Jae pulang sebelum jam makan malam.
Sepanjang hari ini ia begitu disibukkan oleh beberapa urusan dan beberapa masalah yang harus ia tangani kendati Jae sendiri tak dapat menahan perasaannya untuk segera pulang. Ia berjalan masuk ke rumah sambil menempelkan ponsel di telinganya, bicara serius dengan salah seorang bawahannya.
"Kau harus mencobanya dulu sebelum memintaku untuk turun tangan! Pekerjaanku sangat banyak, aku tidak bisa meninggalkan satu pun untuk pergi ke sana!" Saat ia memutar pandangan, ia melihat wanita yang menjadi alasan utama ia betah di rumah, telah berdiri di tengah ruangan, ketegangannya pun mereda. "Sebentar." Ia berbisik di dekat ponselnya kemudian menghampiri Shin yang tampak menantinya.
Begitu mereka berhadapan, Shin menegakkan badannya. Dia masih saja mengurai rambutnya meski menyapu poninya ke samping dan menyelipkan sebelah sisi rambutnya ke belakang telinganya seperti yang pernah diminta Jae. Keseluruhan wajah Shin lebih terlihat. Dia juga mengenakan rok dan atasan berwarna merah muda yang membuatnya tampak lebih manis. Bagi Jae, dia adalah wanita yang feminim, wanita yang tahu caranya mendandani dirinya dengan kesederhanaan, wanita yang tahu arti keindahan dari seorang perempuan. Kesederhanaannya adalah keindahan bagi Jae dan itu adalah hal utama yang menjadi alasan Jae tertarik padanya.
"Kau menemukan pakaian yang kau suka?" tanyanya.
Shin bergumam, "Tuan ...."
Jae berpaling sejenak sambil tersenyum heran begitu Shin masih memanggilnya dengan sebutan itu. Ia merasa geli. Jae berpikir, sepertinya butuh waktu bagi Shin untuk membiasakan diri.
"Terima kasih untuk semua pakaian dan perhiasannya," ucap Shin menatap lurus dada Jae dengan suaranya yang parau dan ragu-ragu. "Sebenarnya aku belum membutuhkannya, tapi karena itu sudah menjadi keputusanmu, jadi aku menerimanya dan akan menyimpannya dengan baik."
"Nyonya, mataku di sini!" Jae menyela cepat, sontak mengalihkan pandangan Shin ke matanya perlahan-lahan. "Semua itu tidak untuk kau simpan saja, tapi aku ingin kau memakainya juga. Ini adalah perintahku, jadi apakah kau juga akan melakukannya?"
Terdiam sesaat menyelami mata Jae, Shin pun menganggukkan kepalanya dua kali.
Jae tersenyum simpul dan merasa wanita itu sedang berusaha menjadi seorang istri.
"Terima kasih juga untukmu," katanya membalas, mengerutkan kening sang istri. "Karena dengan menerima apa yang aku beri, kau telah membuatku merasakan rasanya menjadi seorang suami," ungkapnya langsung memanah Shin.
Mungkin Shin tidak menyadarinya, tapi itu memanglah benar. Awalnya Jae sempat ragu ketika akan mengirim orang-orang dari butik itu ke rumah. Ia takut Shin menolak sebab akan merasa tidak layak ataupun sungkan. Dengan menerimanya, tidak berarti juga Shin adalah wanita yang gampangan. Karena Jae tahu, Shin melakukan itu untuk menghargainya sebagai suami.
"Tolong bawakan air dingin ke ruang kerjaku, ya!" pinta Jae kemudian meninggalkan Shin menuju ke tangga sambil melanjutkan obrolannya dengan karyawannya di telepon.
Jae masih terus bicara dengan sekretaris di salah satu hotelnya itu lewat telepon karena suatu hal yang penting, di dalam ruang kerja khusus yang ada di sebelah kamarnya. Ia mengakhiri percakapannya begitu menyadari istrinya sudah berada di ruangan yang sama. Sambil tercengang-cengang dan berseru kagum, Jae melihat wanita itu menjelajahi seisi ruangan kerja pribadi Jae dengan wajah cerah.
Ruangan seluas kamarnya ini dikelilingi oleh rak-rak yang menyimpan buku-buku dengan rapi. Ratusan buku koleksi Jae terpajang di dinding. Semuanya terdiri dari berbagai macam bidang dan pengetahuan. Bisnis, pendidikan, sosial, agama, biografi, antologi, psikologi dan juga novel. Sebagian buku adalah milik ayahnya dan karena itulah Jae pun mewarisi kegemaran sang ayah. Karena sudah menjadi hobinya juga, Jae bahkan bisa melewatkan satu hari hanya untuk membaca buku tanpa tidur.
Pandangan Shin kemudian terpaku pada satu sisi dinding yang memajang beberapa foto-foto Jae saat menjadi seorang pembalap nasional. Jae berpose dengan pakaian balapnya yang gagah dan beberapa ada yang duduk di atas motor balapnya, baik itu yang tengah beraksi di arena balap. Saat itu adalah saat-saat yang membanggakan bagi Jae sebelum malapetaka merenggut prestasinya kala itu.
"Kau suka membaca buku?" tanya Jae menyita perhatian Shin sejenak kepadanya. Memegang minuman dingin yang tadi dibawakan istrinya dan diletakkan di atas meja kerjanya. Jae berdiri, menyandarkan sedikit pantatnya ke tepian meja. Ia tiba-tiba merasa takut sendiri jika Shin terus memandangi foto balapnya, wanita itu kemudian akan bertanya mengenai kegemaran Jae yang satu itu lalu mulai menggali masa lalunya.
Shin mengangguk cepat.
"Wah, kita memiliki hobi yang sama. Sepertinya di sini akan menjadi tempat favorit kita nantinya," cetusnya malah membuat Nyonya-nya bengong. "Kau bisa masuk ke sini kapan pun dan boleh membaca semua buku yang ada di sini," ujarnya dengan senang hati, karena ia bisa melihat keantusiasan itu di wajah Shin saat melihat buku-buku miliknya.
"Benarkah?"
Jae mengangguk. "Pilihlah."
Shin memutar pandangan ke rak-rak yang penuh dengan buku. Dia tidak menolak dan berjalan ringan seakan buku-buku itu melambaikan tangan padanya dan Shin tertarik untuk menghampirinya. Dia tak dapat menutupi kekagumannya ketika mulai membaca judul-judul yang tertera di sisi sampul. Dia mulai mencari dan memilih.
"Mau tahu buku yang bagus? Aku tunjukkan padamu!" Jae meletakkan minumannya untuk berjalan ke tempat sang istri.
Tepat di belakang Shin, Jae berdiri. Memposisikan badannya dengan pasti. Seiring rencana nakalnya yang timbul tiba-tiba dalam benaknya, Jae merapatkan bagian depan badannya ke bagian belakang istrinya. Shin tersentak ringan lalu tegang menyadarinya. Jae sengaja ingin menggodanya. Wanita itu kini berada di ruang yang sempit dan dadanya nyaris menempel ke rak tinggi di depannya. Sementara Jae berpura-pura sibuk mencari satu buku di antara jejeran buku yang tertata rapat di atas Shin. Dia sangat gugup dan Jae bisa merasakan getaran dari setiap napasnya, ketika Jae merapatkan bagian pahanya ke pantat istrinya ...
"Coba baca yang ini," ujar Jae melingkarkan satu tangannya di depan dada Shin begitu menemukan buku yang ia cari.
Shin menerimanya dengan kedua tangannya yang kaku. Jae tersenyum geli melihatnya membeku. Jae pun menyingkirkan diri sambil menggesekkan pahanya di bagian sekitar pantat Shin dengan sengaja dan wanita itu pun tersentak meremas buku di tangannya. Sampai Jae kembali duduk di atas meja kerjanya—melipat kedua tangan di perut—memperhatikan istrinya—wanita itu masih saja diam tak berkutik di tempat yang sama. Matanya terus terpaku pada buku di tangannya sendiri tapi Jae tahu istrinya itu tidak benar-benar fokus pada tulisan di sampulnya. Jae tersenyum geli mengawasi keluguannya.
"Apa kau tertarik?" Suara Jae menegur keterbengongan Shin.
Menggeragap, Shin melihatnya sejenak, lalu tertunduk membuka buku yang ditawarkan Jae itu langsung ke halaman tengah. Shin membacanya demi menemukan pendapatnya. Pelan-pelan, sekata demi sekata dan akhirnya Jae tak dapat menahan gelak tawanya lagi begitu Shin terbelalak menyadarinya. Dia kaget menatap Jae, lalu melihat judul pada sampul buku untuk memastikan. Itu adalah buku panduan bercinta bagi pasangan pemula. Salah tingkah, buru-buru Shin mengembalikan buku panduan itu ke tempat asalnya.
"Kenapa? Kau tidak membaca buku seperti itu?" godanya diselingi tawa kecil.
Shin menundukkan wajahnya, dia memasang wajah murung dan geli seakan apa yang baru dibacanya begitu menjijikkan baginya. Dia sangat lucu.
"Aku minta maaf." Jae berucap, menyesal. "Tapi aku rasa kau akan membutuhkannya suatu hari nanti," pikirnya sendiri. Menurutnya, ketika Shin ketakutan setiap Jae menyentuhnya dan bahkan Shin sendiri pun mengakui tidak pernah melihat adegan intim, Jae berpikir itu tidak akan baik jika dibiarkan terus menerus. Jae pun tidak mungkin harus menahan dirinya selalu. Ia bisa melewati batasannya kapan pun.
Berbeda dari Shin, Jae yang sudah terlalu lama hidup dalam kebebasan, menjadi tak terbatasi dalam bertindak. Berkelahi, ke tempat hiburan malam, mabuk, merokok dan juga bergaul bebas adalah kebiasaannya. Terlebih perpisahan orang tuanya menjadi faktor utama yang mendorongnya untuk berbuat liar. Semua itu berubah sejak kecelakaan tersebut terjadi. Kini Jae benar-benar menjalani kehidupannya dengan pola yang sehat.
"Baiklah, aku akan mandi, setelah itu turun untuk makan malam. Kau bisa membawa beberapa buku ke kamar jika nanti kau kesulitan tidur. Kau bisa membacanya daripada harus memandangiku terus."
Jae memutuskan untuk pergi setelah meledek dan tak ingin menggoda Nyonya-nya lagi. Shin terlihat tegang dan trauma, dia terus berdiri kaku di depan rak buku dengan pemikirannya sendiri.
Jae melepas sepatunya di kamar.
Ia duduk di pinggir kasur lalu menyingkirkan sepatunya di bawah sana. Hari ini sangat melelahkan, tapi begitu bertemu dengan istrinya, Jae merasa segar. Wanita itu rupanya memiliki pengaruh yang luar biasa. Keluguan dan kepolosannya seperti sebuah tantangan dan hiburan tersendiri bagi Jae.
Jae kemudian melepas jam tangannya, bersiap untuk mandi. Saat meletakkan benda kesayangannya itu di atas meja lampu, ia tertegun mendapati boneka kelincinya duduk manis di meja yang sama.
Oh?
Jae mengambilnya cepat sambil berpikir, bagaimana bisa dia ada di luar? Padahal ia sendiri yang telah menyimpannya di laci, di hari pertama Shin masuk ke kamarnya sebagai pengantin baru, karena Jae khawatir istrinya itu akan merasa risi atau menertawakannya setelah tahu Jae punya boneka dan usang pula. Lehernya pun sudah tidak patah lagi. Seseorang telah mengeluarkannya dari persembunyiannya dan memperbaikinya. Siapa dia? Tidak ada orang lain yang berani masuk ke dalam kamarnya tanpa seizin Jae selama ini. Ia membagi kamarnya semenjak menikahi Shin dan membebaskan kamarnya hanya untuk istrinya itu. Apakah itu artinya dia?
*****