tapi yaaa..." dari pada ngurusin urusan bocah yang nggak akan ada habisnya, ia akan lebih tertarik dengan karakter tampan favoritnya. Sebenarnya karkater ini belum ada saat ini.
"kamu tetep temenan sama Vinka?"
"...." Yuki menatap bocah di depannya dan terdiam sejenak.
Jika bukan orang yang benar-benar di percaya, Yuki bahkan hanya akan mau mengenal mereka saja, bagaimana dengan bocah-bocah ini yang mungkin saat ini mereka bermain bersama tapi keesokan harinya saat dekat dengan anak lain mereka akan membicarakan keburukan satu sama lain.
mana bisa Yuki percaya dengan bocah semacam ini.