"…Bahkan, Your Majesty semakin melemah… tapi Your Majesty tidak menyadari itu."
Suara Syeol memaksa Abaddon sadar dari tidurnya. Namun dia masih tidak dapat sepenuhnya sadar. Kepalanya terasa begitu berat. Keningnya mengerut saat dia mencoba memaksa membuka matanya.
Dengan mata yang masih nanar, dia mencoba membangunkan tubuhnya. Bau darah membuatnya memaksa kesadarannya untuk membuka mata.
"…Hotaru?"
Abaddon melihat tubuh Hotaru beberapa langkah di depannya tidak bergerak.
Mata Abaddon memeriksa seluruh tubuh Hotaru yang diselimuti pakaiannya yang telah berganti warna menjadi merah pekat. Tangannya menjulur ke arah Abaddon. Seakan ingin meraihnya. Namun tak sampai untuk menyentuhnya.
"…Hotaru?" Abaddon kembali memanggil namanya. "Hei, aku memanggil namamu." Ucapnya setengah sadar apa yang telah terjadi.
Dia mencoba mendengarkan dengan jelas jika Hotaru membalas panggilannya. Bukankah Hotaru sangat suka jika Abaddon memanggil namanya? Abaddon masih dapat membayangkan ekspresi Hotaru yang akan menatapnya dan pipinya akan bersemu memerah. Lalu Hotaru akan tersenyum dan menggigit bibir bawahnya dengan malu.
Tapi tidak ada yang terjadi.
Hotaru tetap diam tak bergerak di sana.
Abaddon bahkan tidak berdiri. Dia menggeser pelan tubuhnya mendekati Hotaru. Menarik tangan Hotaru yang kini terasa dingin-tidak hangat seperti biasanya- ke arahnya.
Kini Abaddon mengelus wajah Hotaru. Matanya terpejam. Abaddon tampak bertanya pada dirinya, kenapa Hotaru tidak menatapnya. Lalu dia memegang kedua pipi Hotaru, berharap matanya akan terbuka. Ada bekas aliran air mata di ujung pipinya. Bibirnya tak lagi bersemu merah, tapi sudah memucat.
Abaddon memeluk Hotaru.
Dingin. Abaddon merasakan seluruh tubuh Hotaru dingin. Dia merasakan suhu tubuh Hotaru sama dengannya.