Di kala malam datang, menjadi saat-saat paling meresahkan bagi Jae maupun Shin. Istrinya itu selalu mengawali tidurnya dengan menyingkur. Jae pun melakukan hal yang sama. Sesekali ia akan menoleh ke belakang untuk memperhatikannya. Ingin rasanya Jae bisa memeluk wanita itu. Sudah terlalu lama ia tidur sendirian. Kini ia merindukan seorang teman dan sebuah pelukan.
Setelah tertidur, tanpa sadar dia merebah dan Jae akan menggunakan kesempatan sempit itu untuk memandangi paras sang istri hingga dirinya sendiri terlelap. Shin adalah wanita baik-baik. Kendati Jae adalah suaminya, Jae tidak ingin memperlakukannya secara paksa. Semua ini hanya masalah waktu. Jae menikahi Shin bukan hanya untuk hasrat semata. Ia ingin mereka bisa saling membantu.
Kala pagi datang, Shin sudah tidak di sisi Jae ketika ia membuka mata. Pagi ini ada yang lain dari biasanya. Jae mendapati wanita itu duduk di tepian kasur membelakanginya. Jae bangkit, memperhatikan punggung mematung itu sesaat.
"Selamat pagi," sapanya.
Kepala Shin berputar ke belakang, menatapnya sepintas. "Pagi," balasnya.
"Kau baru bangun?"
Shin mengangguk kaku, lalu kembali mengarahkan duduknya ke depan.
Jae berpikir, sepertinya Shin belum siap memulai aktivitasnya. Ia turun dari ranjang dan bergegas pergi ke kamar mandi. Namun keterdiaman Shin menyelipkan perasaan mengganjal di hati Jae. Sebelum membuka pintu kamar mandi, ia berbalik ke belakang dan keningnya langsung mengerut melihat wanita itu tampak cemas. Shin meringis cemas sembari meremas-remas tangannya tanpa alasan, seolah-olah ada sesuatu yang tidak baik sedang dirasakannya.
"Kau baik-baik saja?"
"Hah?" Shin menoleh. Dia menatap Jae sambil bercucuran keringat di pelipisnya.
"Kenapa bibirmu?" Dilihatnya Shin tengah menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.
"Hah?"
Lagi-lagi Shin hanya bengong saja seperti orang hilang akal. Jae mendengus pelan, lalu berjalan menghampiri tempat Shin duduk. Tak mau banyak bertanya lagi, Jae menarik kedua pipi Shin ke arahnya hingga dia menengadah dan Jae pun langsung menekankan bibirnya ke bibir Shin. Jae menciumnya sesaat untuk menggali kesadaran Shin kembali. Namun saat Jae menjauhkan wajahnya, menatap mata besar itu mulai berembun, tiba-tiba saja Shin merintih meremas-remas perutnya.
"Eh? Ada apa?"
"Ah," Shin mengerang kesakitan.
"Shin, kau kenapa?" Jae memegang kedua pundak istrinya.
Shin tak bersuara, hanya menggeleng sambil meringis kesakitan. Jae tahu dia sedang kesakitan, tapi karena apa?
"Shin, katakan padaku ada apa!" Jae semakin khawatir. Ia agak membentak, tapi Shin malah memejam tampak sangat kesakitan. Dia menahan sesuatu di perutnya. Tubuhnya gemetar dan kecemasan Jae menjadi-jadi begitu saat Shin mencengkeram tangan Jae dengan sangat erat. Astaga! Panik, Jae cepat-cepat berteriak memanggil adiknya.
"Sora! Sora!"
Beberapa saat kemudian, Shin sudah terlihat sedikit lebih tenang. Meski begitu Jae tidak bisa merasa lega sepenuhnya melihat istrinya masih lemas. Wajahnya sangat pucat. Setelah Sora memberikan sebotol minuman ramuan khusus yang dibelinya dari minimarket terdekat, Shin mengaku perutnya sudah tidak lagi terasa melilit.
"Kakak jangan khawatir, Kak Shin selalu mengalami dismenore di hari pertama datang bulan. Setelah minum ini, nanti juga rasa sakitnya akan mereda dengan sendirinya," ujar Sora tenang.
Jae yang duduk di pinggir kasur menghadap Shin yang membujur di ranjang pun mengernyit. "Apa? Dis-dismen ...? Penyakit apa itu?"
Mata Sora membulat, dia lantas tampak kebingungan menjelaskannya pada Jae. "Itu ... nyeri haid! Rasa sakit di perut! Sebagian perempuan mengalaminya saat menstruasi. Apa Kakak tidak tahu itu?"
Jae menggeleng polos. Wajah semua perempuan di situ termasuk Bibi Tin mendadak berubah memerah. Jae juga. Membicarakan masalah perempuan, ini memang terdengar risi. Jae memandang Shin yang tertunduk. Pantas jika Shin tidak mau menjawab apa yang terjadi padanya ketika Jae bertanya. Sungguh, ia tidak mengerti sama sekali soal itu. Ia bahkan baru tahu jika semua perempuan mengalami masa haid saat ia kuliah, karena saat SMP dan SMA, ia bersekolah di sekolahan khusus untuk laki-laki saja.
"Sebaiknya kau sediakan minuman seperti itu yang banyak untuk ke depannya," tutur Jae tak menampik kekhawatiran akan hal yang sama di kemudian hari.
Shin mengangguk canggung.
"Nyonya, saya akan buatkan ramuan khusus untuk meredam rasa sakitnya. Saya pernah tahu daun sirih sangat ampuh untuk mencegahnya. Kita hanya perlu merebusnya dengan gula dan mengambil sarinya," ujar Bibi Tin mendapat gagasan cerah.
"Iya, Bi, coba buatkan untuk Shin!" sahut Jae senang.
"Iya, Tuan. Saya akan mengumpulkan bahan-bahannya." Bibi Tin kemudian berlalu.
"Kalau begitu aku juga harus berangkat sekolah," timpal Sora. "Kak Jae tidak perlu khawatir lagi, setelah beberapa jam, nanti Kak Shin akan kembali pulih."
"Hm." Jae mengangguk. "Kim, antar Sora ke sekolahnya."
"Baik, Tuan!" Kim yang sedari tadi berdiri di belakang Sora pun keluar bersama adik Shin itu.
Tinggal mereka berdua. Kim telah menutup pintu kamarnya dan Jae kembali memandang sang istri yang malah terlihat sungkan-sungkan padanya sambil memeluk perutnya sendiri.
"Masih terasa sakit?" tanyanya halus.
Shin mengangguk tanpa memandangnya.
"Beristirahatlah dulu sampai kau benar-benar pulih." Jae beranjak dari duduknya tapi tiba-tiba wanita itu menarik tangannya, mencegahnya untuk hengkang.
Jae pun terduduk kembali.
"Maaf, sudah membuatmu khawatir dan terluka seperti ini."
Jae mengikuti arah pandang mata Shin pada tangan Jae yang masih dipegangnya. Ada luka bekas cakaran kelima kuku. Shin mencengkeramnya dengan sangat kuat saat menahan kesakitan di perutnya beberapa saat yang lalu.
"Tidak apa." Jae menggenggam tangan Shin itu dan langsung menarik perhatian perempuan itu padanya. "Maaf aku tidak bisa menolongmu lebih banyak untuk masalah ini. Aku malah khawatir, aku pikir ... kau kesakitan setelah aku menciummu," ungkapnya cemas.
Shin menundukkan kepala dan Jae melihat kedua sudut bibir wanita itu mengembang sedikit. Dia menertawakannya mungkin karena merasa pengakuan Jae itu lucu. "Oh? Kau tersenyum?" Jae melongokkan wajah untuk dapat melihatnya dengan jelas tapi Shin malah berpaling karena malu. "Apa itu artinya kau senang?" godanya.
Shin menutup mulutnya dengan satu tangan. Dia tersenyum malu-malu. Ya Tuhan, Jae bergetar mengawasinya. Meski ia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena Shin sengaja menghindarinya untuk menyembunyikan senyuman dan rasa malunya, tapi Jae senang. Sungguh, ia merasa ini sebuah pertanda yang baik. Senyum Jae tersungging. Tawanya mengudara pelan. Ia gembira sekaligus tersanjung.
Kapan masa menstruasinya akan berakhir? Apakah itu akan lama? Jae ingin menanyakan itu, tapi mulut tak mampu menyuarakannya. Ia takut salah mengartikan senyuman Shin itu.
"Baiklah, aku akan ke ruang kerja sebentar. Panggil aku jika kau butuh sesuatu." Maka ia putuskan untuk lebih bersabar lagi.
Shin mengangguk singkat. Jae pun menuju pintu kamar sambil terus mengawasi istrinya, sampai ia benar-benar keluar dari sana.
Jae menyalakan laptop di meja kerjanya. Hal yang pertama-tama ia kerjakan bukanlah mengecek email atau memeriksa berkas hotel. Ia mengetik satu kata pada kolom penelusuran di Google dan memilih salah satu informasi dari situs yang ingin diketahuinya mengenai menstruasi pada wanita. Ia membacanya dengan serius dan mendapat banyak info dari situ. Nyeri yang dirasakan Shin bisa sangat berbahaya, atau juga tidak. Sebagian perempuan bahkan kerap pingsan mengalaminya. Itu akan terjadi di hari pertama masa haid dan bisa hingga beberapa hari. Ada berbagai cara untuk mengatasinya. Jae menyimak semuanya dan mencatatnya dengan baik di dalam otaknya. Ketegangannya melemah saat tahu masa-masa itu normalnya terjadi selama satu minggu pada setiap bulannya. Begitu ... Shin, dia membuat Jae mempelajari hal konyol ini untuk yang pertama kalinya.
*****
"Eh, Bibi! Tunggu!"
Suara Shin di belakang dapur sontak menarik perhatian Jae. Rencananya, seperti biasanya, setiap bangun pagi ia membutuhkan seteguk air dingin dari ruang makan untuk menyegarkan tenggorokannya. Lima hari setelah kejadian dismenore itu dan saat itu Jae memutuskan untuk tidak mengganggu istrinya sementara waktu, dan semuanya berjalan seperti biasanyadengan biasa-biasa saja, kini Shin kembali membuat Jae penasaran dengan mendengar suara santernya.
"Nyonya, ada apa?"
"Apa yang Bibi lakukan? Ini adalah celana dalam!" Shin terdengar marah saat Jae sedang dalam perjalanan menuju ke tempatnya.
"I-iya, saya akan mencucinya, Nyonya."
"Bibi? Mencucinya? Tidak, tidak! Ini adalah milik suamiku, sekarang ini, aku yang akan mencucinya!"
Berhenti di ambang pintu belakang, Jae mengerutkan keningnya saat Shin mulai menganggap Jae suaminya, selalu dengan suaranya yang parau dan takut-takut. Ia tersenyum heran, tapi juga senang.
"Tapi saya selalu mencucinya sejak saya bekerja di sini. Dan itu sejak Tuan masih remaja."
"Ya, tapi sekarang sudah ada aku, kan? Bibi kerjakan saja yang lain. Untuk urusan ini, aku yang akan mengerjakannya mulai sekarang. Aku akan mencuci semua pakaian suamiku. Ini tidak sepantasnya Bibi yang mengerjakan." Dia berdiri di depan mesin cuci dan masih memegangi celana dalam milik Jae.
Mengejutkan.
"Tapi, Nyonya—"
"Aku mohon mengertilah, Bi. Tidak sopan membiarkanmu melakukannya."
"Tuan Kim juga."
"Aku akan suruh Kim untuk mencuci miliknya sendiri nanti. Bibi bisa mengerjakan pekerjaan yang lainnya saja. Ini semua milik suamiku, kan?"
"Iya, Nyonya."
"Baiklah. Tunjukan aku bagaimana cara menyalakan mesinnya."
Bertengger di kusen pintu, Jae mencoba mencermati apa yang telah terjadi di depan matanya sambil terus memperhatikan nyonya uang recehan itu dengan hati berbunga-bunga. Dia keras kepala juga.
"Nyonya bisa menekan tombol ini untuk menyalakannya dan putar berapa lama waktunya. Ini untuk menguras airnya keluar. Dan ini untuk mengeringkannya."
"Aha, baiklah, ini sangat mudah."
"Ngg, Nyonya ...."
"Iya?"
"Kau sangat baik, Tuan Jae sangat beruntung mendapatkanmu!" Setelah itu Bibi Tin pergi, masuk melalui pintu dapur.
Ya, itulah yang juga Jae rasakan dan ingin ia sampaikan. Tidak hanya beruntung, ia lebih merasa tidak salah menjatuhkan pilihan. Wanita seperti Shin-lah yang ia inginkan selama ini. Yang tidak malu untuk menyadari apa yang menjadi tanggung jawabnya sebagai seorang istri. Dia tidak risi meski harus mencuci pakaian dalam milik Jae kendati mereka belum pernah melakukan apa pun. Melakukan sebuah hubungan intim. Sepertinya dia pun tidak akan malu jika harus menghadapi hal yang menjadi kelemahan Jae sekalipun untuk ke depannya. Dia wanita yang mau menyesuaikan diri. Dia bisa mengerti dan mengatasi tanggung jawabnya sendiri. Dia mau berusaha menjadi seorang istri. Tadi, ketika Jae bangun dari tidurnya, ia sudah tidak mendapati Shin ada di sebelahnya. Rupanya dia juga wanita yang rajin.
"Tuan, apa yang Anda lakukan di sini?" Kim datang tiba-tiba, suaranya yang parau sontak menarik perhatian Shin ke arahnya. "Aku mencari Tuan ke seluruh ruangan, tapi Tuan malah ada di sini?"
Jae panik. Ia kebingungan karena akibat teguran Kim, Shin pun menyadari keberadaan Jae sejak tadi. Aduh, gawat!
"Kim." Shin memanggil Kim, serentak menarik pandangan Kim dan Jae kepadanya. Wanita itu berjalan ke arah mereka dengan ragu-ragu. "Apa-apaan kau ini!"
Lho? Dia menceletuk Kim dengan nada suaranya yang lirih.
"Tidak pantas menyuruh Bibi Tin untuk mencuci pakaian dalammu. Kau sudah dewasa, seharusnya kau bisa melakukannya sendiri. Apa kau tahu, walaupun Bibi sudah tua, kau tetap harus menghormatinya!" Dia tampak takut-takut meski sedang kesal.
"Ngg ... i-iya, Nyonya." Kim malah kebingungan, tapi juga sepertinya dia tak percaya pagi ini Shin akan mengomelinya.
Setelah itu, Shin berlalu.
Astaga ... Jae tidak percaya Shin akan menegur Kim hanya untuk masalah pakaian dalam. Dia bisa marah juga, pikir Jae tertawa geli.
"Eh, Tuan? Kau tertawa?"
"Dengarkan apa yang dikatakan nyonyaku!" celetuknya, menyeringai, kemudian pergi.
"Nyo-nyonya-nya?"
*****