"ibu sama sekali nggak nyangka Yuki yang pendiem ikut terlibat juga..." seorang wanita yang di ketahui Yuki seorang kepala sekolah menatap Yuki dengan tatapan menilai dan menghakimi.
Yuki hanya menatap datar orang-orang yang ada di sini, tatapan datarnya bahkan bisa di katakan sangat mengintimidasi. Di matanya tersimpan kekesalan dan jijik yang teramat sangat.
'emang siapa yang ngatain siapa?! Siapa yang berantem siapa yang di salahkan?! Ugghh mau muntah...' bahkan Yuki yang sudah lama sekali tidak mengumpat dan berbicara kasar di dalam hatinya saat ini hanya ada kata-kata toxic.
"kamu tau nggak? Kalo mama mu tau kamu kaya gini, kamu bisa di marahin." Lanjut kepala sekolah.
"kamu udah ngatain anak saya apa? Cewek murahan, emang kamu tau artinya apa? Ha? Coba artinya apa?" ibu Vinka mengoceh.
Yuki mendengar apa yang di katakan mereka dan hanya terdiam karena jika ia mengatakan sesuatu akan di anggap tidak sopan, Yuki walaupun di dalam hatinya sudah berucap toxic sedari tadi masih menghargai mereka dan menjunjung tinggi kesopanan terutama pada orang yang lebih tua.
"nggak bisa jawab kan kamu? Nggak tau artinya aja ngatain orang, kamu tu anak pembawa sial!"
Dulu Yuki hanya terdiam saat orang ini mengatakan hal itu, tapi saat ini Yuki adalah wanita dewasa dan bukan anak-anak yang akan terintimidasi dengan kata-kata ini.
Yuki yang tadinya menatap kepala sekolah berbalik menatap ibu Vinka dengan tatapan mengintimidasi dan juga sinis.
"ibu siapa berani ngomong gitu? Ibu saya ngajarin saya berperilaku sopan dan adil bukan untuk di katai seperti itu sama orang yang bahkan nggak saya kenal."
Yuki tersenyum sinis, tanpa menunggu ucapan ibu Vinka atau kepala sekolah.
"cewek murahan, tu cewek yang menjual dirinya demi uang, saya nggak bodoh sampai saya nggak tau artinya dan mana buktinya saya ngatain anak ibu kaya gitu? Ada bukti nggak saya memprovokasi Aji buat berantem sama Vinka? Sebelum nuduh cari tau kebenarannya, kalo ibu bahkan nggak bisa mendapatkan buktinya...."
Yuki mengambangkan ucapannya.
"ehh kamu berani?! Kamu tau nggak kamu tu bisa masuk penjara gara-gara ini!"
"dan ibu fikir saya takut?" ibu Vinka terdiam mendengar ucapan Yuki, kepala sekolah maupun ibu Vinka terkejut dengan keberanian dan aura intimidasi yang di keluarkan anak perempuan yang bahkan memiliki tubuh yang sangat kecil.
"jangan di fikir saya buta hukum, saya belajar hukum juga, walaupun nggak mendalami saya tau... saya masih di bawah umur apa lagi ini hanya masalah sepele, ibu mau keluar uang berapa buat menjarain saya? Ibu bahkan nggak tau kemampuan saya..." Yuki pernah melakukan research tentang hukum untuk bukunya, jadi ia tidak terlalu buta hukum.
Yuki menyilangkan kakinya, roknya terangkat hingga pahanya, memperlihatkan kaki mulusnya yang berwarna putih kekuningan, tangan kanannya menopang pipinya dengan kepalan tangan sedangkan tangan kirinya berada di sandaran tangan, jarinya mengetuk dengan nada pelan, tanda saat ini Yuki sedang memberi mereka penilaian dengan matanya yang tajam.
Yuki memang memiliki wajah sinis sejak lahir jadi jangan salahkan Yuki jika ia bisa mengintimidasi orang tanpa melakukan upaya ekstra.
Yuki beralih menatap kepala sekolah.
"mama saya menganggap anaknya adalah segalanya, sama dengan ibu Vinka, mama saya nggak akan nyalahin saya apa lagi karena masalah yang bahkan saya nggak ada ikut campur... yang ada... malah..." nada itu sangat tenang dan mengancam, nafasnya teratur, matanya berkedip tenang, bibirnya tersenyum tipis.
Ibu Vinka yang sudah ingin mengatakan sesuatu namun di dahului oleh kepala sekolah.
"siapa bilang? Mama kamu bakal marah." Ucap kepala sekolah itu berusaha mengancam Yuki yanng tentu saja gagal.
"mau taruhan? Kalo benar mama saya marah ibu bisa keluarin saya dari sekolah, kalo saya yang benar... jangan salahkan saya....." jemari lentik Yuki mengetuk sandaran tangan dengan tempo lebih pelan.
Mereka tidak tau dengan siapa mereka berurusan.
Mereka bahkan tidak tau di mana dunia Yuki saat ini.
"udahlah, nggak usah sampai taruhan..." kepala sekolah mengalihkan tatapannya tidak berani menatap Yuki "intinya jangan sampai mama mu tau, kalo sampe tau masalah ini jadi makin panjang." Terlihat jelas sebenarnya wanita itu takut dengan ibu Yuki.
"sekarang gimana ibu mau menyelesaikannya?" kepala sekolah beralih pada ibu Vinka yang melaporkan masalah ini.
"saya mau mereka minta maaf ke anak saya." Ibu Vinka menjawab dengan nada yang sinis.
"nah dengerkan kalian? Sekarang panggil Vinka ke sini dan kalian harus minta maaf." Perintah kepala sekolah.
Yuki yang mendengarnya mendadak menjadi bertambah kesal, padahal ia benar-benar tidak ingin memperpanjang masalah tapi sepertinya mereka benar-benar tidak ingin ia hidup dengan tenang.
Vinka datang tidak lama setelahnya.
"nah sekarang kalian minta maaf." Kepala sekolah memberi perintah.
"saya menolak." Yuki berucap dingin.
"kamu! Padalah saya udah berbaik hati kamu cuma perlu minta maaf!" ibu Vinka lagi-lagi memuncak.
"meminta maaf atas apa yang tidak saya lakukan? Anak ibu dan teman-temannya juga udah ngatain saya, saya diam selama ini jangan di fikir saya nggak tau." Yuki beralih menatap Vinka "aku nggak tau ya kamu ada dendam apa ato apapun itu, aku nggak pernah sekalipun ngatain kamu, aku bahkan nggak perduli kamu ada ato nggak, tapi kamu bahkan ngatain aku sama temen mu yang lain, aku nggak tuli ya sampai aku nggak tau."
Yuki beralih lagi pada Fia "aku selalu bilang ke kamu, kalo kamu emang nggak suka sama satu orang ya nggak usah di temenin, kamu tetep aja di ladenin, aku sama Mutia jadi ke seret di sini, bahkan kami nggak ikut ngatain."
Akhirnya sampai matanya menatap Aji dengan tatapn jijik "kamu yang berantem, kamu ikut ngatain dan kamu nyeret orang lain? Kamu cowok? Aku nggak tau mama mu ngajarin apa ke kamu, tapi mukul cewek? Kamu punya otak nggak?"
Yuki bangkit "aku nggak akan minta maaf, ini masalah kalian, berani banget kalian nyeret aku masuk ke masalah menjijikan ini... aku udah tau dari awal bergaul sama kalian tu nggak ada untungnya malah bawa masalah, makanya dari awal aku bahkan nggak pernah sekalipun nganggep kalian temen baik, ugghhh bikin mau muntah aja..."
"Yuki...."
Yuki menoleh ke arah pintu begitu pula dengan yang lainnya, di sana ada Difa dan Tya.
"kalian ngapain ke sini?" tanya kepala sekolah dengan nada yang sedikit kesal, masalah ini bisa makin panjang jika Yuki melaporkannya ke ibunya.
"saya khawatir sama Yuki bu, dia kan nggak salah apa-apa, kenapa dia bisa sampe di panggil?" Difa berucap kesal.
"apanya yang nggak salah, anak pembawa sial ini udah ngatain anak saya! Kamu mau jadi anak pembawa sial juga?!"
Yuki menatap ibu Vinka dengan tatapan tajam dan sarat akan amarah, ia berusaha sabar karena tidak ingin berlaku impulsif. Ibu Vinka tanpa sadar mengalihkan tatapanya dari tatapan menusuk Yuki.
"wah wah wah...." Yuki mengambil gelas berisi air di atas meja dan menyiramnya ke wajah ibu Vinka "anggep aja ini karena udah bentak teman saya..." Yuki maju mendekati Vinka dan menamparnya yang bahkan itu tidak sampai setengah kekuatannya "ini untuk ngatain saya anak pembawa sial yang bahkan saya tidak melakukan salah apapun."
Semua yang ada di sana membatu, tidak menduga hal ini bisa terjadi, sedangkan Vinka sudah menangis dan merasa panas pada pipinya.
"saya bukan orang yang impusif, tapi kalian yang memaksa saya... jangan salahkan saya..." tatapan sedingin es menerpa mereka "saya tetap tidak akan minta maaf karena saya tidak bersalah, anak-anak satu angkatan saya mengejek saya karena mereka berfikir saya berada di satu kubu dengan Fia yang memang memusuhi Vinka, tanya aja sendiri ke mereka apa masalah yang di miliki mereka, saya nggak ada hubungannya, udah salah ngatain orang sekarang malah playing victim."
Yuki berbalik ingin pergi dari ruangan yang menjijikan itu "jangan di kira masalah ini selesai... saya akan bilang masalah ini ke orang tua saya... saya butuh ke adilan" Yuki beranjak dari sana.
Difa dan Tya bahkan masih berdiri di sana "haha... Yuki adalah orang yang paling tenang yang pernah saya temui, dia pemaaf dan penyabar, dia juga adil, setiap ada orang yang ngatain dia dan bahkan mengatakan keburukan yang nggak mendasar, sebenernya saya mau melempar orang-orang itu, tapi Yuki selalu bilang untuk tidak ikut campur." Ucapan Difa terdengar sangat jelas.
"... yahh... siapa yang sangka akhirnya akan gini." Tya yang selama ini juga diam hanya bisa menghela nafas melihat masalah yang akan dihadapi Yuki sepertinya tidak akan berakhir begitu saja.
"ini tu karena Fia udah nyeret-nyeret Yuki dan Vinka bahkan juga ikut ngatain Yuki Cuma karena Yuki sering bergaul sama mereka, jadi lah Yuki di katain satu angkatan yang bahkan Yuki nggak kenal mereka Cuma karena mereka belain Vinka." Difa terdengar kesal.
"kamu terlalu belain Yuki." Kepala sekolah menghela nafas, setelah ini ia harus bersiap dengan masalah baru lagi.
"jelas kan... saya udah kenal Yuki dari TK, saya tau dia orang seperti apa." Difa menyelesaikan ucapannya "saya mau kembali ke kelas dulu, permisi."
Mereka berdua pergi dari ruangan itu segera, ntah apa lagi yang mereka bicarakan yang pasti sekebalinya Fia, Mutia dan Aji, Yuki bahkan tidak mau melihat mereka.
Keessokannya benar saja ibu Yuki datang dan melabrak kepala sekolah, ia memarahi habis-habisan kepala sekolah, bahkan Fia dan Aji tidak lepas dari omelan walaupun tidak dengan nada yang kasar dan akhirnya ibu Yuki menyuruh wali kelas Yuki untuk memindahkan Yuki ke bangku yang sama dengan Tya.
Tya duduk di sisi kursi yang yang berseberangan dengan Mutia, ia sendiri yang bergeser saat Yuki ingin menduduki tempat itu.
"kamu di sini aja." Gumam Tya. Yuki hanya mengangkat alisnya. Siapa yang sangka Tya bisa jadi anak yang perhatian.
MK
Ibu Yuki juga datang ke rumah Vinka dan bertengkar dengan ibu Vinka yang sudah berani mengatai Yuki dengan kata 'anak pembawa sial'.
Heyy, ia sudah menjaga putrinya dengan baik dan mengajarkan tatakrama yang baik, anaknya tidak akan berlaku impulsif tanpa alasan.
"jaga tu anak ibu, anak saya jadi di katain satu sekolah gara-gara anak ibu! Gimana si, udah salah malah ngerasa jadi korban."
Mereka sempat beradu mulut walaupun berakhir di lerai oleh ayah Vinka dan berakhir tidak ada yang meminta maaf karena menganggap semua impas.
Yuki bisa kembali ke kehidupan yang normal apa lagi sebetar lagi try out akan di mulai, ia harus fokus dengan pelajarannya walaupun ia tetap menulis dan bermain piano saat waktu kosong.
Ibunya juga tidak mengijinkannya bermain dengan anak-anak lain selain Difa dan Tya, walaupun tanpa di beri tau pun Yuki juga akan melakukannya.
Setiap pulang sekolah juga mereka datang ke rumah Tya untuk belajar bersama kakak tertuanya dan tanpa terasa mereka akan mengadakan ujian kelulusan.
Yuki cukup percaya diri dengan kemampuannya karena nilai Try out ia tetap berada di posisi satu.
Yuki tetap bukan anak yang menyukai belajar, ia hanya berusaha agar ia tidak mendapat nilai jelek, bukan berarti ia terus menerus belajar seperti anak kutu buku.
Benar saja, ujian itu tidak sulit, terbilang mudah.
Yuki bahkan adalah lulusan terbaik tidak ada nilai di bawah 90 jadi ibunya mulai bertanya di mana Yuki akan meneruskan.
Sebenarnya ibu Yuki sudah berfikir memasukan Yuki ke SMP favorit, di sana juga ada Tya yang akan mendaftar, tapi sayang sekali, Yuki tidak ingin merubah alumninya dari kehidupan masa lalunya, jadi Yuki hanya akan memilih sekolah negeri yang bahkan baru di bangun, membuat Yuki berada di angkatan ke 2.
Sekolah itu tidak memiliki fasilitas yang bagus, bahkan di sana tidak ada ruang guru, sangat menyedihkan, ruang guru di sana hanya berupa gubuk.
Sedangkan Tya dan juga Difa bersekolah di sekolah yang sama, nilai mereka berada di bawah Yuki, namun mereka juga bukan kelas rendah, tentu saja bisa masuk kesekolah unggulan itu dengan mudah.
Di kehidupan yang lalu Difa tidak bersekolah di sekolah unggulan yang sama dengan Tya karena nilai yang tidak mencukupi, bahkan ia tidak bisa masuk ke SMP yang sama dengan Yuki.
Yuki jadi berfikir, sampai mana efek kupu-kupu ini akan berlangsung?