"Semua orang berkata wanita tidak akan mengungapkan isi hatinya, sepertinya memang benar." Nando menekuk kakinya yang panjang dan langsung menekan lutut Febi, dia menahan kaki Febi yang tertekuk.
Nando menatap Febi dengan tajam, "Febi, bagaimanapun ini bukanlah pertama kalinya bagimu, tidak perlu berpura-pura menjadi wanita suci, itu hanya akan membuat orang merasa jijik!"
Satu kalimat itu seakan telah menusuk mata Febi hingga mengeluarkan air mata.
Tetesan air mata yang mengalir keluar membuat Nando tertegun sejenak, mata Nando menyipit. Febi mengangkat bibirnya dengan arogan dan mencibir, senyumnya terlihat sedih, "Ya, kamu benar. Lagi pula, aku bukan perawan. Aku bisa melakukannya dengan siapa pun! Tapi tidak denganmu! Nando, kamu membuatku jijik!"
Kata-kata yang diucapkan Febi sudah mencoreng harga diri laki-laki Nando. Rasa bersalah Nando yang baru saja melintas karena air mata Febi seketika menghilang dan berubah menjadi kemarahan yang lebih besar.
"Jijik? Baik, kalau begitu aku akan memperlihatkan padamu sesuatu yang lebih menjijikkan!" Setelah menggertakkan giginya, Nando mengangkat tangannya yang panjang. Dia menangkap Febi, lalu memeluknya dan meraba-raba tubuh Febi.
Dalam napasnya, tercium aroma menggoda dari tubuh Febi setelah mandi.
Harus diakui meskipun wanita ini sangat menyebalkan, Febi tetap bisa membuat Nando bergairah.
Mata Nando menatap lurus ke arah Febi, keinginan yang kuat dengan cepat memenuhi mata Nando, bahkan napasnya menjadi terengah-engah.
Jika sebelumnya, Febi mungkin akan merasa bangga, lihat! Bukankah Nando akhirnya juga jatuh ke dalam pelukannya? Namun, saat ini ....
Selain kemarahan, hanya penghinaan besar yang muncul di hati Febi.
"Nando, lepaskan aku! Aku tidak mengizinkanmu menginjak-injakku seperti ini!" Dia meronta dan menendang, berusaha mati-matian untuk menghindari pandangannya.
"Febi, sepertinya dalam dua tahun terakhir ini aku telah meremehkanmu ...." Suara Nando menjadi serak, dia menatap Febi dengan tajam. Lalu, dia membungkuk dan menggigit bibir Febi.
Febi tidak mau kalah, dia membuka mulutnya dan menggigit bibir tipis Nando hingga berdarah. Bau darah masuk ke mulutnya, Nando mengerang kesakitan dan telapak tangannya menjulur ke bawah ....
"Jangan!" teriak Febi dengan kaget. Dia melepaskan gigitannya pada Nando. Saat Febi berbicara lagi, suaranya sudah terisak, "Nando, jangan sentuh aku dengan tangan kotormu! Aku tidak mau .... Tadi malam kamu baru saja menyentuh Vonny. Sekarang kamu menggunakan tangan itu untuk menyentuhku, tidakkah kamu merasa jijik?"
Penghinaan besar itu membuat air mata Febi mengalir semakin deras.
Nando kembali tertegun, terlintas jejak emosi di matanya yang begitu rumit yang bahkan dia sendiri juga tidak mengerti apa yang terjadi.
Dalam dua tahun terakhir ini, Nando belum pernah melihat Febi kehilangan kendali seperti ini. Dalam menghadapi penindasan ibu dan adiknya, Febi selalu bisa menyelesaikannya dan masih bisa bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Oleh karena itu, Nando selalu berpikir bahwa wanita ini seperti sebongkah besi, besi yang tidak dapat dipecahkan oleh siapa pun.
Saat Nando tertegun, Febi menarik tangannya dari telapak tangan Nando. Tanpa berpikir panjang, dia menggertakkan giginya dan menampar wajah Nando dengan kuat.
Nando ditampar hingga memalingkan wajahnya. Di dalam telinganya terdengar suara berdengung sejenak. Ketika dia tersadar, Nando langsung marah, dia berharap bisa langsung mencekik Febi hingga mati.