Seorang wanita –ibu Yuki- sedang membantu kakak dari suaminya atau bisa di bilang kakak iparnya sekaligus pemilik asli rumah yang di tempati Yuki dan keluarga saat ini.
Wanita ini sangat suka membuat kue dan menjualnya. Sebenarnya ia tidak membutuhkan penghasilan karena keluarganya cukup kaya, ia memiliki 2 orang anak, putri yang lebih dewasa dan adik laki-lakinya, walaupun mereka sepupu Yuki, umur mereka terpaut cukup jauh, sekitar 10 tahun jauhnya.
Yuki menatap ibunya dan bibinya sedang membuat kue, aroma kue yang sangat wangi benar-benar menggugah selera, tapi kuenya belum matang dan itu memang bukan untuk ia makan, tapi untuk di jual.
Yuki cukup dekat dengan sepupunya ini yang terpaut 10 tahun lebih.
"Yuki, kamu udah nyelesain pr belom?" tanya ibunya sembari membuat kue kering.
"belom" Yuki berucap singkat.
"sini dek, biar di ajarin" sepupu perempuannya –Tifa- menyahut karena ia memang sedang ada di sana.
Yuki ingat sepupunya ini sering membantunya mengerjakan tugas saat ia masih TK, bahkan mengajarinya menulis, sepupunya ini juga cukup keras mengajarnya, jadi Yuki sedikit ingat.
"nggak usah... nanti aja lah, Cuma nulis angka 8 satu halaman, apa menariknya" Yuki menjawab dengan polos sembari meminum susu coklatnya, Yuki ingin tumbuh lebih tinggi jadi ia sering minum susu belakangan ini.
"...." Tifa hanya diam.
"...." Yuki berfikir sejenak "gimana kalo... ajarin bahasa inggris aja? Bisa kan?" Yuki menatap sepupunya dengan tatapan polosnya.
"bahasa inggris?" bukan Tifa yang menjawab, namun bibinya yang menjawab "kamu emang bisa bahasa inggris? Ngerti kamu?" tanyanya dengan nada geli.
"ya nggak bisa, makanya belajar..." Yuki berucap santai sembari manatap tangan ibunya yang sedang membuat kue nastar berbentuk keranjang kecil yang lucu.
"nggak terlalu jago si, kita coba aja..." Tifa orang yang lumayan terbuka sebenarnya, ia juga lumayan satu fikiran dengannya, karena itu mereka lumayan dekat di kehidupan sebelumnya, walaupun tidak sedekat itu juga.
"ok" Yuki beranjak dari duduknya dan mengikuti Tifa yang sudah mendahuluinya ke lantai dua.
Sepeninggalan mereka berdua, ibu Yuki bercerita tentang apa yang terjadi kemarin, di dengar oleh ipar dan suaminya, awalnya suami dari iparnya itu tidak terlalu mendengar kerena ia sedang membaca sebuah koran, tapi saat ia mengabil minum di dapur yang lumayan terbuka itu, ia jadi benar-benar mendengar.
"yah... tapi masalahnya, anak itu serius ato nggak, nanti udah cape-cape keluar duit buat bayar kelasnya malah nggak jadi apa-apa" ibu Yuki menyelesaikan ceritanya.
"apa salahnya coba, selama anaknya mau kan nggak apa..." pria dewasa satu-satunya di sana menjawab, wajahnya cukup datar, bukan karena ia kesal, memang ia bukan pria yang punya banyak ekspresi.
"iya sih... nanti coba di tanya lagi deh..." ibu Yuki menjawab dengan nada yang tidak berdaya, bagaimanapun juga kelas yang di pilih Yuki semua adalah kelas skill yang mungkin akan berguna di kedepannya.
Saat tiga orang dewasa itu sedang berdiskusi tentang kelas apasaja yang ingin di masuki Yuki, Yuki dan Tifa sedang belajar di lantai dua.
Yuki mengerti beberapa hal yang ia baca dan jelaskan sepupunya itu dan beberapa kali berbicara dengan bahasa inggris yang tidak lancar, jujur Yuki hanya bicara bahasa inggris secara freestyle dan tidak terlalu peerduli dengan susunan kata yang baik, jadi bahasa inggris yang mereka pelajari saat ini menjadi lumayan sulit.
Tifa sudah SMA kelas 3 dan malah belajar bahasa inggris di tingkatnya, ia cukup terkejut dengan pengetahuan bahasa inggris Yuki yang tidak seperti anak seumurnya, pengejaan dan logat Yuki saat bicara bahasa inggris benar-benar sulit, tapi tidak tertata dengan baik seperti yang ada di buku pelajaran.
"kamu ternyata jago juga bahasa inggrisnya" Tifa mengomentari Yuki dengan tatapan yang cukup terkejut, Yuki yang sedang membaca buku bahasa inggris milik Tifa yang di sana dengan jelas tertulis untuk kelas 1 SMA hanya menatap Tifa dengan tatapan polosnya.
"unexpected huh?" ucapan dan nadanya benar-benar bertolak belakang dangan tatapannya yang polos.
"I can only freestyle, not formal" Yuki menutup bukunya dan meminum susunya yang tersisa sedikit, ia menatap sekitar dan melihat sebuah piano di sudut suangan yang cukup berdebu, di atasnya terdapat banyak barang "hey, that piano... it can be used?"
"hmmm... don't know... that piano never be used... i think" Tifa menjawab sedikit ragu. Ia memang tidak pernah melihat piano itu di gunakan.
"can I try it?" Yuki menatap Tifa dengan tatapan polosnya.
"yaa... kalo ada listriknya, masalahnya aku nggak tau itu ada listriknya ato nggak" Tifa menjawab dengan ragu lagi.
Yuki akhirnya pergi untuk melihat piano itu, cukup berdebu karena memang tidak pernah di gunakan lagi, Yuki mencoba mengecek bagian belakang piano dan melihat bahwa tidak ada kabel di sana, menandakan piano itu memang tidak bisa menyala.
Yuki hanya bisa menghela nafas dan kembali ke bangkunya tidak mengatakan apapun lagi. Yuki merasa sayang dengan piano itu, ia tidak ingat kemana piano itu pergi di kehidupan sebelumnya.
"sayang banget pianonya dah..." ucap Yuki seadanya.
"yahh, gimana ya... emang nggak ada yang bisa main pianonya si, jadi ya nggak kepake" Tifa menjawab dengan santai.
Terus kenapa kalian beli?
Yuki tidak habis fikir dengan otak orang kaya, mereka menggunakan uang untuk sesuatu yang tidak mereka butuhkan, yah, ia bukan orang kaya jadi wajar ia tidak mengerti jalan fikir mereka.
"kamu mau coba?" suara di belakang Yuki mengagetkan mereka berdua. Itu pamannya, suami dari kakaknya ayah Yuki. Dia bukan orang yang buruk sebenarnya, Yuki tau bahwa pamannya ini hanya tidak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan dengan kata-kata, bahkan ekspresi, jadi ia biasanya hanya berwajah datar.
"boleh?" tanya Yuki.
"ya boleh, coba aja, nggak ada yang pake juga" pamannya itu coba mengecek listriknya dan mencolokannya ke stopkontak di dekat sana, ia menyalakannya dan mencoba 1 note.
Ting...
Itu berfungsi!
Yuki mendekati piano dan menekan beberapa note, Yuki sangat menyukai suara piano, sayang sekali ia tidak punya piano dan tidak bisa memainkannya, ia pernah bermain game yang bisa memainkan sebuah alat musik, Yuki memainkan game itu untuk hanya memainkan musiknya, walaupun nadanya tidak sebanyak piano asli, tapi Yuki senang bisa memainkan lagu yang ia suka.
Ia menguasai beberapa lagu di dalam game itu, tapi sayang di dalam game dengan di dunia nyata sangat berbeda, bagaimanapun juga di dalam game mereka punya sistem sendiri untuk menentukan note.
Tapi beruntung Yuki sering menonton tutorial piano di internet, jadi ia mengingat beberapa nada, walau sedikit, ia mencoba satu persatu nada di tuts piano dan memainkan dengan terbata sebuah lagu dari film kartun barat yang cukup terkenal.
Ia juga memainkan nada yang sederhana, itu pun terbata, hanya Yuki yang bisa mengerti lagu apa yang di mainkannya, jika orang lain mendengar, mereka hanya akan mendengar lagu asing yang dimainkan acak, bahkan mungkin hanya terdengar tuts yang pencet asal, bagaimanapun juga Yuki tidak terbiasa dengan piano asli padahal di dalam game Yuki bisa memainkan musik-musik terkenal.
"hmmm, lumayan..." gumam pamannya di belakang, bagaimanapun juga ia sudah mendengar tentang Yuki yang ingin bisa bermain piano. Pria itu beranjak dari sana, sedangkan Yuki tetap mencoba musik yang mungkin ia ingat atau ia kuasai di dalam game.
Tanpa terasa waktu berlalu dengan cepat, Yuki akhirnya pulang setelah ibunya memanggil, Jadi Yuki hanya bisa pulang sampai keesokan harinya ia cukup terkejut.
Ia terkejut karena pamannya bertanya apakah ia menginginkan piano itu, Yuki hanya terdiam menatap pamannya dengan tatapan tidak percaya.
"yah kan sayang juga di sini nggak ada yang pake" sekarang bibinya yang berucap.
"..." Yuki terdiam sesaat tapi saat ia ingin menjawab mau ibunya malah berucap "nggak usah lah, nanti ngerepotin kalian..." Yuki menatapa ibunya datar.
Hell! mereka bisa mendapat piano gratis dan masih bagus tapi ibunya menyianyiakan kesempatan! Astaga, Yuki ingin melompat dari gedung tinggi rasanya.
"nggak lah, lagian Yuki memang mau belajar piano juga kan?" pamannya berucap.
"iya, kalo mau ya tinggal ke sini aja, jadi nggak usah di bawa ke rumah, bukan apa-apa, tapi aku jadi nggak enak" jika bisa Yuki ingiin membenturkan kepalanya ke tembok.
"Yuki gimana? Mau nggak?" karena pria itu merasa tidak ada gunanya bicara dengan ibu Yuki, jadi ia bertanya langsung pada Yuki.
"mau..." Yuki menjawab dengan cepat tanpa berfikir lagi.
"tu anaknya aja mau..." bibinya menjawab.
"kamu kan juga nggak bisa mainnya, di rumah juga mau di taruh di mana?" ibu Yuki bicara dengannya, ia tau barang di rumahnya cukup penuh.
"..."
"kalo nggak bisa ya belajar, kamu mau masuk kelas piano kan katanya?" pamannya bertanya pada Yuki.
"iya... kalo nggak piano ya biola, biola kayanya lebih susah" gumam Yuki, tapi ia ingat pernah lihat violinis anak-anak yang luar biasa, ia jadi iri.
"jadi kamu mau piano ato biola?"
"...." Yuki memikirkannya, Jika ia memilih biola, benarnya ia juga menyukai alat musik itu, tapi alat musik itu sangat sulit jika di mainkan sendiri, jika benar-benar ingin musik yang bagus, harus ada piano atau biola lainnya "piano" lagipula Yuki lebih menyukai piano.
"les piano bayar berapa ya..." ibu Yuki bertanya-tanya.
"privat aja biar lebih fokus" pamannya memberikan saran. Yah... saran yang bagus, tapi privat? Berapa biaya yang harus di keluarkan untuk privat?
"yahh, biaya les biasa aja kayanya berat, gimana privat" ucap ibu Yuki sembari mencetak kue kering yang akan di panggang.
"true..." Yuki bergumam, ia tidak masalah belajar di mana pun, yang penting ia memiliki tutor yang bisa ia tanyai dengan baik.
"biaya nggak usah di fikir, nanti di biayain..." paman Yuki mengatakannya dengan masih menggunakan wajah datarnya.
"..."
"..."
Yuki dan ibunya merasa ada yang salah dengan pendengaran mereka.
"ha?" ibu Yuki memastikan pendengarannya menatap suami iparnya itu dengan tatapan aneh.
"iya, nanti di biayain..." ulang pria itu.
"nggak salah itu?" ibu Yuki tersenyum dengan canggung dan tentu saja tidak yakin dengan setengahnya merasa aneh.
"ya selama anaknya mau, kenapa nggak..." iparnya mengatakan dengan santai sembari mengaduk adonannya.
Yuki menatap ibunya dengan tatapan sulit.
"ihh... ini beneran?" ibu Yuki memastikan kembali, bagaimanapun juga mereka sudah menumpang hidup, sekarang hanya untuk biaya kelas Yuki, mereka turun tangan lagi?
"iya... sekarang jawabannya, mau ato nggak?" tanya pamannya tegas, karena Yuki tau ibunya akan bertanya lagi untuk memastikan jadi Yuki akan menjadi anak yang polos.
"mau!!" jawab Yuki dengan wajah senang sekaligus dengan nada polos.
"ya udah, nanti paman kasi tau kapan hari kamu latihan ya..." ucap pamannya sembari tersenyum dengan tipis nyaris tidak terlihat.
Yuki mengangguk dengan semangat "terimakasih paman!!" pura-pura polos, Yuki memeluk pamannya itu dan menatap dengan mata bulat besarnya yang terkesan polos.
Pamannya terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk sembari mengusap surai hitam Yuki yang sangat halus.
Ibu Yuki yang masih tidak bisa mencerna hanya bisa diam sembari menatap aneh suasana di depannya.
"udah... nggak apa, itu adonan jangan cuma di diemin heh" tegur iparnya membuat ibu Yuki hanya bisa melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Di kehidupan sebelumnya, ia tidak takut dengan pamannya ini, tapi juga tidak dekat, mereka juga sangat jarang bertemu, tapi suatu waktu ibunya pernah bercerita, jika bibi-bibinya sangat suka anak laki-laki, maka pamannya yang ada di depannya ini sangat menyukai anak perempuan, itulah sebabnya, ia lebih memanjakan anak perempuannya, bahkan di masa depan, ia mendapat dua orang cucu perempuan dari anak perempuannya dan mereka sangat di manja oleh pamannya ini.
Ibunya selalu bilang pamannya ini tidak terlalu menyukai ibu Yuki dan selalu menatap tajam, tapi Yuki tidak pernah melihat tatapa menusuk darinya, atau ia saja yang tidak peka? Tapi ia yakin ia memang tidak pernah mendapat tatapan tajam, Yuki selalu berfikir ya tatapan pamannya memang begitu, jadi mungkin itu memang hanya perasaan ibunya saja?
Ntah lah.
Malam harinya saat makan malam ibunya menegurnya.
"Yuki... tentang les piano, apa nggak kamu fikirin lagi? Mama nggak enak sama paman bibi mu" ibunya menatap putrinya dengan wajah cemas.
"kenapa emang?" tanya Yuri mendengar pembicaraan adik dan ibunya.
"itu, Yuki mau les piano, tapi yang biayain paman mu yang di depan itu" ibunya menjawab pertanyaan putranya.
"kenapa nggak? Mereka juga nggak keberatan, mereka juga yang nawarin, kenapa nggak? Kita juga nggak bisa bayar les kan? Jadi nggak apa" sesekali memanfaatkan orang bukan hal buruk, Yuki hanya bisa melanjutkannya dalam hati.
"..." ibunya hanya menatap putrinya, tatapan cemas namun juga observatif. Yuki tau ibunya ini sedang merasa aneh dengan sifatnya, tapi nanti juga lama-lama rasa aneh itu menghilang dan akan berfikir sifat aslinya memang seperti ini.
Apalagi ia memang akan semakin dewasa kedepannya.
Seusai makan, Yuki dan Yuri di minta untuk belajar di bawah bimbingan ibunya lagi, Yuki hanya mengerjakan tugasnya yang membosankan itu dan kembali mencoba hafalan perkaliannya.
Tidak buruk, ternyata otaknya masih bisa berfungsi dengan baik sama dengan umurnya, itu artinya ini sesuatu yang sangat bagus.