Shin berusaha membuat dirinya sibuk di rumah suaminya, karena merasa tidak enak sendiri harus berdiam diri. Awalnya Shin tidak tahu apa yang harus ia kerjakan. Rumah itu sudah bersih dan rapi. Begitu pun dengan pakaian Jae. Bibi Tin juga telah menyelesaikan cucian piringnya. Jadi setelah mencuci pakaian kotor Jae, hal yang bisa ia lakukan selanjutnya guna mengisi waktu senggangnya adalah dengan menyiapkan bahan-bahan untuk makan siang nanti.
"Nyonya, sudah biarkan saya saja yang mengerjakannya."
"Aku hanya membantumu, Bi."
"Tapi Tuan akan marah jika tahu Anda melakukan pekerjaan rumah. Anda nyonya di sini."
"Kenapa harus marah? Aku hanya seorang istri. Dan ini adalah perkerjaan seorang istri. Lagi pula, terbiasa bekerja keras membuatku tidak nyaman jika harus berdiam diri."
Shin mengambil wortel dan mengupasnya setelah memaksakan dirinya untuk repot.
Bibi Tin berdiri di sebelahnya, meracik bumbu-bumbu yang akan dipakainya untuk menu hari ini. "Ah, Nyonya ... kau sangat sederhana. Kau juga sangat baik. Pasti itu kenapa Tuan Jae bisa memilihmu!"
"Jangan memujiku terus, Bi. Tuan Jae mengatakan padaku Bibi sudah bekerja lama untuknya dan memintaku untuk menganggapmu seperti ibunya juga."
"Tuan Jae memang sangat baik, layaklah jika Tuan mendapatkanmu, Nyonya!"
Shin tersenyum sungkan, merasa tidak sepantas itu.
"Kenapa, ya, saya merasa Nyonya tidak asing?" Bibi Tin memperhatikan Shin dengan saksama.
"Eh? Apa Bibi pernah melihatku di jalan?"
"Rasanya saya sudah kenal dekat denganmu jauh sebelum kalian menikah!"
"Benarkah? Mungkin kita memang pernah bertemu sebelumnya!"
Bibi Tin tersenyum mengangguk-angguk.
"Katakan, Bi. Apa makanan kesukaan Tuan Jae? Kapan dia pulang? Apakah dia akan makan siang di rumah?" Sambil bersuara, kedua tangan Shin bekerja.
"Tuan Jae bisa pulang kapan saja, Nyonya. Sebagai komisaris baru, dia tidak memiliki pekerjaan khusus. Hanya memantau dan meninjau. Ayahnya telah mempekerjakan seseorang sebagai general manager untuk mengatur segala urusan yang berkaitan dengan perusahaan, baik di dalam maupun di luar. Tuan akan pergi jika memang benar-benar diperlukan, karena Tuan sendiri masih perlu banyak belajar untuk bisa memahami tentang bisnis ayahnya itu. Walaupun begitu, dia dituntut untuk berpikir keras agar tidak salah dalam mengambil keputusan."
Shin mendesah. "Itu pasti sangat sulit baginya setelah bertahun-tahun berkutat dengan dunia balapnya."
Akhirnya ia sedikit bisa memahami posisi Jae saat ini.
"Ya, benar."
"Kenapa ... dia mengundurkan diri dari profesi pembalapnya, Bi?"
"Aku tidak tahu pasti, Nyonya. Setelah ayahnya meninggal, tidak lama dari itu Tuan mengalami kecelakaan saat balapan. Tuan Jae menjadi trauma dan akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi pembalap dan memilih untuk meneruskan bisnis ayahnya."
Shin mengangguk samar setelah sempat tercenung mendengarkan informasi itu. "Begitu .... Lalu, kenapa ibunya tidak pernah datang, bahkan di saat pernikahan kami?"
Bibi Tin menoleh ragu-ragu. "Itu ... Nyonya, berjanjilah jangan pernah tanyakan ini pada Tuan."
"Oh? Kenapa? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang ibu mertuaku?" Kali ini Shin sungguh penasaran.
"Tuan tidak akan suka. Hubungan mereka memburuk sejak Tuan Jae masih kecil hingga saat ini. Akan lebih baik jika Nyonya tidak mengungkitnya. Itu akan mengingatkannya pada kenangan masa kecilnya yang pahit."
Jadi, itulah sebabnya ibu Jae tidak datang saat pernikahan putranya. Apakah hubungan mereka seburuk itu? Apa yang telah terjadi pada Jae kecil sehingga dia harus membenci ibunya sendiri sampai saat ini?
Shin ingin bertanya, tapi Bibi Tin terlihat takut dan enggan memberitahunya. Shin tercenung, berpikir, apakah Jae benar-benar akan marah jika Shin menanyakannya langsung padanya? Walaupun hubungan mereka sedang tidak baik, tapi perempuan itu adalah ibu Jae, sampai mati pun hubungan mereka tidak akan pernah bisa terputus.
"Nyonya, kita akan memasak makanan kesukaan Tuan nanti, Anda bisa memasaknya sendiri untuk Tuan Jae. Tapi jam makan siang masih beberapa jam lagi, sebaiknya Nyonya beristirahat saja dulu."
"Baiklah. Aku akan pergi ke kamar sebentar untuk merapikan pakaianku."
"Iya, Nyonya."
Shin pergi ke kamarnya untuk melakukan apa yang ia katakan. Seperti yang Jae minta, Shin akan menyimpan pakaiannya ke dalam lemari. Pria itu mungkin juga merasa risi melihat tas yang memuat seluruh pakaian Shin terbengkalai di pojok ruangan dan mengganggu pemandangan. Sebelum itu, Shin mengeluarkan seluruh pakaiannya dan menaruhnya di atas ranjang. Ia akan melipatnya terlebih dulu supaya rapi.
Sembari melipat pakaiannya sambil berdiri di depan kasur, Shin memeriksa ponselnya dari pesan-pesan pelanggan kuenya, memastikan apakah masih ada dari mereka yang memesan kuenya sebab ia sendiri telah memberi tahu kepada mereka bahwa Shin tidak akan membuatnya lagi setelah menikah. Setelah memastikan ponselnya bersih, Shin kemudian meletakkannya di atas meja lampu.
Saat itu ia melihat laci di bawah meja itu tidak tertutup rapat. Ada sesuatu, kain putih yang menonjol ke celah dan membuatnya sedikit terbuka. Shin pun mendorongnya, memaksanya, akan tetapi tidak juga berhasil. Ia memasukkan gumpalan itu tapi tetap tidak muat. Sepertinya benda itu terlalu besar untuk disimpan dalam laci sempit ini, pikirnya membuka laci dan langsung menemukan sebuah boneka kelinci dengan kaki dan tangan yang lurus.
Apa? Kenapa ada boneka di sini?
Shin mengeluarkan benda lucu itu dari sana, memperhatikannya. Boneka yang lusuh. Warnanya putih usang, bulunya pun kumal dan pada bagian lehernya patah karena sebagian jahitan di situ rusak. Seorang Jae memiliki benda seperti ini? Jika Jae menyimpan boneka usang seperti ini di kamarnya, berarti kemungkinan boneka ini adalah benda kesayangannya atau sebuah kenang-kenangan yang tidak ingin dibuang, pikir Shin mencerna keberadaan boneka itu. Sayang sekali tidak terawat dengan baik. Shin memutuskan untuk mengambil benang dan jarum yang ada di tas pakaiannya, yang sengaja ia bawa untuk berjaga-jaga. Ia pun menjahit leher boneka yang masih lucu itu, menyatukan dengan kepalanya.
Setelah utuh kembali, Shin memajangnya di dekat lampu meja, mendudukkannya dengan baik. Ia tersenyum melihat boneka itu tampak rapi dari sebelumnya.
Kembali ke urusan semula, Shin beranjak ke lemari pakaian yang akan ia pakai untuk menyimpan baju-bajunya. Lemari dari kayu jati di kamarnya itu memiliki enam pintu. Mereka begitu besar dan kukuh. Sebelum memasukkan semua pakaiannya ke dalam sana, Shin penasaran dengan pintu lemari yang ada di sebelahnya. Ia membukanya dan terperangah melihat koleksi pakaian Jae yang memenuhinya. Sangat banyak dan tertata rapi menurut jenis kain dan warnanya. Dia memiliki banyak baju berwarna putih, baik itu kemeja maupun yang berbahan kaus. Sungguh Shin terpukau. Ia tidak pernah melihat pakaian sebanyak itu. Mulai sekarang Shin harus tahu dan bisa memilihkan pakaian mana yang akan Jae kenakan, sebab ia rasa itu juga adalah tugasnya sebagai seorang istri.
Di salah satu loker tinggi, menggantung berbagai macam jas dan blazer, juga seragam balap Jae. Waw, itu sangat keren. Berwarna hitam biru, terbuat dari bahan khusus dan terdapat banyak tulisan dari logo sponsor. Shin membayangkan saat Jae memakainya, dia pasti tampak sangat gagah.
Beralih ke pintu berikutnya, Shin tercenung. Jae berkata ada keindahan di dalam sana dan Shin bisa membukanya jika ia ingin melihatnya. Shin tidak sepenasaran itu. Ia tidak tertarik pada keindahan itu kendati ia tidak tahu seperti apa keindahan yang dimaksud Jae. Ia hanya merasa perlu tahu dan harus tahu. Ya, sebagai istri, Shin ingin tahu semua tentang dunia suaminya. Shin ingin mengenalnya lebih dekat. Lagi pula ada yang berbeda dengan kedua pintu lemari yang itu. Atapnya setinggi langit-langit kamar.
Lemari yang aneh, kenapa dibuat setinggi itu? Bagaimana cara Jae akan menyimpan barangnya di rak bagian paling atas? Apakah menggunakan tangga? Sepertinya lemari ini dirancang khusus dan dibuat dengan maksud tertentu. Shin pun mengulurkan satu tangannya, memegang gagang kedua pintunya. Shin ingin membukanya. Apakah ia seberani itu?
"Nyonya, tamu Tuan Jae sudah datang!"
Shin tersentak kaget begitu suara Bibi Tin terdengar di luar kamarnya.
"Ah! Iya, Bi, aku akan segera turun." Mengurungkan niatnya untuk membuka.
Jae mendatangkan beberapa orang yang mengaku petugas dari sebuah butik. Mereka membawa banyak sekali pakaian, tas dan juga sepatu ke dalam rumah, lalu meminta Shin untuk memilih beberapa yang ia suka. Apakah mereka tamu yang dimaksud Jae?
"Nyonya, pilihlah pakaian yang kau sukai. Kau harus punya pakaian yang sesuai untuk banyak acara. Kau akan membutuhkannya nanti, karena mulai sekarang ke mana pun aku pergi, kau harus ikut menemaniku. Ambillah yang banyak, juga untuk Sora. Pilihkan untukku juga, ya!" Begitu kata Jae saat Shin meminta Bibi Tin untuk menghubunginya dan mempertanyakan maksud dari semua ini.
Lalu, Shin bisa apa? Saat Jae memutuskan, ia merasa tidak kuasa untuk menolak. Pria itu selalu punya alasan kuat untuk mencekat bantahannya.
Salah seorang wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai sang desainer menunjukkan beberapa contoh pakaian terbaiknya sambil bercerita kedekatannya dengan Jae sebagai pelanggan setianya. Dia menempelkan pakaian itu ke badan Shin, memilihkan model yang tepat untuk Shin. Aneh, Shin hanya diam saja membiarkan orang-orang itu melakukannya.
Bahkan, ketika Shin diminta untuk mencoba beberapa pakaian, Shin menurut saja meski sebenarnya ia masih bingung kenapa Jae sampai harus melakukan ini. Di samping alasan yang Jae berikan, Shin berpikir mungkin tadi pagi setelah melihat pakaian Shin hanya sedikit, muncullah gagasan di benak pria itu untuk menambah koleksi pakaiannya. Namun yang membuat Shin semakin terkejut, Jae juga mengirim beberapa petugas dari sebuah toko perhiasan. Mereka berlomba-lomba menawarkan keunggulan dari setiap barang untuk membuat Shin tertarik. Shin tidak memiliki kemauan atau keinginan khusus, ia tidak berkomentar ataupun mengatakan kekurangan yang ada pada barang, ia hanya akan memilih menurut yang ia suka saja.
*****
"Waaah, Kakak! Semua baju-baju ini pasti sangat mahal! Lihat, tas-tas ini juga bermerk dan bersertifikat! Aku tidak percaya Kak Jae akan memberikan semua ini untuk kita!"
Sora memajang semua barang-barang mewah yang baru didapatkannya itu di atas kasurnya, sepulangnya dari sekolah. Dia terlihat senang sekaligus tak menyangka saat Shin menunjukkannya, seperti antara percaya tidak percaya. Semuanya begitu banyak. Selain untuk Shin, Jae juga meminta Shin memilihkan pakaian untuk Sora. Shin hanya duduk termenung di pinggir kasur memandang barang-barang mewah itu dengan pandangan kosong tanpa ketertarikan sama sekali.
"Dia juga memberikan tiga set perhiasan sekaligus untukmu, Kak! Ya Tuhan, apa kita sedang bermimpi?" Sora mengangkat satu set perhiasan dalam kotak dan menatapnya dengan tatapan takjub.
"Kakak!" Sora mendekati Shin dengan wajah serius. "Apa ini tidak berlebihan?" pikirnya malah berubah resah.
Shin menatap adiknya itu dengan perasaan lemah.
"Bagaimana jika Kak Jae akan berpikir Kakak mau menikah dengannya setelah tahu dia itu Jae?"
Shin mengernyit, kali ini pikirannya yang sempat kosong mulai bekerja membenamkan dugaan sang adik.
Sora menambahkan, "Dan Kak Jae akan mulai berpikir kita hanya inginkan kemewahannya saja. Setelah itu kita tidak akan bertahan lama di sini. Kakak, sebaiknya kita kembalikan saja semua barang-barang ini. Bisa saja, kan, Kak Jae melakukan ini untuk menguji ketulusan kita? Lebih baik kita tidak punya apa-apa daripada harus kembali ke tempat pembuangan sampah itu!"
"Tidak, Sora," bantah Shin dengan halus. Ia mempunyai pemikiran berbeda setelah mencerna semua ini. "Jae bukan orang seperti itu."
"Bagaimana Kakak bisa yakin? Kita baru beberapa hari saja mengenalnya."
Ya, hanya beberapa kali saja mereka bertemu dan Shin langsung menerima lamarannya. Semua orang tentu akan meragukan ketulusannya dan mempertanyakan niat Shin, sama seperti yang Sora pikirkan. Mereka pasti berpikir Shin hanya inginkan kekayaannya dan kehidupan yang menjamin dengan menerima lamarannya. Jae sendiri begitu yakin ingin menikahinya setelah hanya beberapa kali pertemuan tak disengaja. Seperti lagu, Shin hanya perlu mendengarnya satu kali untuk bisa memahaminya, itu juga yang dilakukan Jae padanya.
"Jika aku berpikir sama sepertimu, aku pasti sudah menolak semua ini saat mereka datang tadi pagi, bahkan saat Jae datang melamarku. Memang, aku menerimanya karena tahu dia itu Jae. Dia adalah pria yang telah dikirim Tuhan untuk melindungiku."
"Kakak ... apa kau yakin Kak Jae tidak akan curiga jika kita terus menerus menerima kebaikannya?"
"Tidak, Sora. Aku tahu dia punya maksud lain dengan memperlakukan kita sebaik ini. Aku tahu ...." Shin akan membuktikannya.
*****