*
*
Abaddon menepuk punggung Sakura pelan. Seakan mencoba menenangkannya, saat dia menyadari suara Sakura menjadi parau.
"Aku menunggu beberapa hari di sana. Menatap kosong ke sekitar ruangan. Aku tidak dapat bergerak. Namun mataku mencari keberadaanmu." Dia terisak. "Aku menunggumu." Dia mengulang kalimatnya lagi. "Kenapa kamu tidak mencariku?"
"Maafkan aku."
"Aku tak ingat apa lagi yang aku fikirkan. Aku hanya sadar saat aku sudah berada di lantai kamarku. Menggambar diagram dan menggunakan darahku untuk memanggilmu."
"…"
"Lalu kamu muncul di hadapanku." Suara Sakura sudah berubah lebih tenang. "…Dan bertanya apa permintaanku. Dengan suara yang begitu asing di telingaku."
"Maafkan aku." Ulang Abaddon lagi. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi.
"…kontrak." Sakura berhenti setelah mengucapkan satu kata. Seakan berfikir sesuatu. "Apa kita sudah berada dalam perjanjian kontrak?"
"Kontrak manusia yang menjual jiwa kepada demon akan terjadi saat manusia itu mengatakan dengan suaranya apa keinginannya."
"Apa semua manusia yang menginginkan hal yang tidak mungkin akan menggambar diagram itu juga dan memanggilmu?"
Abaddon hanya diam tidak menjawab pertanyaannya.
"…Setelah mereka mengatakan permintaannya, lalu kontrak akan otomatis terjadi?"
"Aku harus menjawabnya untuk menyegel kontrak itu."
"Jadi jika kamu tidak menjawabnya, kontrak itu juga tidak akan terjadi?"
"Benar."
"Kalau begitu jawab aku sekarang!" Sakura melepaskan dirinya dari pelukan Abaddon dan menarik kedua pipi Abaddon dengan kedua tangannya, memaksa Abaddon menatap kedua matanya. "Aku ingin Kii menjadi pacarku! Lalu dia menikah denganku! Dia menjadi milikku!" pernyataannya begitu tegas.
Abaddon hanya tertawa.
"Jawab Kii!"
Abaddon semakin keras tertawa.