Chereads / Rebirth : New Life / Chapter 11 - Chapter 11 : Club

Chapter 11 - Chapter 11 : Club

Pada akhirnya Yuki berada di tahap final, setelah beberapa bulan berlatih dengan jadwal padat, Yuki menyukainya, ia tidak pernah bosan dengan tuts piano yang di sentuhnya, tidak pernah bosan dengan nada yang di keluarkannya.

Sebentar lagi juga adalah tes kenaikan kelas juga, ia tidak pernah meninggalkan pelajarannya, ia juga bagus dalam pelajaran walaupun bisa di bilang Yuki membencinya.

Dan di sinilah ia berada, di panggung dengan aula yang besar, di tonton banyak orang, ia bahkan tidak bisa melihat kedua orang tuanya dan keluarganya yang lain, tapi ia merasakan, mereka melihatnya saat ini.

Seperti biasa setelah memberi salam Yuki akan duduk di kursi dan meletakan partitur musiknya, ia akan menghela nafas dan meletakan jemari kecilnya di atas tuts.

Mulai memainkan nada-nada indah, membuat semua orang selalu terlarut dalam permainannya, Yuki selalu menahan perasannya saat bermain di atas panggung, ia tidak ingin orang lain merasakan apa yang ia rasakan.

Namun pada akhirnya mereka akan menangis mendengar nada yang keluar dari piano itu, larut dalam musik yang di mainkan. Yuki bahkan tidak mengerti kenapa mereka seperti itu.

Beruntung ia tidak selalu memainkan nada yang sedih.

"Juara satu.... Yuki!!" Juri sudah memberikan pengumuman untuk juara 1, 2 dan juga 3. Siapa yang sangka jika juara 1 bisa ia dapatkan.

Semua orang bertepuk tangan ikut bahagia atas kemenangan yang di dapat Yuki, jadi Yuki hanya maju dan menerima piala yang bisa di bilang cukup indah. Setelah mengambilanya, ia diberikan mic untuk bicara.

"ada yang mau kamu sampaikan?"

"ada..." Yuki berucap tenang "aku akan mengucapkan terimakasih pada keluarga dan juga tutor ku yang sudah mendukung ku hingga aku bisa ada disini, terimakasih" Yuki menundukan tubuhnya.

Setelah selesai mereka pulang dengan senang, hanya Yuki yang tidak tampak senang. Ntah lah, Yuki saat ini tidak merasa senang, tidak juga merasa sedih, perasaannya sangat datar.

Yuki meletakan piala di atas pianonya, piala itu berbentuk kunci not hampir sama dengan jepit rambut yang di berikan tutornya, dengan warna emas mengkilap dan permata berwarna merah darah.

Yuki tidak menyangka bahwa ia akan menang, ia tidak benar-benar berharap, sebelumnya ia berfikir untuk hanya tidak membuat keluarga dan tutornya malu, jadi ia berusaha semampunya, siapa yang sangka ia akan benar-benar menang.

Yuki menghela nafas.

Intinya setelah ini kehidupannya akan kembali semula, ia juga ingat sebentar lagi akan ada tes kenaikan kelas, jadi ia juga harus belajar beberapa hal.

"Yuki, udah pr mtk?" temannya dari bangku lain menghampirinya dan menanyakan tugas.

"sudah" Yuki berucap singkat.

"mau liat boleh?" tanya anak itu lagi.

Yuki hanya melemparkan buku tugasnya pada anak itu, membuat teman sebangkunya Difa sedikit kesal bagaimanapun ia dan Yuki sudah mengerjakannya bersama minggu lalu dan Yuki hanya memberikannya dengan mudah ke orang lain.

"Yuki, jangan kasi contek terus, udah cape-cape kita ngerjain" yang hanya di balas tatapan tenang dari Yuki.

Benar, Yuki dan Difa berada di kompleks perumahan yang sama, dulu saat Difa bermain ke rumahnya, yang mereka lakukan hanya bermain, tapi beberapa minggu lalu Yuki selalu mengajak Difa untuk mengerjakan pr dulu sebelum bermain, jadilah mereka berdua selalu belajar bersama.

"biarkan... biarin aja dia nyontek, toh sebentar lagi ulangan kenaikan kelas, kalo ada jenis soal yang sama dan dia nggak bisa jawab, ya itu salah dia sendiri dapet nilai jelek, yang penting kita berdua nggak rugi amat." Yuki berucap santai sembari menggambar beberapa hal yang menarik perhatiannya.

'lagian apa bagusnya nilai tugas bagus tapi pas di tes malah jelek? Haahh, sama aja kaya player carry ato jokian, bisanya nyusahin aja, biarin aja win ratenya turun'

Yuki tidak masalah jika tugas nya di contekin, toh itu bukan tugas sulit, kelak mereka sendiri yang bakal rugi, Yuki pernah mengalaminya.

Saat istirahat tiba, Difa mengajak Yuki untuk membeli beberapa makanan, setelah itu awalnya ia ingin mengajak Yuki bermain, tapi Yuki menolak.

Yuki cukup lelah sebenarnya, setelah sebelumnya sibuk dengan lombanya, sekarang ia harus mempersiapkan diri untuk ulangan kenaikan, walaupun Yuki sangat yakin soal yang akan keluar akan sangat mudah.

Tetap saja Yuki sedang sangat lelah, jadi ia kembali ke kelas untuk memakan makanan ringannya dan kembali dengan gambarnya. Ia hanya membuat sketsa.

Saat ia ada waktu luang ia baru akan mewarnainya, terkadang pekerjaan itu membuatnya relax, tidak perlu otak atau semacamnya.

Yuki memang suka menggambar beberapa sketsa.

"Yuki, nanti belajar bareng lagi?" tanya Difa yang ada di sebelahnya, ia tidak mengerti kenapa, normalnya untuk anak seumuran mereka hanya akan bermain bersama jika berkumpul, tapi mereka berdua bahkan bisa cukup fokus dengan pekerjaan mereka, bahkan Difa ntah kenapa akan mengulang beberapa pelajarannya di rumah.

"ya, terserah" Yuki memang memiliki jadwal kosong hari ini, tidak ada salahnya belajar bersama.

"ok, nanti aku kerumah mu ya." ucap Difa yang hanya di jawab dengan anggukan singkat, biasanya mereka hanya akan mengerjakan tugas rumah bersama, Yuki tidak terbiasa belajar tanpa ada tugas.

Sistem belajar Yuki adalah mengerjakan tugas sekaligus menambah wawasan, normalnya Yuki tidak belajar jika tidak ada tugas atau soal. Ia akan mengantuk jika belajar tidak sesuai dengan apa yang ingin dia tau, ibunya tau tentang hal itu dan membiarkan, selama nilai Yuki tetap memuaskan.

Sesuai dengan rencana, sepulang sekolah, Difa datang kerumah Yuki untuk mengerjakan tugas bersama "kamu coba cari di buku paket, aku cari di buku ini" Yuki mengambil buku yang lain.

Selesai mengerjakan tugas jika anak biasanya akan bermain di luar rumah, berbeda dengan mereka berdua, Yuki tau Difa tetaplah anak-anak yang tidak akan bisa mengikuti jalan fikirannya saat ini, Difa tidak bisa mengikuti pembicaraan yang berat, karena itu Yuki akan berdiskusi dengan Difa menggunkan bahasa yang sangat sederhana.

Yahh, mereka akan membicarakan apa saja yang menjadi pembahasan di dalam tugas sekolah mereka, Difa bukan anak yang bodoh, ia hanya butuh lingkungan yang bagus untuk berkembang dan tentu saja pertemanan yang baik.

Tidak terasa hari sudah berlalu dengan cepat, Difa memutuskan kembali ke rumahnya sedangkan Yuki menyalakan komputer jaman purba yang mereka miliki untuk melanjutkan tulisannya.

Walaupun sudah membuat satu cerita, ia masih harus membuat yang lainnya untuk cadangan.

Saat kakaknya belajar, Yuki sudah selesai dengan pelajaran dan tugas sekolahnya, jadi ibunya tidak mengatakan apapun saat melihat Yuki menyalakan komputer dan larut dengan ntah apa yang di lakukannya.

"ma, Yuki nggak belajar?" tanya Yuri pada ibunya yang saat ini sedang menemaaninya belajar.

"dia tadi udah belajar duluan bareng sama temennya, jadi biarin aja dia." Ibunya hanya berucap singkat dan melanjutkan pengajarannya pada Yuri.

Yuki terlarut dengan tulisannya, tidak sadar bahwa jam sudah menunjukan pukul 9, waktunya untuk tidur dan kakaknya juga baru menyelesaikan belajarnya. Mereka biasa belajar dari jam 7 hingga 9.

Yuki menyimpan filenya dan sedikit meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku. Ia berada di posisi yang sama dalam waktu yang cukup lama, wajar jika ia merasa punggung dan pundaknya serasa mau patah.

Tes akan di mulai minggu depan, tidak ada yang perlu Yuki persiapkan karena tes akan sangat mudah, ini tes untuk anak kelas 2, apa yang harus di takutkan.

Tes berjalan dengan lancar, tidak ada yang sulit untuknya, karena soal yang ada di tes tidak memiliki formasi yang banyak dan rumit, jadi mudah untuk Yuki mengiat jawaban soal.

"Yukiiii, akhirnya selesai juga." Difa bicara sepanjang jalan "gimana ya hasilnya... aku takut hasilnya jelek." Difa berucap tidak berdaya. Mereka memang selalu pulang bersama, di belakang Yuki ada ibu dan juga Yuri.

"apa yang harus di takutin? Kamu udah belajar kan beberapa minggu ini, yang penting usaha..." nah, sebenarnya Yuki agak tidak yakin dengan apa yang ia ucapkan, di dunia yang hanya hasil yang di lihat, apa yang kau harapkan?

"berdoa aja, kalo nilai mu jelek kamu nggak di marahin." Yuki berucap santai yang di balas dengan helaan nafas. Difa semakin mirip dengannya, memang tetap menjadi Difa, tapi ada beberapa hal yang berubah. Mereka sudah dekat sejak dulu, mereka kenal pertama kali di TK walaupun berbeda kelas, tentu saja mereka memiliki ikatan yang berbeda dari sekedar teman sekelas.

"kalo kamu? Nggak takut nilai jelek?"

"kenapa takut nilai jelek? Nilai jelek saat ini emang bakal ngaruh di pekerjaan ku di masa depan? Kalo jelek ya udah jelek, toh jelek itu bukan berarti aku nggak belajar" Yuki berucap santai.

"terus apa kalo bukan karena nggak belajar?" kali ini ibunya yang bertanya, apa dia mendengar ucapannya sedari tadi?

"kurang hoki"

"..."

"..."

"..."

Mereka yang mendengar itu terdiam sejenak.

"masa kurang hoki, apa hubungannya?" ibunya menatap Yuki aneh.

"ya.. nilai jelek bukan berarti nggak belajar, ada banyak faktornya, bisa jadi apa yang kita pelajarin nggak keluar di tes, atau bisa jadi ternyata kita salah ngerti soalnya karena soalnya ambigu, atau bisa jadi karena gurunya salah koreksi, semua bisa terjadi" Yuki berucap santai dengan wajah tanpa ekspresi.

"haha... bener juga..." Difa menjawab dengan nada aneh.

"..." ibunya hanya terdiam tidak menanggapi apapun lagi. menurutnya apa yang di katakan Yuki ada benarnya juga.

"lagian buat sukses yang terpenting berusaha, kalo udah berusaha tapi gagal, ya berarti bukan rejeki, belom hoki aja"

"..."

"..."

"..."

Mereka tau, Yuki memiliki kepribadian yang agak aneh, walaupun memang apa yang di katakannya bukan hal yang salah.

Yuki mengatakan hal semacam itu, namun di dalam hati kecilnya berucap lain. Seperti biasa, dark side Yuki muncul, menurutnya, yang di katakannya barusan adalah benar, tapi prakteknya hal semacam itu tidak akan terjadi.

Saat berada di atas, orang-orang akan datang mendekat, saat di bawah orang-orang bahkan tidak akan melirik sama sekali, seperti apapun sifat mu. Itu adalah sesuatu yang di benci Yuki namun tidak bisa melakukan apapun.

Yuki juga memang tidak terlalu perduli dengan nilai apa yang ia dapat, kebiasaan Yuki memang begitu, sejak dulu ia akan berusaha untuk belajar, hasil akhir ia tidak terlalu perduli, nilai di sekolah, tidak akan mempengaruhi kesuksesannya.

Tapi siapa yang sangka Yuki memang tidak memiliki nilai yang jelek di semua mata pelajaran.

Apa boleh buat, ini pelajaran kelas 2 SD, Yuki juga memiliki harga diri.

"Yuki dapat rank 1, hebat banget" Difa melihat raport milik Yuki. Mereka sudah kembali dari pengambilan raport sekolah dan saat ini sedang berada di rumah Yuki.

"kamu juga lumayan kan? Seenggaknya kamu masih 5 besar." Yuki meminum air yang ada di gelasnya.

"nggak sebagus kamu." Difa tampak sedikit murung.

Yuki menatap Difa dengan tatapan tidak berdaya, mau bagaimana lagi, di banding dengannya, tentu saja Yuki berada di level yang berbeda dengannya, tidak ada yang bisa dilakukan, Yuki tetap seorang wanita dengan umur 25 tahun saat ini yang ntah kenapa kembali ke umurnya saat anak-anak.

Yuki mengusap kepala Difa "apa yang kamu khawatirkan? 5 besar udah bagus banget padahal, nggak masalah kan walaupun bukan yang paling atas." Yuki mencoba untuk menghibur temannya ini.

"yahh, aku mikir, kalo aku bisa lebih baik lagi, aku bisa sejajar sama kamu, seenggaknya ada di rank 2."

"haha... belum saatnya, kamu udah belajar dengan baik beberapa minggu ini, semua butuh proses" ucap Yuki santai.

"ugghhh"

Nahh, menurut Yuki mendapat nilai bagus mungkin merupakan sesuatu yang lumayan mudah, yang sulit adalah saat kamu harus mempertahankannya, apa lagi kelas 3 nanti akan ada anak yang pintar juga akan masuk ke kelas yang sama, Yuki tidak tau apa ia mampu bertahan atau tidak.

Yuki ingat dulu mereka sangat dekat, namun tetap saja, Yuki bukan anak yang pintar, dulu ia akan sering menyalin tugas temannya, jadi tidak heran.

"perjalanan kita masih panjang, kita baru kelas 3 SD, nggak usah terlalu serius di umur sekarang, nikmati aja yang ada."

Saat ini Yuki terlihat sangat serius dengan apa yang ia lakukan, tiada hari tanpa kesibukan, sekilas jika di lihat dari luar, Yuki tampak seperti anak-anak yang terlalu banyak kegiatan hingga tidak ada waktu untuk bermain seperti anak pada umumnya.

Nahh.. mereka hanya tidak tau jika umur ku sudah bukan waktunya untuk bermain, bagi ku, waktu bermain ku sudah lewat semenjak aku mati dan kembali ke dunia ini, lagi pula aku memang jadi tidak bisa berbaur dengan anak-anak seumuran ku lagi karena perbedaan umur yang sangat jauh, bahkan terkadang aku tidak mengerti dengan omong kosong yang mereka katakan.

Selain itu, Yuki memang menikmati apa yang menjadi kegiatannya saat ini, ia sama sekali tidak merasa terbebani.

Terkadang ibu nya akan bicara dengannya, ia harus banyak bermain dengan teman sebayanya, tapi pada kenyataannya, ia bahkan lebih memilih untuk istirahat jika ada waktu luang dan lebih banyak melakukan kegiatan serius.

Yuki mengerti ibunya sangat khawatir dengan keadaan dirinya, tapi, Yuki merasa ia memang harus melakukan ini sebelum apa yang terjadi di masa depan terjadi, ia tidak ingin ada penyesalan lagi di hidupnya.

"tapi Yuki keliatan serius terus waktu ngerjain sesuatu" Difa bicara dengan nada polosnya.

"...." Yuki menatap Difa sejenak sebelum ia tertawa keras "hahahaha, itu yang kamu liat? Nahh... mungkin emang keliatan serius, tapi sebenernya, aku nikmatin apa yang aku lakuin ko, aku juga nggak terbebani, jadi kamu juga... cari apa yang kamu suka, nanti juga kamu seneng aja ngerjainnya"

"Yuki suka piano kan?"

"..." Yuki terdiam sejenak "iya, aku suka piano sama biola, tapi belajar biola kayanya jauh lebih susah. Nahhh... intinya aku lumayan suka musik klasik"

"aku juga pengen belajar alat musik kalo bisa" Difa berceloteh kecil.

.

.

.

Tahun ajaran baru di mulai.

Saat ini Yuki sudah duduk di bangku kelas 3, benar saja teman baiknya dulu muncul dan saat ini duduk tepat di belakangnya dan Difa.

"hallo, aku Yuki"

"ohh, aku Tya" Yuki melihat juga ke sebelah temannya, ia ingat anak ini menjadi temannya juga walau tidak terlalu lama ada di sekolah ini, ia juga ingat dua orang ini juga pindahan dari sekolah yang sama.

"aku Mia" ucapnya.

Yuki mengangguk dan tersenyum kecil, Difa tidak ingin ketinggalan ia juga memperkenalkan diri "hallo, aku Difa."

Dan setelahnya mereka memang menjadi teman baik. Mereka akan bermain bersama sepulang sekolah karena rumah mereka berempat memang sangat berdekatan.

Malam harinya saat Yuki dan keluarganya sedang makan malam bersama, ibunya bicara dengannya.

"Yuki, hari ini ada temen baru ya?"

"iya, Tya sama Mia, kayanya mereka dari sekolah yang sama, mereka juga tinggal di sekitar sini." Yuki mengambil telur yang tersuguh di depannya.

"bagus dong jadi punya temen banyak... kamu ajak ngomong nggak?"

"iya lah, Tya juga anak yang pinter, kenapa nggak..." Yuki.

Mereka mengobrol banyak hal dan dari obrolan ini, Yuki tau ayahnya bekerja kembali di perusahaan tempat dulu ayahnya bekerja, jadi hidup mereka akan menjadi lebih baik, beberapa bulan ini, mereka hanya mengandalkan uang dari kerja serabutan ayahnya.

Setidaknya mereka hidup lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

"Yuki mau ikut apa di ekstrakulikuler?" Tya bertanya pada suatu siang, mereka sedang beristirahat dan makan bersama di dalam kelas di satu meja.

"paduan suara." ucapnya santai, Yuki tau teman-temannya ini akan memasuki pramuka, tapi Yuki benci ada di luar ruangan, jadi lupakan.

"aku si mau masuk pramuka karena ada bu Ayu." Tya berucap dan memasukan makanan ke mulutnya.

"aku juga." Mia.

"...." Difa terdiam.

"kalo Difa?" Tya bertanya pada Difa yang duduk tepat di sebelah Yuki.

"...." Difa tampak terdiam dan berrfikir "hmm, aku bingung..."

Yuki melirik temannya sejenak dan kembali sibuk dengan makanannya "jangan ikutin kita, kamu sukanya apa, kamu bakal bosen kalo ngikutin apa yang kamu nggak suka." Yuki berucap santai.

"..." Difa tampak berfikir sejenak "paduan suara aja deh..."

"hooo" dan pembicaraan mereka berlanjut menjadi pembicaraan anak-anak dengan sesekali Yuki menanggapi, ia lebih banya diam dan mendengarkan pembicaraan, karena untuknya ada beberapa pembahasan yang tidak berguna, sesekali mereka akan membicarakan teman sekelas mereka hingga bell masuk kelas berbunyi.