Ketika Shin menanti-nantikan kepulangan suaminya, ia telah mempersiapkan dirinya untuk suatu pembuktian. Saat Jae berjalan ke arahnya, lalu berkata bahwa dirinya juga berterima kasih karena dengan menerima pemberiannya, pakaian, tas, sepatu dan juga perhiasan, Shin telah membuatnya merasakan rasanya menjadi suami. Hanya satu yang Shin sadari kala itu, bahwa dengan menerima lamaran darinya, itu adalah keputusan yang benar. Pria itu benar-benar ingin menjadi suaminya. Tidak untuk alasan lain. Kesadaran itu memercikkan sedikit rasa bahagia dalam hatinya.
Sebelumnya, Shin tidak pernah percaya bahwa laki-laki baik itu ada. Semua pria yang pernah dijumpainya selalu memandangnya dengan takut-takut. Mereka semua tidak benar-benar melihat Shin sebagai seorang perempuan. Mereka semua memperlakukan Shin seperti tidak berharga.
Bahkan pernah datang seorang pria yang mengaku tertarik padanya, tapi kemudian dia tidak pernah kembali setelah orang-orang tidak bertanggung jawab itu memberi tahu keadaan Shin. Karena semua itu, Shin menjadi tidak percaya lagi pada dirinya sendiri. Setiap bertemu dengan lawan jenisnya, ia selalu menundukkan kepala, menyembunyikan wajah agar tidak dikenali.
Jae, Shin tidak percaya masih ada pria baik di dunia ini. Dia tiba-tiba datang dengan sebuah pertanda. Tanpa ingin mendengar apa pun dari orang lain, dia berani mengambil keputusan terbesar dengan menikahi Shin dan membawa Shin tinggal di rumahnya. Dia mempercayakan semua yang dia punya kepada Shin dalam waktu sesingkat ini. Dia membagi semua miliknya dan memberi tahu sebuah rahasia keindahan di dalam lemarinya. Tidak penting baginya siapa Shin dan bagaimana masa lalunya. Kenapa dia melakukannya? Sepertinya Jae hanya menginginkan Shin saja. Dia hanya ingin menjadi suaminya saja.
Setelah keluar dari ruang kerja Jae, Shin turun ke ruang makan sambil berjalan melamun. Sora dan Kim sudah bersiap melangsungkan makan malam di sana, akan tetapi Shin belum menemukan kesiapannya. Kesiapan untuk apa? Untuk membuat dirinya sendiri menjadi seorang istri yang sesungguhnya. Ketika Jae berdiri di belakangnya untuk mengambil buku di atas Shin, dia merapat dan Shin pun berdebar, Shin tahu pria itu menginginkannya. Dia menunjukkan sebuah buku panduan bercinta dan Shin geli melihatnya, pria itu seolah menanti kesiapannya untuk menyerahkan diri.
"Kakak, di mana Kak Jae?" tanya Sora yang tengah membantu Bibi Tin menata beberapa menu di atas meja.
"Dia sedang mandi," jawab Shin datar.
"Eh? Itu dia!" seru Kim tiba-tiba.
Oh? Shin mengernyit, langsung menoleh ke arah yang dilihat Kim di lantai atas.
Jae tampak menuruni tangga dengan wajah yang serius. Kenapa masih dengan pakaian yang sama? Bukankah dia pergi untuk mandi? Begitu dengan ekpresinya yang tajam, semakin membuat Shin bertanya-tanya ada apa, terlebih pria itu menatap lurus padanya. Langkahnya panjang dan tergesa-gesa. Dia terus menatap Shin, berjalan tegap menghampiri Shin sambil terus menancapkan tatapannya ke arah Shin. Shin melihat boneka kelinci yang ia perbaiki tadi pagi di tangan pria itu. Dia terlihat gusar, menyelipkan perasaan tak tenang dalam hati Shin. Apakah dia marah karena tahu Shin yang mengeluarkan boneka itu dari laci? Ya Tuhan, Shin takut ...
Shin menghadapkan diri semakin langkah Jae mendekatinya. Sesampainya di hadapan Shin, tiba-tiba saja Jae memeluknya. Oh! Sora dan Kim pun ternganga seketika.
Shin tidak bisa mendengar suara apa-apa lagi di sekitarnya. Dua lengan berotot itu melingkari punggung Shin, mendekapnya erat. Erat sekali, hingga Shin merasa tubuhnya sedikit sakit karena pria itu meremasnya seolah-olah meluapkan sebuah perasaan yang tak tertahankan. Shin hanya terbengong-bengong. Ia bisa merasakan jantung pria itu berdetak sangat kencang di dadanya. Beberapa kali bibirnya menempel di pundak dan leher Shin, tapi Shin tak mampu berkutik sama sekali.
Beberapa detik setelahnya, Jae akhirnya melepaskan Shin dari jeratan napasnya yang memburu. Dia menatap kedua mata Shin dengan mata berkaca-kaca. Sempat mengira Jae akan marah sebab merasa telah dilancangi, pria itu malah menarik satu tangan Shin dan menyeretnya menuju tangga. Shin tersentak mengikuti langkah Jae yang panjang dan cepat. Perasaannya berubah cemas. Tak terkecuali Sora dan Kim yang terheran-heran dengan sikap Jae di balik keterdiamannya. Jae membawa Shin menaiki tangga, lalu masuk ke dalam kamarnya. Ya Tuhan, apa yang akan dilakukannya pada Shin? Dia terlihat mengancam, tapi Shin merasa tidak terpaksa. Ia pasrah.
Akhirnya di depan pintu lemarinya yang tinggi, di mana Jae pernah berkata ada sebuah keindahan di dalamnya, Jae menghentikan derapannya. Jae membuka pintu lemari itu dengan amat yakin. Sekejap saja, jantung Shin kian berdegup tak terlatih. Ia tercengang mendapati ada sebuah tangga di dalamnya. Hah? Hanya tangga. Ya, ada tangga di dalam lemari! Apakah sebuah ruang rahasia? Jae kembali menarik tangannya, menuntunnya untuk masuk ke dalam lemari meskipun itu terasa aneh. Masuk ke dalam lemari? Mereka menaiki tangga besi dengan bentuk melingkar itu pelan-pelan. Jae berjalan di depan. Tangga itu cukup panjang, Shin sangat waswas. Setibanya di ujung tangga, Jae membuka pintu yang membentang tidur di atasnya. Kemudian dia naik dan berada di puncak. Setelah membantu Shin sampai ke atas, Shin pun langsung terkesima dengan apa yang dilihatnya dari sana.
Sebuah atap yang berlantai dan berkeramik, tanpa pagar dan tidak ada apa pun di situ. Luas dan kosong. Seperti lapangan pendaratan. Shin bisa melihat seluruh pemandangan kota dengan jelas. Ia terbius oleh pemandangan syahdu hingga terlepas dari tangan Jae dan berjalan menengah menjelajahi sekitarnya dengan pandangan. Semuanya tampak gelap dalam malam, tapi lampu-lampu kota yang menyala serentak membuatnya seperti bintang berwarna-warni yang berkerlipan. Selain itu kebebasan yang ia dapat dari udara yang bertiup kencang serasa menerbangkan dan Shin pun melayang dalam pesona meresapinya. Inikah keindahan yang Jae sembunyikan dalam lemarinya? Shin terbuai.
Shin menyadarkan dirinya dari pesona menghipnotis begitu Jae duduk di tepian atap dengan kedua kaki menggantung ke bawah. Dia tampak santai, mungkin karena terbiasa. Sementara ketika Shin berjalan mendekatinya, ia malah merasa waswas dan takut. Setibanya di sisi Jae, Shin melongokkan sedikit wajahnya ke bawah dan langsung gemetar merasakan sensasinya. Ia bisa melihat halaman depan rumah Jae dari atas sini meski hanya sepintas.
Jae selalu penuh dengan kejutan, mengulurkan tangannya ke atas untuk membiarkan Shin menggenggamnya. Maka Shin pun memeganginya setelah sempat tercenung. Ia melangkah sejengkal, lalu duduk di samping Jae dengan sangat hati-hati. Ia menurunkan kedua kakinya ke tepian, menjatuhkannya dan mencoba untuk tetap tenang. Ketika Shin memperkuat genggaman tangannya, Jae menarik tangan Shin ke arahnya sendiri, meletakkannya di sebelah pahanya. Oh tidak, ini sungguh berbahaya, pikir Shin termangu-mangu.
"Shin, bisakah ... kita bicara sebagai suami istri?"
"Ah?" Mata Shin membulat menatap mata sendu suaminya.
"Ada banyak yang aku ingin kau ketahui dariku."
Pandangan Shin melemah sejenak membenamkannya dan mulai merasa pria itu sedang membutuhkan teman. "Katakan."
Jae menghela napas sejenak. Lalu, "Dulu, sesuatu yang mengerikan pernah terjadi padaku." Jae memandang ke depan.
Shin terus menatap wajahnya dari sisi samping. Dia sangat kalem dan hidungnya begitu mancung. Jae mulai bercerita.
"Sebuah kecelakaan yang membuatku tertidur dan tidak pernah bangun hingga hampir sepuluh hari lamanya."
Koma? Dia pernah mengalami koma? Kali ini Shin memfokuskan pendengarannya untuk menyimaknya baik-baik karena Jae tampak serius.
"Tapi itu bukanlah hal yang menakutkan bagiku. Justru aku senang bisa tidur selama itu, karena aku bisa bertemu dengan ayahku di suatu tempat yang semuanya terlihat putih dan tenang. Ayah menemaniku dalam tidur panjangku itu. Kami bicara mengenai banyak hal. Aku senang." Jae melihat pemandangan di depannya dengan tatapan menerawang seakan kejadian itu kembali terpapar di depannya.
"Hal mengerikan yang membuatku ketakutan adalah saat aku terbangun dan aku menyadari tidak ada seorang pun bersamaku saat itu. Aku berpikir ke mana mereka semua? Bahkan Ibu, satu-satunya orang yang terikat denganku tidak sekali pun datang menjengukku. Hingga saat ini, tidak ada satu pun orang yang kukenal datang padaku. Rasanya aku ingin tertidur lagi dan tidak mau bangun lagi.
"Tapi ketika aku teringat Ayah, Ayah memberitahuku di sana bukanlah tempatku. Aku masih harus ada di dunia ini untuk menyelesaikan urusanku. Ayah tidak ingin semua berhenti dan berakhir di diriku. Pada saat itu aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merenung dan tidak berbuat apa-apa hingga waktu yang lama. Dan akhirnya aku bisa berpikir, benar, aku tidak mungkin meninggalkan semua apa yang telah Ayah mulai. Aku harus bisa melanjutkan semua itu meski aku sendirian. Maka aku pun bekerja keras, aku belajar sesuatu yang baru, tanpa tahu apa yang sebenarnya aku inginkan. Aku hanya ingin bekerja untuk diriku sendiri, hingga saat ini."
Jae ...
Shin merasa terharu, ia tidak menyangka pria itu harus menghadapi masa-masa yang sulit dulunya.
"Tapi kini, sejak bersamamu, aku telah memantapkan hati untuk membagi semua yang telah aku raih denganmu." Jae memandang Shin. "Aku merasa kau akan peduli padaku, pada milikku. Lihat, kau juga peduli pada temanku ini!" Dia menunjukkan boneka kelinci yang masih ada di genggaman tangan yang satunya.
"Aku pikir kau akan membuangnya seperti yang pernah dilakukan Ibu, karena itu aku menyembunyikannya darimu, tapi kau ... kau memperbaikinya, kau melakukan apa yang ingin aku dapatkan dari ibuku! Kau memberi perhatian yang tidak pernah aku dapatkan dari ibuku, Shin!"
Shin larut dalam pengakuan Jae. Tidak pernah ada pria yang mampu menemukan kebaikan dalam diri Shin selama ini. Mereka hanya tahu Shin menakutkan dan membahayakan. Baru kali ini ada pria yang menganggapnya seolah-olah Shin wanita idaman, dan itu hanya Jae.
"Aku ingin kau tetap bersamaku dan menjadi tujuanku bekerja keras. Aku ingin kau bisa menjaga apa yang kita miliki sampai aku benar-benar tertidur panjang dan tidak akan pernah bangun lagi. Aku tidak tahu, aku mungkin tidak punya apa-apa untuk diberikan besok. Jadi aku ingin memberikan semua yang aku miliki hari ini. Semua hal dariku, sepanjang hari untukmu. Jadi, apa kau benar-benar mau menerimaku?"
"Tuan, apa yang kau bicarakan?" Shin mendadak cemas melihat mata pria itu berembun.
"Shin, jika kau benar-benar mau menerimaku, aku hanya ingin kau berjanji padaku. Dalam hubungan kita, hanya ada kita, jangan biarkan ada orang lain, siapa pun itu."
Jae meremas tangan Shin yang masih ditawannya. Melihat harapan di wajahnya yang layu, Shin pun mengangguk untuk menenangkannya. Ia tahu, saat Jae kembali mengingat kejadian kelam itu di masa lalunya, emosinya kembali meluap.
Sepertinya kecelakaan itu telah merenggut kepercayaan Jae pada semua orang. Dia merasa kesepian, sama seperti yang Shin rasakan selama ini, jadi untuk berjanji tidak akan melibatkan orang lain dalam hubungan mereka adalah hal yang mudah bagi Shin, atau bahkan mungkin itu adalah pilihan yang tepat.
"Tapi, Tuan ... apa kau juga tidak berpikir untuk tahu bagaimana kehidupanku dulu?" Shin memiliki pencerahan lain untuk mengeluarkan suaminya dari keterpurukan.
"Oh?"
"Dulu ... sewaktu Sora masih bayi, saat itu usiaku masih lima belas tahun. Seorang wanita marah padaku di depan banyak orang karena kesalahan yang dibuat ibuku. Sejak saat itu, aku harus menjalani hari-hariku yang menyakitkan. Tidak ada satu pun orang yang menganggapku ini wanita baik-baik. Tidak ada yang mau berteman denganku. Mereka berpikir, aku pun tidak akan pernah bisa membawa pengaruh baik untuk ke depannya."
"Apa karena itu, kau tidak juga menikah?" Jae penasaran.
Shin mengangguk. "Ini memang memalukan. Karena itu aku merasa hidupmu lebih beruntung dariku, Tuan. Lebih baik tidak melihat atau mendengar apa pun daripada harus melihat dan mendengar kata-kata yang menyakitkan dari setiap orang yang kau temui. Kau tidak memiliki teman, tapi kau tetap mendapatkan kehormatanmu."
Jae menyela, "Shin, dari awal aku bisa merasakan kau telah hidup di lingkungan yang salah, karena itu aku mencoba menolongmu dan membawamu keluar dari sana. Aku tahu, karena saat pertama kali kau menatapku, aku merasa kau sedang meminta pertolongan padaku," akunya mencengangkan Shin seketika.
Dia ... diam-diam rupanya juga mengeluarkan Shin dari keterpurukannya. Apakah sebelum menikahinya, dia juga tahu segalanya tentang Shin? Bagaimana mungkin? Tuhan, apakah ini yang dimaksud dengan jodoh?
"Tapi sekarang, tidak akan ada lagi orang yang berani mengganggumu. Dan walaupun mereka terus berusaha menjatuhkanmu, aku tidak peduli. Jika kita saling mempercayakan masa depan kita, aku padamu dan kau padaku, maka apa yang telah terjadi dengan masa lalu kita, sama sekali tidak akan membawa pengaruh apa pun ke depannya."
"Kenapa?" Pertanyaan itu terlepas begitu saja dari mulut Shin. "Kenapa kau sebaik ini? Kenapa kau bisa begitu percaya padaku?"
"Nyonya, aku tahu kau ceroboh, tapi apa kau juga bodoh?"
Eh? Shin menundukkan kepalanya sambil cemberut begitu Jae menceletuknya.
"Kau tanya kenapa? Karena aku yakin padamu! Aku yakin kau akan memberikan masa depan yang baik untukku!" Jae menegaskan. Dia memiliki pemikiran yang sangat berlawanan dari orang-orang tercela itu. "Aku berpikir pada saat itu kenapa aku masih hidup setelah kecelakaan itu menghancurkan segalanya. Aku pun harus menjalani hidupku seperti robot, bahkan seperti orang mati. Tapi sekarang, sejak aku bertemu denganmu, aku tahu ... berapa banyak aku harus hidup, sepertinya aku hanya harus hidup denganmu, Shin. Bagaimanapun jalan hidup kita. Seperti sungai, aku akan terus mengalir dalam duniamu mulai sekarang. Aku mencintaimu, Shin! Aku mencintaimu!"
Shin terpana.
Jae menyatakan cintanya. Saat itu tidak ada yang bisa Shin pikirkan lagi karena rasa-rasanya otaknya berhenti berfungsi. Ia mencari-cari dari dirinya, sesuatu yang sekiranya sanggup membuat Jae merasa Shin begitu istimewa baginya. Tidak ada. Bagaimana bisa dia begitu yakin pada Shin yang lemah ini? Jae bicara lewat matanya dan Shin mencoba untuk menyelaminya. Dia benar-benar bicara tanpa mengucap satu kata pun. Ketika Shin menelusuri ke dalam kilau mata Jae dengan matanya, terpancar cinta yang menjanjikan untuknya. Shin pun semakin terhanyut ...
Jae mendekatinya. Mendekatkan wajahnya, mengincar bibir Shin perlahan-lahan. Jae akan menciumnya, Shin tahu itu. Shin tidak akan menghindar karena ingin belajar untuk menerimanya. Tiba-tiba, begitu saat tangan Jae menyentuh pahanya, merabanya ... Oh! Shin langsung terkesiap. Tangannya sontak menahan tangan Jae sebelum pria itu bertindak semakin jauh.
Jae pun tertegun di jarak beberapa inci dari bibirnya. Matanya bertanya, maka Shin pun menggelengkan kepalanya dengan cemas. Ternyata Shin tidak sesiap itu. Ia semakin merasa bersalah saat Jae menjauhkan wajahnya, lalu berbisik ...
"Dengar, Shin. Tidak baik menyiksa suamimu seperti ini." Setelah itu Jae memilih pergi.
Ya Tuhan, aku mengecewakannya.
Kenapa?
Shin resah.
Apa lagi yang harus ia dengar dari pria itu untuk membuatnya menyerahkan diri sepenuhnya? Dia telah memberikan segalanya pada Shin, tapi kenapa Shin merasa tidak percaya pada dirinya sendiri? Shin telah menempatkan Jae dalam matanya, tapi rasa-rasanya masih terlalu sulit untuk dapat memasuki hatinya. Saat Jae melepaskan genggaman tangannya, Shin merasa takut ....
*****