Chereads / Rebirth : New Life / Chapter 14 - Chapter 14 : argumen

Chapter 14 - Chapter 14 : argumen

Ibunya menghela nafas sejenak.

Well, ini bukan sesuatu yang buruk memang, karena Yuki mereka mendapat uang tambahan, di tambah dengan ia bisa menyimpan dulu uang itu untuk nantinya menjadi biaya sekolah Yuki dan kebutuhannya.

"Yuki, mama nggak mempermasalahkan kamu mau bikin buku, tapi kamu kan masih kecil, kamu masih sekolah dan tugas kamu Cuma belajar, kamu nggak usah lagi bikin kaya gini besok-besok." Ucap ibunya memberikannya pengertian yang menurut Yuki tidak masuk akal.

Jika nilai Yuki bermasalah, wajar jika ibunya bicara seperti itu, tapi bahkan nilai Yuki tidak pernah jelek, nilainya selalu bagus dan memang tidak ada masalah dengan sekolahnya.

"ya ini makanya aku nggak pernah mau cerita ke mama, apa si yang pernah mama setujuin kalo aku mau ngelakuin sesuatu? Toh nilai ku selama ini ok aja, jadi nggak ada masalah sama cara ku belajar sekarang, aku nulis juga bukan sesuatu yang mengganggu, aku misahin waktu, kapan aku les piano, kapan aku belajar dan ngerjain pr, kapan aku nulis, jadi bukannya nggak apa?" Yuki menjelaskan panjang lebar.

Ibunya hanya menatapnya sembari berfikir, ia tidak terlalu suka dengan anaknya yang masih kecil namun sudah berfikiran dewasa. Ia berfikir seharusnya jika anak-anak harus bersikap seperti anak-anak, ia juga tidak seharusnya berfikiran lain karena tugas anak-anak yang hanya belajar dan bermain.

"mama nggak suka kamu mikirin hal lain kaya gini, tugas kamu tu Cuma belajar sama main bareng temen, kenapa kamu malah nyari duit? Nyari duit itu tugas papa, kamu fokus aja sama sekolah kamu."

Jujur mendengar ini Yuki agak kesal, bukan agak kesal lagi, tapi memang rasanya Yuki benar-benar ingin marah, Yuki bahkan sudah tidak bisa mengkontrol ekspresi polosnya lagi.

"nyari duit? Aku suka nulis, kalo memang tulisan aku bisa menghasilkan duit kenapa nggak? Apa yang salah dari itu? Kalo mama sama papa emang nggak mau pake uang itu, ya biar aku aja yang pake, mama nggak usah repot-repot lagi nyimpen duit buat biaya pendidikan aku, kalo aku butuh fasilitas aku bisa beli sendiri, bukannya mama sama papa jadi nggak usah khawatir aku bakal kekurangan?" Yuki benar-benar tidak habis fikir dengan jalan fikir ibunya, tidak heran kenapa walaupun umur Yuki sudah 23 tahun, ia bahkan tidak bisa lepas dari orang tuanya.

Bukan hanya Yuki, Yuri pun juga sama, walaupun sudah menikah bahkan ibunya tetap memanjakan kakaknya itu, memabuat kakaknya itu jadi semakin tidak tau diri. Maaf saja pemikiran Yuki mungkin berlebihan, tapi apa boleh buat, kakaknya bahkan tidak mau mengeluarkan sepeserpun untuk membantu kedua orang tuannya untuk membeli rumah, mereka masih saja menumpang dengan pamannya.

Yuki juga belum siap di lepas ke dunia dewasa dan saat ini Yuki berusaha perlahan lepas dari orang tuanya, hingga saat Yuki sudah SMA, Yuki tidak akan membutuhkan uang dari kedua orang tuanya, ia akan membiayai dirinya sendiri.

Yuki hanya ingin bisa mandiri dengan kehidupannya sendiri.

"sekarang kamu udah berani sama mama? Kamu baru bisa nyari duit sendiri makanya merasa mampu dan nggak butuh orang tua lagi? Iya?" ibunya meninggikan nada suaranya membuat Yuki semakin emosi.

Jika terus seperti ini, Yuki hanya akan menangis di depan ibunya, Yuki memang tidak bisa marah jika emosinya sudah tidak bisa di kendalikan lagi, ia hanya akan berteriak histeris sembari menangis meluapkan emosinya yang menurut Yuki ini adalah kelemahan terbesarnya dan ia sangat membencinya.

"mama emang nggak ngerti apa maksud aku, lupain aja..." Yuki beranjak dari sana dan pergi keluar rumah.

"hey! Mau kemana kamu? Bagus ya kamu udah nggak butuh orang tua, udah bisa nyari uang sendiri, ya udah sana, nggak usah pulang sekalian, nggak usah nyari mama sama papa lagi!"

Yuki tidak peduli dan hanya pergi dari rumah itu, ia hanya pergi ke rumah Tifa yang berada tepat di depan rumahnya, jadi Yuki tidak pergi jauh, ia masih anak kelas 3 SD, apa yang di harapkan?

Yuki memasuki rumah pamannya itu dan melihat di ruang tengah ada paman dan bibinya sedang di ruang tengah, ia tau Tifa ada di lantai 2.

"kamu kenapa?" bibinya bertanya karena melihat wajah Yuki yang sama sekali tidak bagus.

Sial...

Jika mereka bertanya, Yuki akan semakin sulit menyembunyikan emosinya, jadi Yuki hanya menjawab dengan gelengan dan berucap pelan "nggak apa-apa." Yuki segera berlalu dari sana menuju lantai 2 setelah menjawab dengan pelan.

"lho?" bibinya sudah akan mengatakan sesuatu sebelum suaminya menghentikannya.

"biarin aja, biarin dia tenang dulu, kayanya dia abis berantem." Pamannya kembali membaca sebuah buku.

Di depan buku itu tertulis 'Eternal Sunshine'.

Itu buku milik Tifa, putrinya bilang bahwa buku itu adalah karya Yuki, awalnya ia terkejut dan ia akhirnya meminjam buku itu dan membacanya.

Cerita ini menarik namun memang bukan buku yang akan ia baca karena buku ini memiliki genre fantasy yang sama sekali bukan tipe bukunya, tapi ia membaca buku itu dan buku ini penuh dengan kesedihan, ketidak adilan dan kesepian, bukan buku yang bisa di tulis anak umur 8 tahun.

Dan melihat kondisi Yuki barusan, ia bisa menebak dengan apa yang terjadi, ia akan diam dan melihat masalah ini akan berkembang sejauh apa.

Jika memang di butuhkan ia akan mencoba untuk menengahi, ia hanya orang luar bagaimanapun juga, tetap ada batasan dalam mencampuri urusan keponakan dan istri dari adik iparnya ini.

Benar saja, masalah ini cukup panjang, Yuki tidak ada keinginan untuk pulang ke rumah dan ibunya juga tidak muncul untuk menyelesaikan masalah, ini sudah larut malah, beruntung besok tanggal merah, mereka punya banyak waktu untuk ini.

"kamu nggak di cariin mama mu?" Tifa bertanya.

"nggak tau, bodo amat lah, bikin sakit kepala aja..." Yuki bergumam sembari mengerjakan tulisan di laptop milik Tifa sedangkan Tifa sedang bermain the sims di pc.

"hmmm... nginep di sini?" tanya Tifa sembari memerintahkan characternya untuk memasak makanan.

"ya... mau nggak mau kan... sampe masalah ini selesai, lagian mama nggak telepon sama sekali, udah lah, nggak usah di bahas lagi, bikin senep aja." Ucapan Yuki bernada sedikit kesal.

Yuki sudah bercerita dengan Tifa karena itulah Tifa mengerti dengan apa yang terjadi dengan saudara sepupunya ini, Tifa juga tidak mengerti dengan jalan fikiran bibinya yang mempermasalahkan sesuatu yang tidak seharusnya menjadi sebuah masalah.

"hahaha, ya gimana ya, mama mu pemikirannya masih agak kuno, mama ku juga si, tapi seenggaknya papa ku nggak gitu." Ucap Tifa santai.

"nah itu, lah papa ku? apa yang di harapkan? Papa ku ngikutin apa yang di bilang mama ku, nggak ada papa ku ngasi tau ato membuka fikiran mama ku, haaahh... gini amat idup.." Gumam Yuki terdengar putus asa, Tifa hanya tertawa kecil.

"Yuki..." pamannya datang ke kamar dan memanggil Yuki yang saat ini masih terpaku dengan pekerjaannya.

Yuki menoleh dan menatap pamannya.

"kerja?" tanya pamannya sembari memasuki kamar putrinya yang saat ini ada tamu kecil yang melarikan diri dari rumah.

Tifa merasa bahwa pembicaraan akan menjadi berat jadi ia akan pura-pura tidak dengar dan melanjutkan permainannya.

"ya..." Gumam Yuki pelan, ia sudah menghentikan pekerjaannya dan mengalihkan fokusnya ke arah pamannya.

"hmm..." pamannya duduk di kasur tepat di sebelah Yuki yang saat ini juga duduk di sana "mama mu bilang apa?" tanyanya langsung tanpa basa basi.

Yuki terdiam sejenak "ya, mama bilang, aku kan masih sekolah, aku nggak boleh nyari uang, fokus aja sama sekolah, padahal kan aku nggak maksud buat bener-bener kerja nyari uang, aku suka nulis, kan sayang juga tulisan ku udah jadi tapi di anggurin, kalo ada peluang buat di jadiin uang, kenapa nggak? Toh juga sama sekali nggak ngeganggu sekolah, nilai ku bagus juara 1, les piano ku juga nggak terbengkalai, pr ku juga selalu ku kerjain." Yuki bercerita panjang lebar menjelaskan apa yang terjadi dan apa yang ia fikirkan.

"hmm, gitu... ya mungkin mama mu mau kamu berbaur sama temen-temen mu, nikmatin masa sekolah, fokus sama sekolah mu." Pamannya memberi pengertian.

"iya, aku faham, aku ngerti, tapi ya aku emang gini, kayanya urusan pertemanan aku ato gimana aku berbaur itu udah urusan aku deh, mama nggak seharusnya ikut campur, lagian aku juga bukannya nggak punya temen, aku punya temen, berbaur dengan baik, kenapa mama malah bawa-bawa karena aku bisa nyari uang sendiri jadi nggak butuh orang tua, apa hubungannya?" Yuki terdiam sejenak dan menghela nafas.

"lagian juga bukannya malah bagus? Aku jadi nggak perlu bebanin mereka lagi? Aku nggak harus jadi beban keluarga, aku bisa menuhin keinginan aku sendiri, mama sama papa jadi bisa nabung buat diri mereka sendiri, nggak usah lah mikir aneh-aneh, aku bisa ambil keputusaan aku sendiri, mama sama papa cukup liat dan bimbing jalan aku aja, nggak usah ikut campur terlalu dalam."

Bagi Yuki ia tidak butuh larangan-larangan, selama ini bukan sesuatu yang menjerumuskannya ke penyimpangan tidak akan terjadi sesuatu hal yang buruk juga, sekalipun terjadi hal buruk padanya ia bisa belajar dari hal itu, ia sudah biasa, jika tidak, kapan ia bisa jadi dewasa dan mandiri?

Tidak membutuhkan orang tua?

Ibunya berkata seolah Yuki benar-benar sudah tidak peduli dengan mereka, padahal jika ia mau, ia tidak akan melakukan apapun, tapi ia memikirkannya, di kehidupan terakhirnya ia masih menjadi beban orang tua, ibunya juga selalu mengeluh tentang kakaknya yang bahkan tidak mau membantu ke uangan keluarga padahal sudah bekerja.

Ini yang membuat Yuki mempertimbangkan apa yang ia lakukan, ia tidak ingin menjadi beban keluarganya, jika mau, saat ini ibunya hanya perlu memikirkan biaya kakaknya saja, tidak perlu lagi memikirkan biaya kebutuhan Yuki.

Saat Yuki membutuhkan sesuatu, ia sudah bisa membeli dengan uangnya sendiri, bukan berarti Yuki akan menjadi kurang ajar atau semacamnya terhadap orang tua, ia berusaha memahami ibunya, tapi bahkan ibunya tidak mau memahami sifat dan keputusan yang di ambilnya.

"nanti kalo bisa, biar paman yang bicara sama ibu mu, jika memang memungkinkan, pemikiran ibu mu masih terlalu sempit, kamu cobalah mengerti ya..." pamannya memberikan pengertian lagi, ia sepenuhnya memahami apa yang di maksud anak ini, ia hanya tidak ingin membebani fikirannya dengan menjadi beban untuk kedua orang tuanya.

Namun baginya tetap saja aneh, anak ini baru kelas 3 SD, ia masih berumur 8 tahun, kenapa ia bisa berfikir sedalam ini?

Tetap saja ia hanya orang luar yang tidak bisa melakukan sesuatu selain menjadi perantara, ia tidak bisa membuat sebuah keputusan, ia hanya bisa menggiring keponakan dan ibunya saja.

"ok, terimakasi paman..." gumam Yuki, ia sangat lelah.

Malam harinya, ibunya menelpon dan pamannya yang mengangkat teleponnya.

"ya?" pamannya mengangkat telepon dan tidak langsung menanyakan apa yang terjadi, ia hanya ingin mendengar dari segi wanita ini.

"Yuki masih di sana?" wanita itu bertanya dengan nada khawatir.

"ya... dia masih di sini." Jawabnya.

"Yuki nggak mau pulang?"

"..." pria itu terdiam sejenak "ya, kayanya dia nggak pulang sementara waktu, dia cerita banyak tadi" pancing pria itu.

Wanita di seberangnya terdiam sejenak sebelum akhirnya menghela nafas "yahh aku nggak tau dia cerita apa aja ke kakak, tapi ada yang aku khawatirin." Ucapnya.

Pria itu duduk du kursi sebelah meja telepon dan mulai bicara "apa yang kamu khawatirin emangnya?"

"dia nggak tau kenapa tiba-tiba jadi anak yang lebih dewasa dari umurnya, dia bahkan udah bisa cari uang sendiri." Jelas wanita itu.

"lho? Bukannya bagus? Kamu nggak usah cape lagi mikir biaya pendidikannya kan?"

Wanita itu terdiam sejenak "iya si, tapi anak-anak jaman sekarang tu kalo udah bisa cari uang sendiri pasti udah merasa nggak butuh orang tua lagi, nggak akan denger lagi omongan orang tua, dia masih terlalu kecil."

pria itu mendengar dengan baik cerita dari wanita di seberangnya ini "kenapa dia bisa nggak butuh orang tua lagi Cuma karena dia bisa cari uang sendiri? Kan dia masih kecil, nggak mungkin dia bisa mikir sejauh itu, kamu tau itu kan?"

"iya si... tapi tetep aja, aku nggak suka dia terlalu dewasa untuk anak seumurannya."

Pria itu menghela nafas sejenak "dia bersikap dewasa, punya pemikiran dewasa itu udah jadi bagian dari dia, itu tetep Yuki dan nggak bisa di hindari dan masalah dia udah bisa nyari uang sendiri, itu nggak ada hubungannya sama umurnya, dia juga milih itu sendiri dan merasa seneng ngejalanninnya kenapa nggak? Dia bisa bantu perekonomian dengan hobinya menulis, bukan dengan dia kerja keras banting tulang terus sengsara." Pria itu mencoba membuka perasaan wanita di seberangnya, pemikiran wanita ini juga terlalu sempit menurutnya.

"iya, tapi aku tetep nggak suka..." gumamnya.

"suka atau nggak suka, kalo hal ini harus terjadi emang kita orang tua bisa apa? Yang bisa kita lakuin kan membimbing mereka, ngajarin mereka dan memperhatikan apa yang mereka lakukan, kita nggak bisa bener-bener ngontrol mereka seperti apa yang kita inginkan."

Pria ini juga setengah mencurahkan apa yang ia rasakan, ia juga memiliki anak, jadi ia mengerti apa yang di rasakan oleh wanita di seberang telepon saat ini, ia punya anak perempuan dan juga anak laki-laki, mereka pada dasarnya sama, jadi ia hanya bisa mengatakan hal ini.

Untuk selebihnya, biarkan kedua orang ini sendiri yang menyelesaikan.

Keesokan harinya Yuki dan ibunya saling berhadapan menyelesaikan masalah yang mereka miliki sebelumnya, masalah yang jika di biarkan akan bisa mempengaruhi masa depan Yuki.

"..." Yuki diam tanpa eskpresi di wajahnya, tidak ada yang bisa menebak apa yang di fikirkan Yuki saat ini.

Bukan mereka tidak tau, mereka semua tau Yuki bukan seseorang yang mudah di tebak, wajah dan hatinya bisa bertolak belakang, ia bisa terlihat sangat senang saat ia sedih, ia bisa terlihat dingin saat ia senang, ia bisa berbeda di setiap saat, bisa berwajah polos, bisa berwajah dingin sedetik kemudian, ia bisa tersenyum saat ia lelah.

Ibunya, ayahnya, paman dan bibinya, bahkan pelatihnya menyadari hal ini, mereka tidak tau yang mana Yuki yang asli.

Dan saat ini mereka tidak tau di hadapkan dengan Yuki yang mana. Ia tidak mengeluarkan ekspresi apapun, tidak terlihat marah, tidak terlihat senang.

"Yuki" ibunya yang membuka pembicaraan, Yuki hanya berdehem dan menatap wanita di hadapannya, saat ini di sana ada paman dan bibinya, mereka masih di rumah pamannya karena Yuki masih belum ingin pulang, ia menginap dengan Tifa semalam.

"Yuki, kamu masih mau cari uang dengan menulis?" tanya ibunya.

"iya." Yuki hanya menjawab dengan tegas kali ini.

"kan ada papa sama mama yang nyari uang, kamu nggak usah mikirin itu." Wanita itu berusaha memberikan pengertian pada Yuki.

Yuki dengan bingung menatap ibunya "emang aku mikirin itu?" tanya Yuki.

Wanita di depannya terdiam, anaknya benar-benar tidak bisa di tebak.

"terus kalo nggak mikirin itu apa dong?"

"aku mikir apa emang?"

"ya nggak tau, kan mama nggak bisa baca pikiran mu." Wanita itu sedikit meninggikan suaranya.

"nahh, kalo nggak tau kenapa bisa berspekulasi kalo aku lagi mikirin tentang keuangan?"

Ucapan Yuki membuat wanita ini terdiam tidak bisa berkata apapun, putrinya mengatakan fakta yang tidak bisa di tepis.

"mama nggak coba tanya dulu gitu sebelum berspekulasi yang nggak-nggak? Aku nggak masalah si mama punya tebakan sama apa yang aku fikirin, tapi coba tanya dulu lah..." Yuki mengemukakan perasaannya.

Sebenarnya, ia masih memiliki banyak sekali perasaan yang tidak bisa di ungkapkan, tapi untuk saat ini, ia tidak akan mengatakan apapun lagi selain ini, jika ia mengatakan lebih dari ini, mungkin akan terdengar aneh.

Lagipula apa yang menjadi pengganjal hatinya belum terjadi, jadi ia masih tidak akan mengatakan apapun.

Lagipula apa yang menjadi pengganjal hatinya belum terjadi, jadi ia masih tidak akan mengatakan apapun.

"ya udah, sekarang kenapa kamu coba buat nyari uang?" tanya wanita itu.

Yuki menghela nafas sejenak "pertama, aku nggak terlalu berusaha buat nyari uang, kedua, hobi ku emang nulis, aku mau hasil tulisan ku di lihat orang, menurut mama aku harus apa biar tulisan ku di lihat?" Yuki terdiam sejenak melihat ekspresi ibunya yang masih menatapnya.

"jual, tentu saja kan dan kalo di jual udah jelas akan dapat uang. Dapet uang itu Cuma bonus aja dari aku ngirim karya aku ke penerbit, lagian selama hobi aku bisa menghasilkan kenapa nggak?"

Benar apa yang di katakan Yuki, tidak ada yang salah memang, tapi ia merasa tidak nyaman dengan putrinya yang bisa menghasilkan uang sendiri, ia takut putrinya tidak akan mendengarkan lagi ucapannya karena sudah bisa mencari uang sendiri, selain itu ia ingin putrinya hanya belajar dan bermain dengan teman-temannya.

Ia hanya ingin putrinya berlaku seperti pada umurnya.

Lihat saja sekarang, pemikirannya saja sudah bukan pemikiran anak umur 8 tahun, ia sudah terlihat sangat dewasa untuk seumurannya, ia tidak mengerti dari mana putrinya memiliki pemikiran semacam ini, bahkan kemarin ia tidak mendengar ucapannya lagi, ia menentangnya.

"aku nggak tau apa yang mama fikirin, tapi aku berhak melakukan apa yang mau aku lakukan, seharusnya mama tau tempat..." karena tidak ada respon yang berarti membuat Yuki mau tidak mau mengatakan sesuatu yang sedikit kejam.

Ia tau perkataannya mungkin akan menyakiti ibunya, tapi saat ini, ia ingin tegas dengan keinginannya.

Dulu saat ia masih kecil di kehidupan sebelumnya, ia tidak bisa memilih apa yang ia inginkan, karena itulah hingga ia dewasa, ia tidak bisa memilih apa yang ia inginkan.

"ya udah, lakuin aja apa yang kamu mau, mama nggak akan bilang apapun lagi." Wanita itu tampak menyerah dengan putrinya.

Sebenarnya, kenapa ia berfikir agar putrinya hanya belajar dan bermain adalah karena ia mengingat masalalu yang di milikinya.

Saat kecil ia bukan berasal dari keluarga yang berada, ayahnya polisi dan ibunya pedagang, ia 12 bersaudara dan ia adalah anak ke 9, orang tuannya tidak terlalu perduli dengan kehidupan anak-anaknya, mereka hanya akan memberi makan dan biaya sekolah, hanya itu.

Ia ingin anaknya bermain seperti anak-anak pada umumnya, tidak merasakan sulitnya hidup, itu yang di inginkannya.

Tapi sepertinya putrinya tidak berfikir sama dengannya, ntah kenapa putrinya sudah bisa berfikir sejauh ini.

"ya udah, udah selesai kan masalahnya, udah nggak usah di bahas lagi." Pamannya menengahi.

Dengan ini ke mereka sudah akan baik-baik saja, walaupun mungkin ibu Yuki akan memandang putrinya berbeda, tapi dengan ini mungkin ia tidak perlu pusing lagi memikirkan kebutuhan putrinya.