Febi telah beberapa kali melihat pengantar resumenya di majalah keuangan, bab besar yang dipenuhi dengan pujian. Latar belakang luar negeri, lahir di keluarga kaya, memulai bisnis pada usia 12 di bawah kepemimpinan mantan direktur Grup Alliant. Pada usia 16 tahu menjadi ahli akuisisi profesional, dia hebat dalam mengakuisisi berbagai hotel yang akan bangkrut, mengatur ulang dana dan membuat hotel itu kembali berjalan. Pada usia 18 tahun, dia menjadi direktur regional. Pada usia 22 tahun, dia menjadi direktur eksekutif wilayah asia-pasifik.
Pengalaman ini telah lama diberi warna misterius oleh media. Pria ini dianggap sebagai pebisnis yang legendaris.
Febi tidak pernah membayangkan suatu hari dia akan memiliki hubungan dengan orang ini. Hanya saja setelah hari ini, mereka berdua tidak akan memiliki hubungan apa pun lagi. Bahkan jika mereka bertemu lagi, mereka hanyalah orang asing. Kebohongannya dibayar dengan sebuah tamparan, mereka berdua sudah tidak berhutang satu sama lain lagi.
Febi mengambil napas dalam-dalam, lalu dia berjalan ke jalanan yang bercahaya remang. Melihat bayangan kesepian yang terlihat di tanah, Febi mengingat kembali semua yang terjadi hari ini, rasa sakit di tubuh Febi mulai menyebar hingga membuat hatinya berkecamuk.
Di mana suaminya sekarang?
…
Ketika dia sampai di rumah, ibu mertuanya, Bella sedang membaca majalah model di sofa. Ketika dia melihat Febi, dia langsung mengejek, "Kenapa? Sepanjang hari tidak mengangkat telepon, wajahmu sangat tidak baik. Hasilnya tidak memuaskan, ya?"
Febi menarik napas dalam-dalam, dia memaksakan diri untuk tersenyum, lalu meletakkan hasilnya di depan Bella dengan lembut, "Aku membuat Ibu kecewa. Coba lihatlah."
Usha yang kebetulan keluar dari kamar mandi mendengar apa yang Febi katakan, dia langsung tersenyum dan berlari ke sisi Bella, "Tidak bisa melahirkan anak, ya? Bu, biarkan Ayah melihat hasilnya, aku tidak percaya Ayah lebih memilih menantu ini daripada cucu!"
Bella mengerutkan kening, dia melihat hasilnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun dalam waktu lama. Usha menjulurkan kepala untuk melihat, senyum di wajahnya langsung membeku, "Bagaimana bisa normal? Apakah benar kakakku ...."
"Aku harap kalian semua ingat dengan apa yang kalian janjikan padaku dua hari yang lalu." Febi memberi mereka tatapan yang acuh tak acuh. Melihat wajah pucat mereka, setidaknya saat ini, dia merasa sangat bahagia. Febi tersenyum dan berbalik ke atas dengan anggun tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Saat dia berbalik, senyum di wajahnya berangsur-angsur kaku. Di belakangnya ada teriakan aneh Usha, "Bagaimana ini bisa normal? Bu, kelak Ibu tidak akan punya alasan untuk mengusirnya lagi!"
…
Saat mandi, air menyentuh luka di tubuh bagian bawahnya, Febi masih merasa perih. Celana dalam yang dilepas, ternoda oleh darah yang berwarna merah cerah yang sudah mengering. Warna itu begitu menyilaukan dan menusuk hingga mata Febi terasa panas.
Pada saat itu, pintu kamar mandi dibanting hingga terbuka. Febi terkejut, dia mendongak dan melihat Nando berdiri di pintu. Nando jelas telah minum, dia terlihat sedikit tidak sadar.
Akhirnya, dia kembali ....
Sehari tidak melihatnya, dia telah berganti pakaian. Namun, aroma parfum bercampur aroma anggur masih begitu jelas sehingga membuat Febi merasa mual.
Seolah-olah Febi tidak melihat Nando, dia berjongkok untuk mencuci baju ganti.
Nando berdiri di sana sambil menatapnya. Setelah menonton sebentar, Nando tiba-tiba berkata, "Febi, ayo cerai!"
Tangan Febi yang mencuci pakaian menjadi kaku. Saat berikutnya, Febi menggosok pakaian itu lebih keras. Ujung hidungnya terasa perih bahkan hatinya pun terasa sakit.
Nando seakan tidak puas dengan sikap Febi yang tidak memedulikannya, Nando mengulurkan tangannya dan menarik Febi untuk berdiri.