"Bibi, aku perhatikan ... Bibi sering kali murung akhir-akhir ini. Apa ada masalah?"
"Tidak, Tuan. Tidak ada masalah apa pun."
"Hmmm, apa Bibi cemburu sekarang aku sudah punya istri? Bibi merasa tidak kuperhatikan, ya?"
"Tuan muda, itu tidak benar! Bibi sangat bahagia akhirnya kau menikah!"
"Sungguh?"
Shin tersenyum geli mendengar Jae menggoda Bibi Tin ketika wanita paruh baya itu menyajikan beberapa hidangan menu sarapan di meja makan. Shin sendiri masih ada di dapur dalam. Jae pria yang hangat. Berbeda dari penampilannya yang bersih dan rapi, pria itu sama sekali tidak risi dengan kebiasan Shin yang suka bersin tiba-tiba di depannya. Jae malah menutupi hidung Shin dengan tangannya sendiri. Diam-diam Shin tersanjung diperlakukan seperti itu kendati sangat memalukan. Ia pun lantas keluar membawa jus jeruk menghampiri keduanya. Shin menyuguhkannya untuk sang suami yang masih terus menggoda Bibi Tin dengan gurauannya dan juga untuk Kim yang baru menempati kursinya.
"Mau ke mana?" Jae menarik tangan Shin saat Shin hendak kembali ke dapur. "Duduklah."
"Tapi—"
"Nyonya, urusan dapur sudah selesai. Nyonya bisa temani Tuan Jae makan," sela Bibi Tin, lalu pergi.
"Kim." Jae melirik ke arah asistennya dan menyuruhnya pergi dengan isyarat kedipan mata.
"Oh! Ti-tidak perlu, kenapa harus pergi?" Shin mencegah Kim yang hendak beranjak dari duduknya.
"Kim biasa makan di belakang," timpal Jae. "Iya, kan?" katanya menatap Kim dengan mata mengancam.
"Ah! Iya, iya, itu benar! Nyonya santai saja, aku suka makan di belakang sambil menikmati air kolam. Maksudku, pemandangan air kolam." Kim lalu terkekeh kaku.
Kim pun melaksanakan perintah Jae, dia berlalu, membuat Shin merasa tidak enak sendiri.
Jae menarik tangan Shin perlahan dan memintanya menduduki kursi pendamping di sebelahnya, sementara Jae telah menduduki kursi utama di ujung meja. Dia juga membukakan piring untuk Shin dan mengambilkannya nasi.
"Cu-cukup, aku bisa ambil sendiri."
"Baiklah."
Shin mengambil beberapa menu tanpa keinginan dari hatinya. Ia mengambil apa yang dilihatnya. Setiap menghadapi pria itu, pikiran Shin tak mampu terfokuskan. Ia selalu gugup dan terkadang salah tingkah. Kerja otaknya menjadi lemah sehingga ia tak berkekuatan mengendalikan dirinya sendiri. Shin menjadi hilang akal dan tak bisa berpikir secara tanggap.
"Apa makanan yang kau sukai?" Jae bertanya saat Shin melahap makanannya di sendok pertama.
Selalu dengan leher yang berputar secara kaku, Shin beralih menatap suaminya. "Apa saja," jawabnya asal, malah mendapat tawa kecil dari Jae.
"Apa saja? Hmm ... itu jawaban yang simpel tapi sangat berat artinya."
Shin tidak merasa itu lucu dan ingin tertawa. Ia mengatakan yang seadanya. Itu memang benar, ia dan Sora akan memakan makanan apa saja yang mampu dibelinya. Untuk bisa makan saja sudah untung, pikirnya.
"Selama itu masih bisa dimakan," Shin menambahkan.
Sekali lagi ia mendapat tawa dari Jae meski Shin tidak sedang bercanda. Kali ini dia memperlihatkan seluruh barisan giginya. Matanya yang sipit pun semakin sipit.
"Kau lucu sekali," timpal Jae lalu kembali menyantap makanannya.
Apakah ini adalah caranya untuk mengenal Shin lebih dekat dengan mencari tahu apa yang disukai Shin? Jika memang begitu, sepertinya Shin telah salah memberikan jawaban. "Lalu ... apa makanan yang kau sukai?"
"Hah?" Jae bengong menatapnya.
Karena menyesal, Shin pun berpikir untuk melakukan hal yang sama, dengan melemparkan pertanyaan serupa. Jika ia bisa memberikan jawaban yang lebih baik, tentu percakapan mereka kali ini akan lebih menumbuhkan ketertarikan.
Jae berpikir keras, sepertinya dia tahu Shin mulai memikirkan hal yang sama. "Mulai sekarang ... aku akan memakan apa pun yang kau masak untukku," jawabnya menegun Shin sejenak.
Jae kembali meneruskan acara sarapannya. Shin juga menikmati makanannya, tapi dengan setengah melamun. Mencoba mencerna apa yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Semuanya begitu singkat, tapi Shin merasa sudah lama terlibat dalam hubungan ini. Semua itu tidak lepas dari cara Jae bersikap. Dia selalu tenang dan tidak pernah ragu-ragu kepada Shin. Seolah-olah Shin telah berpengaruh pada hidupnya selama ini. Shin merasa ... pria yang menjadi suaminya kini seperti telah lama ada dalam kehidupannya yang lalu. Ini aneh ... kenapa Shin juga merasa Jae sudah suka padanya sejak sebelum mereka menikah?
"Shin, apa kau pernah berpacaran sebelum ini?" Jae melontarkan satu pertanyaan lagi dan langsung membuat Shin tersedak.
Shin bergegas mengambil minumannya. Karena terburu-buru, ia mengambil jus jeruk yang ada di situ. Bukannya merasa lega, Shin semakin terbatuk-batuk. Tangannya yang bergetar pun menumpahkan sebagian minuman kental itu ke bajunya.
Jae berdiri. Dengan serbet yang tersedia di sisi piringnya, Jae beranjak ke tempat duduk Shin. Pria itu berdiri di belakang kursi Shin, lalu membungkukkan punggung untuk dapat membantu Shin membersihkan noda yang mengotori bagian dadanya. Shin mencekang dalam sekejap. Ketika tangan Jae menekan-nekankan serbet itu di dadanya berkali-kali ... secara merata ... dia menyentuhnya! Shin gemetar dalam duduknya yang kaku. Aduh, gawat! Jae menekan dadanya! Astaga! Tuhan, bagaimana ini? Shin panik, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia mematung meski jiwanya memberontak. Entah sengaja atau tidak peka, pria itu—dengan wajahnya yang tenang seperti tanpa dosaterus saja mengusap sebelah dada Shin yang memang basah di bagian itu, dan Shin ingin sekali menangis!
Akhirnya dengan sedikit memaksakan tangannya, tapi tetap dalam kesopanan, Shin menyingkirkan tangan Jae dari dadanya. "Ngg, Tu-Tuan ... A-aku akan membersihkannya sendiri ...." Ia tergagap. Suaranya sangat parau dan ia nyaris saja meneteskan air matanya. Ia sangat berterima kasih atas bantuan Jae, tapi untuk hal ini rasanya Shin lebih baik tidak usah dibantu.
Jae termangu mencerna sikap Shin sampai Shin memutuskan untuk pergi dari kursinya. Mungkin Shin telah membuatnya tersinggung. Mau bagaimana lagi, Shin sendiri merasa risi. Tidak pernah ada pria yang menyentuhnya apalagi di bagian-bagian yang intim. Ia begitu takut dan malu sendiri. Bahkan ia ingin berteriak dan memberontak. Sayangnya Shin tidak mungkin bisa melakukannya, apalagi untuk memarahi Jae. Dia suami Shin dan pemilik sah atas segala yang ada pada diri Shin. Di depan westafel dapur, Shin memegangi dadanya sendiri dengan napas yang bergetar-getar.
*****
"Sora, apa yang kau lakukan?" Suara Jae di ruang tengah sontak menarik perhatian Shin yang sedang mengelap meja mini bar.
"Kak Jae ... aku sedang mengepel lantai," jawab Sora sejenak menghentikan kesibukannya itu.
"Iya, aku tahu. Tapi siapa yang menyuruhmu? Apa kakakmu?"
Shin kaget begitu Jae menyebut dirinya dengan suaranya yang gusar.
"Tidak, Kak. Aku sendiri yang ingin melakukannya."
"Kenapa?"
"Aku biasa melakukan ini di rumah. Dan aku pikir ... rumah sebesar ini jika Bibi Tin yang harus mengerjakan semua pekerjaan rumah sendirian, itu pasti akan sangat melelahkan."
"Siapa bilang Bibi Tin yang mengerjakan semuanya, hah?" Jae meninggi. Shin khawatir melihat Sora yang mulai tampak ketakutan.
Jae melanjutkan, "Setiap dua hari sekali aku membayar beberapa petugas yang khusus untuk membersihkan rumah, menyapu dan mengepel, merawat kebun dan menguras air kolam. Di sini Bibi Tin hanya memasak dan mencuci pakaianku saja."
Pengakuan Jae itu tentu saja mencengangkan Sora dan Shin yang ada dalam satu ruang.
"Tugasmu hanya belajar, sepulang sekolah sebaiknya kau tidur siang untuk memulihkan kerja otakmu. Kau paham?"
Sora bengong. "Heh? I-iya, Kak."
"Baiklah, sana tidur!" celetuk Jae terus mengawasi gadis itu hingga benar-benar pergi dan menyudahi pekerjaan rumahnya. "Dan sebaiknya kau juga, Nyonya!" Jae berpaling ke arah Shin dengan berang.
Shin terkesiap lalu tubuhnya gemetaran. Ia pun mengangguk meninggalkan tempatnya. Dia tidak tersenyum sama sekali. Dia marah. Jae sangat menakutkan saat sedang seperti itu.
*****