Chereads / Rebirth : New Life / Chapter 9 - Chapter 9 : menjadi pianis

Chapter 9 - Chapter 9 : menjadi pianis

"you know what is this?" Tifa bertanya dengan sesekali tertawa geli.

Yuki terdiam sesaat sembari menatap mereka dengan tatapan yang sedikit menebak dan bingung membuat mereka yang ada di sana tertawa geli dengan tertahan.

"this is... wait, wait, actually, this is something like a.... jelly fishhhh" Yuki melebihkan di akhir kalimatnya membuatnya tertawa geli.

"ohhhh..." yang lain ikut tertawa.

"hahahaha! I knew that! I acted as if I didn't but I knew that! Haha..." Yuki berbicara dengan cukup cepat dengan nada yang sangat lucu membuat yang lain ikut tertawa, sebenarnya jika kau tidak benar-benar mengerti bahasa inggris, kau bahkan hampir tidak bisa menangkap apa yang di katakan Yuki.

"ohhh you got it.." Tifa ikut tertawa sebenarnya karena mendengar Yuki bicara dengan nada lucu dan tawa yang juga lucu.

"ohh Yuki jago lho bahasa inggrisnya, Tifa, kamu ngerti?" ia adalah saudara yang cukup jauh, ia paling tua di sini saat ini "aku nyaris nggak nangkep lho Yuki ngomong apa" lanjutnya.

"aku malah nggak ngerti, lucu aja Yuki ketawa gitu."

"sama wehh" sahut yang lain.

Jadi intinya hampir semua yang ada di sana bahkan tidak bisa menangkap apa yang Yuki katakan?

Mereka semua tertawa termasuk Yuki.

"aku si ikut aja ketawa, mudeng juga nggak, hahahaha" Dira berucap geli.

"kita biasa ngomong kaya gini, makanya ngerti-ngerti aja, Yuki emang jago si" Tifa berucap santai setelah meredakan tawanya sambil memasukan makanan ke dalam mulutnya.

"aku ngomong, aku akting kaya aku nggak tau, padahal aku tau" Yuki memasukan dimsum ke dalam mulutnya.

"oooowalahh"

"telat... hahahaha!" Tifa berucap geli sembari tertawa "ngertinya pending... hahahahaha!!" yang lain ikut tertawa geli menyadari ke bodohan mereka sendiri, padahal Yuki yang termuda di meja itu.

Yuki terdiam sambil tersenyum ke arah piring ubur-ubur itu, sebenarnya rasanya tidak seburuk itu, rasanya bahkan hampir hambar jika tidak ada bumbu sama sekali, hanya saja mungkin terasa aneh karena bagi mereka ini bukan sesuatu hal yang wajar untuk di makan.

"actually, this is not that bad..." Yuki menunjuk ubur-ubur dengan sumpitnya "but still, i don't want to eat this anymore..." semua lagi-lagi tertawa dengan ucapannya, kali ini mereka lebih mengerti karena Yuki bicara dengan lebih lamban.

"that... actually, the texture like... hmmm..." Yuki berfikir sejenak "like... like... coconut jelly?" ucap Yuki kurang yakin.

"yeah... yeah... kaya nata de coco kan?" Tifa menanggapinya dengan sedikit semangat.

"yeah... but this is not chewy, well, just lil bit chewy... i think." Yuki berucap tidak pasti lagi "so... who will finish this?"

Semua diam.

"siapa ya..."

"jangan aku lha..."

"aku juga ogah"

"jangan aku"

"ok ok... guys, lets play rock paper scissors and the loser will finish this... alone." Yuki memberikan mereka tantangan yang menarik.

"ok" semua setuju dan mereka menjulurkan tangan mereka semua.

"ok, who's will finish all of this strange jelly fish."

Semua bersiap "ahh i have bad feeling..." Yuki sedikit mengeluh, mereka semua terkekeh geli, ia sendiri yang memberikan tantangan.

"rock paper scrissors shoo"

Semua keluar kecuali Yuki dan Dira.

"ahhh..." dengan Yuki yang mendesah keras, yang lain hanya tertawa gembira kerena mereka tidak harus memakan ubur-ubur dengan rasa aneh itu.

jantung Yuki berdetak kencang.

Dan sekali lagi, Yuki menjulurkan tangannya berhadapan dengan tangan Dira.

"kamu yang bakal makan ini." Dira tertawa geli.

"who know" Yuki menjawab dengan santai.

"Rock paper scrissors shoo!"

Yuki mengeluarkan batu sedangkan Dira mengeluarkan gunting.

"assaaaa hahahahaha" Yuki meloncat kegirangan bebarengan dengan meja mereka yang ramai dengan tawa mereka karena melihat salah satu dari mereka harus menghabiskan ubur-ubur itu, sedangkan wajah Dira sangat aneh.

"kamu sendiri yang pesen! Hahahahaha!!" Tifa tertawa dengan kencang di barengi dengan yang lain.

"rasain! Makanya jangan iseng! Kamu juga yang makan! Hahahahaha!!" sepupu mereka yang di awal sudah kena prank tertawa senang karena akhirnya Dira hanya melempar bumerang ke arahnya sendiri.

"ha? Dia yang mesen itu?" Yuki bertanya.

"iya, hahahahahaha!!" Tifa menjawab sambil masih tertawa dan mengangguk.

"hahahahahahahahahahaha!!!!" Yuki tertawa semakin kencang "it was meant to be, this is your order man" wajah Dira menjadi semakin tidak enak yang mengundang tawa geli dari yang lain.

Yuki kembali mengambil sumpitnya "enjoy your food guys..." Yuki mengambil udang goreng tepung dengan sumpitnya dan memasukannya ke dalam mulut dengan wajah sedikit mengejek.

"Yuki bahagia banget."

"hahahaha, yoo, dude, happy birthday, hahaha" Yuki kembali memasukan cumi yang baru saja ia dapat.

Mereka makan dengan senang sambil sesekali tertawa karena candaan.

.

.

.

Setelah acara itu Yuki mendapat hadiah yang membuat Yuki tercengang, yang membuat Yuki bahkan samasekali tidak percaya dengan apa yang ia lihat.

itu adalah piano.

Piano berwarna putih bersih dan sangan cantik, piano jenis digital ini benar-benar sangat cantik. Jika di rumah pamannya adalah jenis digital yang memiliki bentuk sama dengan upright piano tapi yang ada di depannya saat ini merupakan jenis digital piano yang terlihat sangat modern dan Yuki sangat menyukai model ini.

Selain lebih kecil dan hemat tempat piano ini sangat cantik, dulu saat ia menonton para pemain piano di internet, ia melihat piano putih cantik yang memiliki model yang sama dengan yang ada di depannya saat ini, ia selalu ingin memiliki piano model ini.

Siapa sangka bahwa piano ini benar-benar muncul di depannya.

"ini kado ulang tahun mu, aku tau kamu pengen banget punya piano ini kan?" Yuki hanya tertawa canggung saat pamannya ternyata melihat Yuki kemarin yang selalu memandang piano putih itu.

Kemarin setelah pulang dari makan-makan, memang mereka tidak langsung pulang kerumah dan melihat-lihat di mall besar itu, mereka sempat melihat pameran alat musik di sana dan Yuki memang selalu menatap piano putih itu.

Siapa sangka pamannya akan memperhatikannya dan berakhir dengan membelikannya.

"hehe... makasi paman..." Yuki memeluk pamannya sejenak "aku nggak tau kalo paman bakal beliin ginian, bukannya ini mahal banget ya?" Yuki tentu merasa tidak enak dan jika di lihat sepertinya ibunya juga merasa tidak enak.

"nggak ko, piano ini malah lebih murah dari yang di rumah, tadinya aku bingung harus ngadoin apa, kepikiran buat ngadoin piano dan lagi nyari model yang bagus, tapi kemarin kamu ngeliatin piano itu terus jadi ku fikir kamu suka model itu" pamannya mengusap kepala Yuki dengan lembut.

"yaa... aku suka banget sama model ini... hehe..." sebenarnya Yuki juga sangat suka Grand piano, tapi rumahnya sangat penuh jadi jika ia membeli piano di kemudian hari ia memang akan membeli model ini.

"tadinya juga bingung mau putih atau hitam, tapi kamu negliatin terus yang putih, jadi di sesuaikan sama yang kamu suka." Lanjut pamannya.

"iya, aku suka banget piano warna putih..." Yuki melihat piano itu dan menyentuhnya.

"aduh... jadi ngerepotin..." ibu Yuki mengeluarkan senyum canggung, Yuki tau ibunya nyaris sama dengannya, terkadang saat orang lain memberikan sesuatu padanya, Yuki akan merasa berhutang.

"nggak, kan ini hadiah ulang tahun Yuki, karena bingung kamu mau apa, jadi agak mundur" lelaki dengan wajah yang hampir tanpa ekspresi itu berucap tenang.

"hehe, iya, makasih" tak berapa lama paman Yuki pergi dari sana dan pulang ke rumahnya.

Yuki duduk di kursi piano dan menyalakan piano itu, ini berbeda dengan yang biasa Yuki gunakan saat di rumah pamannya, karena bahkan model pianonya pun sangat berbeda, jadi Yuki mencoba untuk mempelajarinya dan memainkan beberapa nada yang ia ingat di luar kepala.

Yuki memang sangat senang menghafal beberapa lagu yang ia sukai.

"mama jadi nggak enak sama paman..." ibu Yuki bicara di sebelahnya. Yuki hanya diam dan menatap ibunya "yaa... kita udah numpang di rumah ini, biaya les mu juga di tanggung, sekarang ngasi hadiah yang mahal banget... mama jadi nggak enak..."

"sama, tapi ya barang udah di depan mata, masa mau di tolak, lagian malah jadi nggak sopan kalo di tolak" Yuki cukup masuk akal jadi ibunya hanya bisa mengiyakan ucapan Yuki.

Semenjak ada piano, Yuki sangat sering memainkan banyak musik dan les yang biasanya ada di rumah pamannya di pindah menjadi di rumah.

"bagus, aku nggak heran si karena ini Yuki, jadi pasti bisa melakukannya" tutor Yuki memang selalu kagum dengan permainan Yuki, walaupun bukan yang profesional, tapi bahkan setiap lagu seperti memiliki jiwa.

Yuki sangat suka bermain piano dan suka dengan musik, jadi ia selalu bermain dengan jiwanya, wajar jika lagunya terdengan selalu memiliki aura yang sangat baik.

"oh iya, sebenernya ada lomba untuk junior, nggak ada batasan umur, kamu mau coba?" Yuki menatap tutornya sejenak dan berfikir, ia tidak pernah berfikir akan mengikuti lomba samasekali, karena ia sangat menyukai musik, ia hanya ingin musik untuk dirinya sendiri, bukan untuk kompetisi semacam ini.

"nggak apa kalo kamu memang nggak mau, tapi nggak ada salahnya nyoba, anggep aja ini semacam pengalaman sama biar kamu ngerasain main piano di depan banyak orang, siapa tau suatu saat kamu bakal ada konser kan?" tutor itu mencoba untuk membujuk Yuki agar ikut dalam lomba, karena menurutnya dengan kemampuan Yuki saat ini mungkin Yuki mampu bersaing, sekalipun tidak juga tidak akan menjadi masalah, karena ia ingin agar Yuki memiliki pengalaman di atas panggung.

"..." Yuki berfikir sejenak, ia sangat ingin ikut, tapi ia tidak yakin akan kemampuannya. Setelah berfikir berapa saat, Yuki pada akhirnya mau mengikuti lomba itu "ok, aku mau, tapi aku nggak berharap buat menang si." Gumam Yuki.

"ya... nggak apa" setelah itu, tutornya memberi tau bahwa ada beberapa tahap dalam lomba itu agar bisa menjadi pemenang.

Dalam dua bulan lagi akan ada lomba tahap pertama lalu satu bulan berikutnya akan ada tahap ke dua, dan tahap itu akan sangat menentukan, lalu dua minggu selanjutnya tahap semi final dan terakhir satu minggu kemudian adalah final, di situ juga tahap yang amat penting.

Yuki tentu sangat antusias dalam mengikuti lomba itu, tutornya juga sudah mendaftarkannya, yang Yuki dengar, ini adalah lomba yang cukup besar bahkan ini bisa di atakan lomba nasional, Yuki cukup gugup dengan lomba ini walaupun bisa di bilang bahkan ia samasekali tidak berharap banyak.

Terdengar tidak optimis?

Tentu saja, Yuki tau bahwa ia bukan seseorang yang kompetitif dan selalu pesimis. Di kehidupan yang lalu, Yuki selalu memiliki kegagalan yang membuat Yuki nyaris muntah, ia selalu merasa kecewa saat mengharapkan sesuatu, ia selalu gagal saat ia mencoba memulai suatu hal terutama memulai membangun hubungan dengan teman-temannya.

Jika di ingat, Yuki benar-benar sangat muak.

Karena itulah, sifat pesimis ini selalu menghantuinya kemanapun ia melangkah, setiap ingin membuat keputusan, ia hanya akan memiliki perasaan yang buruk, Yuki tau pemikiran yang selalu buruk ini harus di buang, tapi ia sangat takut untuk merasa kecewa terus menerus.

Jadi ia berhenti berharap...

Berhenti percaya...

Walaupun begitu ia tidak ingin membuat malu keluarganya dan juga tutornya, walaupun pesimis dan tidak kompetitif, Yuki punya harga diri yang cukup tinggi, walaupun tidak akan menang, ia akan tetap berusaha agar permainannya tidak menyedihkan.

Berusaha, walaupun tau bahwa ia tidak akan berhasil.

Setidaknya ia sudah berusaha kan?

Semakin dekat dengan hari lomba, semakin Yuki bahkan tidak ada waktu untuk bermain-main, ia bahkan jarang bermain dengan temannya, ia hanya akan bermain dengan temannya saat di sekolah, bahkan itu tidak bisa di anggap sebagai bermain, ia hanya akan menanggapi beberapa perkataan temannya dan fokus dengan cerita yang di buatnya.

Ia masih sangat ingin menjadi penulis.

Akhir-akhir ini Yuki hanya bisa menulis saat di sekolah pada jam istirahat atau saat ia sudah selesai mengerjakan tugas yang di berikan gurunya.

"Yuki" Yuki hanya menoleh, melihat salah satu temannya datang menghampirinya "aku boleh liat tugas kamu nggak?"

Nyontek? Kalian masih kecil dan sudah hobi berbuat curang?

Walaupun dikehidupan yang lalu ia juga selalu mencontek saat ulangan memang, tapi semakin Yuki dewasa, ia semakin lelah saat menyontek, Yuki cenderung tidak terlalu perduli dengan hasil akhir nilainya.

Yuki menatap anak perempuan itu dan memberikan bukunya, Yuki tidak terlalu perduli dengan anak ini, biar saja terjerumus, itu pilihanya.

Setelah memberikan buku tugasnya, Yuki hanya melanjutkan pekerjaannya untuk menulis sampai bell istirahat berbunyi.

Seperti biasa, Yuki juga ikut keluar kelas dan membeli beberapa makanan ringan dan minuman dingin sebelum akhirnya ia kembali ke kelas dan memakan makannanya sembari melanjutkan tulisannya.

Pulang sekolah, Yuki akan melanjutkan latihannya bermain piano, ini adalah musik yang akan Yuki gunakan untuk lomba yang akan di adakan minggu depan, itu artinya kurang empat hari sampai lomba.

Yuki sudah menghafal lagu yang akan di gunakan, walaupun itu tidak perlu karena saat di atas panggung ia akan membawa partitur. Lagu yang akan Yuki bukan lagu yang terlalu sulit atau panjang, jadi ia bisa mengingatnya.

Tidak terasa hari inilah saatnya ia akan berlomba, lomba di adakan pada hari sabtu, Yuki pergi bersama ibu dan ayahnya, mereka sudah membuat janji dengan tutor Yuki untuk bertemu di tempat lomba jam 9 pagi ini.