Jae menuju ke kamarnya siang itu untuk memperistirahatkan diri. Hari ini sebagai pengantin baru, ia tidak ingin berurusan dengan masalah pekerjaannya di kantor maupun di hotel. Ya, meskipun sebagai pengantin baru tidak banyak yang bisa ia lakukan untuk sementara ini, karena Jae merasa istrinya belum siap untuk melakukan hubungan yang semestinya. Ketika Jae membuka pintu, dilihatnya Shin yang masih terjaga di kasur tersentak kaget oleh kedatangannya. Wanita itu buru-buru duduk dari rebahannya. Jae pun tak dapat menutupi perasaan gugupnya begitu masuk dan tiba-tiba merasa niat untuk memperistirahatkan dirinya akan menjadi hal yang sulit untuk saat ini.
Jae berjalan menuju ke sisi ranjang yang satunya. Shin langsung terlihat canggung dan menunduk tak berani menatapnya. Sesampainya Jae di atas kasur, ia bisa merasakan benar jantungnya berdegup sangat keras. Ia butuh suatu pengalihan agar bisa mencairkan kebekuan ini. Maka terpikirlah untuk menyalakan televisi yang berada tepat di depan ranjangnya.
Saat di meja makan tadi pagi, saat Jae menyentuh dada Shin, mencoba membersihkan noda jus pada bajunya, wanita itu menjadi tegang dan tak berkutik sama sekali. Awalnya Jae tidak menyadarinya kenapa, tapi setelah tahu tangannya berada tepat di bagian buah dada Shin, ia tidak berpikir untuk menyingkirkan tangannya. Jae malah ingin menyentuhnya. Penolakan yang ditunjukan Shin dengan menyingkirkan tangan Jae dari dadanya sekejap membuat Jae tertegun. Dia pergi dan meninggalkan segudang tanya dalam hati Jae.
Setelah membenamkan sikapnya, mencerna maksudnya, akhirnya Jae tahu ...
Jae melirik ke arah Shin yang membisu memeluk kedua lututnya seperti barang antik yang teronggok di ujung kasur. Dia aneh, tapi juga lucu. Jae semakin suka pada sikap lugunya itu. Juga lantaran gemas, Jae jadi merasa ingin menggodanya. Ia melihat flashdisc miliknya yang masih tersambung pada USB televisi. Ia hanya perlu menekan tombol khusus pada remot di tangannya, maka muncullah beberapa folder video koleksinya. Ia memilih salah satu dan memutarnya.
Jae tak dapat menahan senyumnya lagi begitu Shin terkejut melihat video dewasa yang diputar Jae. Wajahnya langsung berpaling dari layar televisi sambil merapatkan diri. Jae tertawa tanpa suara hingga kedua pundaknya berguncang. Ia mengempaskan punggungnya karena merasa tidak kuat lagi menahan sakit di perutnya mendapati wanita itu kian salah tingkah. Adegan dalam video itu sangat vulgar, mungkin Shin risi dan malu. Namun, kenapa harus?
Jae pun mempertanyakannya, "Kenapa? Kau tidak suka?"
"Bisakah kau menggantinya dengan yang lain? Atau matikan saja televisinya." Suara Shin sangat parau dan terbata-bata.
"Kenapa, Shin? Bukankah kita sudah sama-sama dewasa? Kita suami
istri, menonton adegan seperti ini apakah dosa, hm?"
Shin terlihat sangat cemas. "Tapi ... aku tidak pernah melihatnya."
Ya, Jae bisa tahu itu hanya dengan melihat sikapnya yang kaku setiap Jae berusaha mendekatinya. Ia juga tahu Shin tidak pernah melakukannya walau hanya sekadar berciuman. Namun justru karena itu, Jae jadi ingin membuatnya belajar. Seiring munculnya ide yang nakal dalam otaknya, Jae mengeraskan volume pada televisinya. Desahan kenikmatan yang diluapkan oleh pasangan dalam video malah membuat Shin ketakutan, seolah-olah nyanyian hantu yang sedang menggentayanginya. Dia menyingkur, memeluk dirinya sendiri dengan erat.
Masih terbujur, Jae mendekati Shin sambil menyanggah dirinya dengan satu siku, dengan suatu gagasan yang nakal. "Bagaimana ... kalau kita melakukannya saja?"
Shin langsung menoleh dan membelalakkan kedua matanya menatap Jae. Mereka saling bertatapan dan menyelami bola mata. Jae menatapnya dengan mata berkilauan sambil sedikit mengangkat wajah, sedangkan Shin sangat tegang dan ketakutan, membuat Jae tak bisa menahan diri lagi. Perlahan ia mendekatkan wajahnya, menunjukkan bahwa ia telah tergoda dan pelan-pelan Shin pun beringsut, menjauhkan wajahnya dengan tatapan ngeri seakan-akan Jae hendak menghakiminya. Namun akhirnya Jae tak kuasa menahan tawanya melihat ekspresi Shin yang lucu. Ia tertawa geli dengan suara yang lirih. Khawatir malah akan membuatnya trauma, Jae pun memutuskan untuk mematikan televisinya.
Shin tertegun heran.
Jae tidak benar-benar akan memaksa Shin untuk melakukannya. Ia bangkit guna memberikan sedikit ruang bagi Shin untuk bisa bernapas lega, karena dia terlihat sangat tegang. "Istirahatlah, aku tidak akan mengganggumu lagi," ujarnya kemudian beranjak pergi.
*****
Sore harinya.
Jae keluar dari kamar mandi dengan hanya berbalutkan handuk di pinggangnya. Ia tertegun melihat Shin yang berdiri di depan kaca rias terkejut olehnya. Aneh, Jae sangat tenang dan segar, tapi wanita itu berpaling ketakutan seolah-olah melihat hal yang mengerikan, atau juga ... menggelikan. Jae menunduk menyadari dadanya yang telanjang dan mungkin menjadi alasan sang istri ketakutan. Shin mematung. Entah apa yang dilakukannya di depan meja rias itu sebelum Jae datang, karena dia hanya bergeming di sana menyembunyikan wajahnya. Jae bisa melihat dia sangat gugup dari pantulan wajahnya di cermin.
Jae tersenyum sinis, tak mengerti kenapa istrinya itu begitu paranoid terhadapnya. Dia sangat fobia dengan pria. Mungkin hanya dengan pria yang tampan, pikirnya. Ia berjalan kian mendekat dan wanita itu semakin meringkuk. Khawatir dia akan berteriak, Jae memilih untuk berhenti di belakangnya dan memutuskan untuk tidak mendekatinya. Suka dengan keluguannya itu, lagi-lagi Jae berpikir untuk menggodanya. Ia lepas handuk di pinggangnya dan melemparnya tepat di atas meja rias.
"Oh!"
Jae mendengar Shin memekik lirih. Dia semakin gugup dan membawa dirinya menyingkur dari handuk Jae yang ada di depannya. Jae hanya tersenyum geli mengawasinya.
"Bisa tolong ambilkan pakaianku di situ?" Jae bersuara, sengaja merepotkan istrinya.
Shin memutar arah pandangannya ke sisi yang satunya, ke arah pakaian ganti Jae yang telah disiapkan di atas kasur. Dia mengambil semuanya, lalu memberikannya kepada Jae tanpa melihat ke belakang sedikit pun. Jae menerimanya sambil terus mengawasinya dengan tatapan yang dalam.
Setelah memakai celana trainingnya, Jae beranjak ke meja riasnya. Ia berdiri tepat di sebelah Shin. Matanya tak berpaling dari sikap lucu sang istri. Ia terus memandangi sang istri yang tampak jelas menahan ketakutan dalam dirinya. Shin meremas-meremas pakaiannya sendiri sembari terus membuang muka. Rambutnya yang menggantung di sisi wajahnya, membuat Jae kesulitan menemukan matanya.
Sampai kapan dia akan menderita gangguan seperti itu? Sambil menyemprotkan parfum khusus badan pada dadanya yang masih telanjang, Jae bertanya-tanya dalam hati. Jika Jae tidak bisa menyembuhkannya dalam jangka panjang, maka Jae sendiri yang akan menderita batin. Terus menggodanya seperti ini, apakah tidak semakin membuatnya ketakutan?
Shin gemetar, Jae tahu dia bersikap jujur. Itu artinya memang benar, Shin tidak pernah dijamah oleh pria mana pun. Sepertinya kehidupannya selama ini tidak terlalu menyenangkan, menurutnya. Jae merasa senang, itu seperti hadiah dan ia tidak sabar ingin segera mencicipinya.
"Mandilah dan cepat turun ke bawah."
Shin mengangguk kaku.
Jae pun hengkang. Bagaimana bisa Jae berhenti menggodanya melihat tingkah lugunya itu? Kembali bertindak nakal, Jae membuka pintu kamarnya dan menutupnya kembali dengan suara yang keras. Ia tidak membawa dirinya keluar, tapi masih terdiam di belakang pintu sambil memegang kaus yang akan dipakainya. Mengira Jae sudah pergi, Shin mulai berani mengangkat pandangan. Begitu matanya tertuju pada cermin, Jae sengaja tidak menyembunyikan diri agar wanita itu bisa melihat keberadaannya dari sana.
"Oh!"
Terang saja, Shin kembali berpaling sambil berteriak kaget mendapati Jae masih ada di belakangnya tanpa busana yang menutupi dadanya. Sontak tawa Jae memecah. Sementara Shin meringis geli sembari memejamkan matanya seperti telah melihat hantu yang tampan. Dia sangat aneh. Jae geleng-geleng kepala sambil memakai kausnya, lalu benar-benar keluar dari kamar.
*****