Chereads / Rebirth : New Life / Chapter 4 - Chapter 4 : Berubah menjadi pintar?

Chapter 4 - Chapter 4 : Berubah menjadi pintar?

Yuki, memasuki dapur menatap ibunya yang sedang memasak dengan matanya yang bulat. Ibunya yang merasa di perhatikan menoleh dan melihat ke arah bocah kecil itu.

"kenapa?"

"mama masak apa?" tanya gadis kecil manis itu dengan tatapan polos.

"sop" wanita dewasa itu melanjutkan acara memasaknya.

"hmmm" gadis kecil itu hanya bergumam dan berbalik, pergi meninggalkan ibunya. wanita itu berfikir, putrinya pasti akan protes, anak perempuannya ini terlalu pemilih dalam makannya, tapi ia bahkan tidak menyangka hanya deheman yang keliar dari mulut kecilnya, jadi ia memandang tidak percaya sejenak sebelum kembali memasak.

Hanya pembicaraan singkat. Di depan ia banyak bercanda dengan ibunya, tapi untuk saat ini, ia bahkan bingung harus mengatakan apa, ia sudah benar-benar lupa dengan topik apa yang ia bahas dengan ibunya di masa ini.

Jadi ia memutuskan untuk saat ini ia tidak akan mengatakan apapun sampai ia mampu beradaptasi dengan baik.

Besok hari jumat, besok juga ada pelajaran menggambar, sebenarnya gambar yang di buat Yuki bukan gambar yang buruk, ia bahkan bisa di katakan tidak buruk, ia bisa melukis dengan cat aklirik dengan baik, walaupun memang cat aklirik adalah tipe cat yang paling mudah di gunakan untuk melukis.

Yuki pernah membuat lukisan untuk tugas sekolahnya saat SMA, bisa di katakan lukisannya terbaik no 2, karena ia tau bahwa ada satu orang siswa yang memiliki lukisan lebih baik darinya dan sebenarnya, orang itu juga yang menjadi motivasi untuk Yuki membuat lukisan yang lebih baik.

Yuki melihat ke tumpukan peralatan sekolahnya, ia melihat tumpukan buku milik kakaknya dan juga miliknya di rak paling atas yang ia tau saat ia nanti memasuki SD akan lebih berantakan lagi dari saat ini, rak kedua ada peralatan sekolah dan yang paling bawah buku yang sudah tidak terpakai yang Yuki tidak mengerti kenapa buku-buku itu masih di simpan.

Terserah lah, ia hanya ingin mengecek peralatan menggambarnya yang sebenarnya alakadarnya, ia hanya memiliki pensil warna 12 warna yang untungnya itu water colour, saat ia kuliah bahkan peralatan menggambarnya jauh lebih lengkap lagi, jadi saat ini ia hanya perlu memikirkan apa yang bisa di gambar oleh pensil warna ini.

Ia akan memikirkannya besok, apa boleh buat, warna yang di milikinya hanya 12, sangat terbatas, sangat sulit mencampur warna dengan pensil warna.

Saat makan malam tiba dan Yuki melihat ibunya mengambilkan nasi untuknya, jadi ia mendekat.

"ma, dikit aja" sebenarnya Yuki lebih suka mengambilnya sendiri, dengan begitu sesuai dengan porsinya, tapi bahkan meja tempat nasinya jauh lebih tinggi darinya.

"iya" ibunya hanya menjawab tanpa memandang putrinya.

"kalo kebanyakan, nanti nggak abis ma, kalo kekenyangan nanti malah sakit perut" mencari alasan.

"iya"

Yuki benar-benar tidak percaya dengan ibunya ini, lain kali dia akan benar-benar mengambil sendiri makanannya seperti biasa.

Benar saja saat makanan tersaji di depan Yuki, porsi itu untuk orang dewasa!

Ayo lah, dia hanya anak 6 tahun dan ibunya memberi makan porsi orang dewasa.

"ma, ini kebanyakan" Yuki menegur ibunya dengan wajah datar melihat makanan di depannya.

"makan aja yang banyak, abisin biar gendut"

percayalah, Yuki hanya akan memuntahkannya jika ia menghabis kan porsi ini, bahkan ia saat sudah dewasa akan sakit perut jika makan dalam porsi sebanyak ini.

"haha... aku bukan bakal gendut ma, aku bakal muntah abis makan sebanyak ini..." Yuki mengucapkannya dalam nada yang masih datar tanpa melihat wajah ibunya.

Yuki menghela nafas "aku nggak akan abisin ini"

"abisin, nanti nasinya nangis lho" bujukan apa itu? Astaga.

"aku makin nggak mau makan kalo nasinya bisa nangis" Yuki masih mengatakannya tanpa nada dan ekspresi sama sekali.

"abisin, diluar sana masih banyak yang butuh makan, nggak boleh buang-buang makanan" wanita yang lebih dewasa itu mengomel.

"makannya itu dari awal kan aku udah bilang jangan banyak-banyak, nanti aku nggak habis, aku udah ngomong lho" sepertinya Yuki melupakan jati dirinya yang seorang anak umur 6 tahun.

"pokoknya abisin" jawab wanita itu final.

"nggak akan, aku abisin tapi jangan salahin aku kalo akuk muntah gara-gara kekenyangan" Yuki menjawab dengan tidak kalah ketus.

Yuki memakan makanannya, ia benar-benar tidak menghabiskan makanannya dan segera pergi dari meja. Kabur.

"heh!! Makanannya belum habis!! Habisin dulu!!"

"nggak" Yuki tetap menjauh dari meja "kasi ayam aja, aku nggak mau makan lagi" Yuki tadi sempat melihat ada kandang ayam besar di belakang rumahnya, ia baru ingat dulu saat masih kecil, mereka punya ayam yang sangat banyak, ntah apa yang mereka pikirkan, apa mereka ingin membuat peternakan ayam?

Ibunya sudah tidak memanggilnya lagi dan hanya mengomel. Tentu saja Yuki tidak peduli.

Yuki ingat terakhir kali saat pemakamannya, ibunya menangis di depan makam dengan namanya.

Di keluarganya, terutama di keluarga intinya, mereka tidak mengatakan kasih sayang dengan kata-kata, hanya tindakan-tindakan yang tidak langsung saja membuat jika mengungkapkan secara langsung justru menjadi canggung dan bikin merinding.

Jadi apa yang di lakukan ibunya tentu Yuki sangat faham dan mengerti kenapa, Yuki tidak menyalahkan ibunya memberi makan sebanyak itu.

Yuki sejak kecil memang cenderung makan dengan sedikit, membuatnya sangat mudah terserang penyakit, saat ia belum memasuki TK, ia terkena penyakit flek paru-paru sekaligus gejala typus, karena itulah ibunya agak sedikit ketat dengan makanan yang Yuki makan.

Tapi memang harus dengan sebanyak itu? Itu namanya penyiksaan.

Tindakan Yuki yang tidak peduli juga bukan berarti dia benar-benar tidak peduli, Yuki memang bukan orang yang eksprsif, mirip dengan ayahnya.

Saat malam tiba, saatnya belajar, Yuki tidak tau lagi apa yang harus ia pelajari, jika ia boleh memilih, ia lebih memilih belajar bahasa inggris, bukan belajar membaca semacam ini, tapi bahkan di rumahnya tidak ada yang bisa berbahasa inggris dengan lancar.

Yuki sangat ingin belajar bahasa inggris. Saat ia sudah dewasa, ia banyak belajar dari freestyle yang di lakukan member grup favoritnya yang memiliki anggota asing, bahkan Jay sangat ahli berbahasa inggris, Yuki dengar, Jay memang sempat tinggal di amerika beberapa tahun, wajar ia bisa berbahasa inggris.

Teman-temannya yang lain bahkan lebih mengagumkan lagi, sayangnya jika kamu belajar bahasa inggris di sekolah akan berbeda dengan freestyle yang di lakukan member grup itu.

Tetap, Yuki pertama akan mengahafal kosakata bahasa inggris terlebih dahulu, lagipula ia saat ini ingin menguji kemampuan otaknya, apakah mampu bekerja dengan baik, atau sudah sama lemotnya dengan saat ia sudah dewasa, karena saat ia sudah dewasa, otaknya sudah terkontaminasi hal-hal tidak baik.

Tapi ia lupa satu hal, mereka tidak punya buku kamus bahasa inggris, astaga, kakaknya belum belajar bahasa inggris di sekolahnya, jadi mereka belum membelinya, belum lagi saat ini ia belajar di bawah bimbingan ibunya.

Yuki ingat saat ia tidak mampu membaca, ibunya akan semakin emosi dan akan mencubitnya atau memukulnya, itu adalah momok menakutkan terbesar dalam hidup Yuki, yang membuatnya membenci belajar di tempat pertama.

"coba baca ini" wanita itu menunjuk sebuah kalimat, ia meminta Yuki untuk membacanya.

Yuki hanya membaca apa yang di suru ibunya dengan baik, bukan karena ia ingin ketahuan, ia hanya ingin lanjut ke pembelajaran berikutnya, ia bosan hanya belajar membaca setiap saat.

Yuki biasa menghabiskan novel dengan tebal yang sama dengan kamus atau buku jurnal kedokteran, ia juga sangat suka membaca fanfiction, dari karya biasa sampai karya luar biasa ia sudah membacanya.

Jika hanya kata-kata 'ibu pergi ke pasar' astaga, jujur itu membuat Yuki sejak tadi menahan tawanya.

"waahhh, udah pinter ya anak mama, udah bisa baca!" ibunya tampak sangat bahagia dengan perkembangan putrinya. Yuki yang merasa canggung hanya bisa tertawa kaku.

"karena sudah bisa membaca, gimana kalo kita belajar menghitung?"

Wanita itu menuliskan soal penjumlahan dan juga pengurangan di sebuah buku tulis dan memberikan soal itu ke Yuki.

Jujur saja Yuki sangan lemah dengan pelajaran matematika dan itu adalah pelajaran yang paling di benci olehnya, saat sekolah dulu, nilai matematikanya bahkan tidak pernah lebih dari 50, tapi soal di depannya soal anak TK, bagaimana mungkin Yuki tidak mampu melakukannya?

Jadi Yuki hanya mengerjakan soal itu dengan sangat cepat dan benar, ia hanya ingin melanjutkan pelajaran ke tingkat selanjutnya.

Yuki merasa jika ia teralu bersantai, maka kejadian di kehidupannya sebelumnya akan terulang kemballi, dimana ia tidak pintar, nilainya tidak bagus walaupun bukan yang terburuk juga, hanya, ia ingin meningkatkan kemampuannya.

Ia ingin mencoba apa otaknya benar-benar berfugsi seperti anak umur 6 tahun.

"baguss! Bener semua!" ibunya tampak lebih senang.

"..." Yuki hanya diam dan menatap ibunya, tidak lupa ia menghela nafas dalam hatinya. Yah tidak buruk membuat ibunya senang, setidaknya ada yang membuat ibunya bangga padanya saat ini, dulu jangankan membuat ibunya bangga, ia hanya beban di keluarganya.

Sebenarnya ada sesuatu yang membuaut Yuki tidak nyaman, belajar menulis, sudah berapa tahun ia tidak menulis? Ia selalu mengetik tugasnya semenjak memasuki kuliah, ia sangat jarang sekali menulis.

'tulisan ku akan sangat buruk sekarang, bahkan sejak awal tulisan ku memang tidak bagus' tapi Yuki tidak ingin memikirkan lebih jauh, yang penting ia bisa menulis, bagus atau tidak, itu bukan masalah selama masih bisa di baca.

Jika di bandingkan dengan tulisan kakak nya, tulisannya masih bisa di baca, sedangkan tulisan kakaknya bahkan ia sendiri tidak bisa membaca tulisannya sendiri, tulisan tangan kakaknya tidak jauh berbeda dengan tulisan dokter, ibu mereka selalu mengatakan tulisannya mirip rumput.

Tapi dugaan Yuki salah, ia berfikir ibunya akan menyurunya belajar menulis, tapi ternyata tidak, ia menyurunya belajar sendiri, jadi Yuki hanya menaikan alisnya bingun dan menatap ibunya yang beralih untuk membimbing kakaknya yang sudah SD.

Kakaknya sudah SD kelas 2 jadi ia butuh belajar lebih lagi dan kakaknya itu bukan orang yang pintar dalam belajar juga, walaupun bisa di bilang dia lebih pintar dari Yuki dalam pelajaran, tapi kemampuan deduksi yang di miliki Yuki lebih tinggi, Yuki lebih mampu menyimpulkan sesuatu, bahkan ia lebih ahli memprediksi sesuatu, kemampuan seni Yuki juga lebih baik.

Ia hanya menatap ibunya dan kakaknya yang sedang belajar, sesekali ibunya menjelaskan apa yang kakaknya pelajari. Dulu ibunya pernah bercerita bahwa ia pernah menjadi guru.

Sebenarnya, Yuki sangat bosan, tapi jika ia meninggalkan meja belajarnya, ibunya akan marah-marah, menghindari itu, Yuki hanya iseng mengambil buku di tumpukan buku milik kakaknya.

Ia mengambil buku tebal matemaatika kakaknya dan hanya menatapnya, membaca beberapa penjelasan dan memahaminya.

'hoooo, ternyata semudah ini? Kurasa dulu otak ku hanya tidak ingin memahaminya saja karena sudah membecinya di awal' Yuki membalik buku tulis kakaknya, ia menatap perkalian di sana dan menghafalnya. Ia tidak menghafal perkalian samasekali dulu, otaknya benar-benar tumpul saat menghitung sesuatu.

Yuki masih mencoba menghafal perkalian itu sampai ibunya datang lagi dan menegurnya, karena memang mejanya dengan meja kakaknya bersebelahan.

"kamu ngapain?" tanya wanita itu menatap Yuki dengan tatapan aneh.

Yuki sempat tersentak kaget mendengar ibunya bicara dengannya tiba-tiba, ia sedang fokus menghafal.

"ngagetin aja si!" Yuki berucap kesal.

Ibunya tertawa melihat wajah kesal Yuki yang lucu "ya kamu lagian ngapain si?" masih dengan sedikit geli.

Yuki hanya menatap ibunya datar "lagi tidur ma"

Ibunya kembali tertawa geli "emang kamu ngerti perkalian?"

"ya... tapi nggak hafal" ucap Yuki masih dengan wajah datar karena kesal.

"masa?" ibunya berucap tidak percaya, tentu saja tidak percaya, anak umur segini manabisa perkalian "coba, 1x2 berapa?"

Masih dengan wajah datarnya Yuki menjawab dengan mulus "2"

'nenek-nenek sekarat juga tau ma' Yuki merasa jengkel.

"kalo 2x2?"

"4"

"2x3?"

"6"

"3x3?"

"9"

Wanita itu menaikan sedikit alisnya memandang anaknya dengan tidak percaya.

"5x2?"

"10. sampe 5 aku hafal, perkalian 9 sama 10 aku juga faham, perkalian 6, 7, 8, aku nggak hafal"

"7x9?"

"63. Udeh mak..." Yuki sudah mulain jengkel.

"pinter kamu matematika, ko bisa?" ibunya memandang putrinya tidak percaya.

"bisa perkalian belum tentu pinter matematika ma" jawab Yuki dengan santai, ia kembali membaca buku matematika kakaknya.

"kalo pembagian?"

"nggak bisa"

Karena ucapan Yuki, ibunya mulai menjelaskan tentang pembagian dengan panjang kali lebar. Yuki lagi-lagi hanya menghela nafas dalam hati.

"aku ngerti teorinya ma, tapi Cuma nggak hafal aja"

Ibunya hanya menatap putrinya dengan tatapan aneh "Yuki..." panggil ibunya yang hanya di balas deheman singkat Yuki.

"bahasa mu aneh..."

"...."

Yuki lupa dia anak umur 6 tahun, tapi bahasanya bahkan sudah seperti anak SD kelas 6 mungkin?

Jadi Yuki memutuskan pura-pura tidak mengerti ucapan ibunya beruntung ia punya wajah yang polos, jadi Yuki hanya menatap ibunya dengan mata besarnya "ha?"

Ibunya kembali terdiam dengan menatap putrinya dengan tatapan aneh "nggak, nggak apa-apa" setelah itu ia berbalik kembali ke meja putranya.

Yuki penahsaran, apa ibunya saat ini punya niat membawanya ke psikolog?

Jika di fikir-fikir lagi itu tidak masuk akal, biaya ke psikolog lumayan mahal, daripada untuk ke psikolog, ibunya pasti akan lebih senang jika uangnya di gunakan untuk makan saja.

Yuki akhirnya hanya kembali sibuk dengan kegiatannya yang semula, ia mencoba kembali menghafal perkalian yang sempat tertunda, ia berharap dugaannya benar, jika iya, Yuki punya kesempatan setidaknya merubah nilainya.