Pagi pertama di rumah Jae, Shin bangun lebih awal. Semalam ia tidak bisa tidur tenang kendati Jae telah terlelap dan memberinya keamanan. Berkali-kali Shin terjaga. Ia resah karena itu adalah saat pertamanya ia tidur dengan seorang pria. Terkadang ketika pria itu bergerak di bawah alam sadarnya, Shin khawatir tanpa alasan.
Ia sudah tidur di tepian ranjang tapi tetap saja ia merasa tidak nyaman dengan kebiasaan barunya ini. Astaga, Shin tidak mengerti kenapa ia bisa yakin untuk menerima lamaran pria itu. Ia tidak habis pikir apa yang membuatnya berani untuk menikah, sedangkan ia masih takut hidup dengan seorang pria, terlebih mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Adakah pernikahan semacam ini?
Shin membongkar isi tasnya.
Tas besar berisi beberapa pakaian yang ia bawa dari rumah. Shin mengeluarkan seluruh pakaiannya ke lantai, mencari baju favoritnya. Ia yakin sudah memasukkan semua pakaian yang ia punya ke dalam tas itu, tapi tidak bisa menemukannya.
"Kau mencari sesuatu?" Tiba-tiba Jae sudah berdiri di sebelahnya, mengagetkan Shin.
"Oh!" Cepat-cepat Shin memasukkan semua pakaiannya kembali ke dalam tas tanpa melipatnya kembali. "Ti-tidak, hanya ... bukan sesuatu yang penting." Shin berdiri usai menutup tasnya.
Pria itu menatapnya dengan heran. Shin melihatnya sejenak, lalu tertunduk sungkan. Jae baru terbangun dari tidurnya dengan rambut yang berantakan menutupi seluruh dahinya.
"Jika kau membutuhkan sesuatu, kau bisa katakan padaku."
Shin tidak melihat bibir tipis Jae banyak bergerak atau terbuka lebar saat berbicara, selalu begitu. Dia sangat datar.
Shin menganggukkan kepalanya satu kali. Ia lantas berbalik untuk pergi keluar, tapi Jae menahannya.
"Shin." Beberapa kali dia memanggil nama Shin dengan nada yang khas. Mungkin juga karena itulah Shin merasa dia sangat akrab.
Shin kembali memutar badan ke arah Jae. "Hm?" Ia menatap pria itu dengan canggung, tapi Jae terlihat tenang.
"Kau meninggalkannya!" Jae mengangkat sebuah bra hitam di depan dadanya.
Hah! Oh, tidak! Terbelalak, Shin berjalan cepat ke tempat Jae untuk mengambil barang miliknya dengan panik. Ia meremas benda itu dan menyembunyikannya di belakang punggung. Payah, ini sangat memalukan! Bagaimana bisa benda sepenting ini luput dari penglihatannya? Shin tertunduk sambil meringis geli, membodohi dirinya sendiri.
Jae tersenyum simpul. "Sebaiknya kau masukkan semua pakaianmu ke dalam lemari," ujarnya lalu beranjak melewati Shin yang masih paranoid.
Shin memutar badannya perlahan mengikuti arah Jae sambil terus menyembunyikan bra-nya di balik punggung, supaya pria itu tidak melihat pakaian dalamnya itu lagi. Sungguh memalukan!
*****
Shin berjalan ragu-ragu ke arahnya ketika Jae tengah mengaduk kopi dalam cangkirnya di meja bar. Seperti biasa, wanita itu tertunduk dan tampak gugup sambil menautkan jari-jari tangannya. Jae melihat kali ini Shin tampak sangat malu padanya, entah mungkin karena bra yang ia temukan tadilah yang menyebabkan. Aneh, dia sangat panik seakan itu adalah kesalahan dan tidak bisa dimaafkan, sedangkan Jae sendiri bersikap biasa saja. Nantinya juga ia akan tahu semua apa yang dimiliki istrinya, begitu pun sebaliknya.
"Mm ... biar aku yang membuatkan kopinya," kata wanita itu malu-malu menatap mata Jae.
"Tidak usah, aku sudah biasa membuatnya sendiri. Lagi pula ini sudah jadi," ujar Jae santai, mengangkat cangkirnya.
Tiba-tiba Shin tertunduk sedih. Dia mengembuskan napasnya dari mulut dengan lirih. Eh? Kenapa dengannya? Apa Jae mengatakan hal yang salah? Shin terlihat menyesal. Apakah karena Jae tidak membiarkannya membuatkan kopi untuk Jae? Merasa telah membuatnya tersinggung, Jae kebingungan saat akan menjelaskan bahwa itu bukanlah maksudnya. Meracik kopinya sendiri adalah kebiasaannya setiap hari. Ia pikir Bibi Tin sudah terlalu banyak mengerjakan tugas rumah, jadi ia tidak pernah merasa keberatan untuk melakukan hal kecil dengan tangannya sendiri. Kendati kini ia telah beristri, Jae masih belum bisa melepaskan kebiasaannya itu. Sungguh ia tidak sadar jika hal ini mungkin malah membuat Shin merasa tidak berguna.
Jae menggulingkan cangkirnya dan sengaja menumpahkan seluruh isinya ke meja demi menepis perasaan itu dalam diri Shin, sambil mendesah kaget. Shin terkesiap, dia terkejut dan langsung bergegas mendekati Jae. Dia mengambil serbet di sekitar meja dengan sigap dan meletakkannya di atas tumpahan kopinya.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya panik, sepertinya dia khawatir kopi panas itu melukai tangan Jae.
Bagaimana mungkin, Jae telah mengatur arah yang tepat untuk menumpahkannya. "Ya, tidak apa. Tapi ... aaakh, aku menumpahkan semuanya." Jae memasang wajah dan nada kecewa.
"Aku akan membuatkannya lagi untukmu."
"Benarkah?"
Shin mengangguk.
"Baiklah, aku akan tunggu di sana."
"Hm."
Jae pun berlalu.
Sesaat ia memandang ke belakang sambil berjalan menuju ke ruang tamu dan melihat nyonya itu memasak air, lalu mengambil cangkir baru dan mulai meracik kopinya lagi dengan cekatan. Baguslah, Jae tersenyum. Dia tahu bahwa dirinya sudah menjadi seorang istri sekarang ini dan ingin melakukan sesuatu sebagai istri. Hingga beberapa hari terakhir, Jae sempat bertanya-tanya apakah yang membuat Shin menerima lamaran darinya. Ia kerap tidak memusingkannya karena ia merasa yang terpenting saat itu adalah akhirnya ia bisa menikah dengan wanita itu. Namun kini Jae tahu, Jae merasa Shin hanya ingin menjadi seorang istri. Itu wajar karena sebagai seorang wanita dengan usia yang telah matang, tentu menuntutnya untuk serius dalam berumah tangga, dan Jae akan memberinya kesempatan untuk itu.
Di ruang tamu, Jae duduk dengan menopangkan kaki. Ia membaca koran dan tidak ingin ke mana-mana lagi. Ia akan mencicipi kopi buatan istrinya untuk yang pertama kali. Begitu wanita itu datang menghantarnya, Jae merasa semakin tidak sabar.
"Ke mana Sora? Apa dia tidak sekolah?" Ia bertanya untuk melebur kecanggungan suasana yang terbentuk setiap kali wanita itu di dekatnya.
"Sora sudah berangkat pagi-pagi tadi, karena ada tugas piket."
"Oh? Rajin sekali." Jae menurunkan kaki seraya melepaskan punggungnya dari sandaran untuk mengambil cangkir yang Shin letakkan di atas meja. Jae menyeruput kopinya dan merasa larut sesaat ke dalam rasanya.
Ini adalah kopi yang enak. Shin meraciknya dengan takaran gula yang pas sehingga menciptakan kenikmatan yang membekas. Sebenarnya rasanya sama seperti kopi pada umumnya, tapi karena Shin yang membuatnya, Jae merasa ada yang berbeda. Sentuhan dari tangan Shin membuatnya jadi lebih berkesan. Sensasi yang diperoleh ketika seteguk kopi itu menyirami tenggorokannya, Jae merasa terang kembali tak hanya pada penglihatannya saja, tapi juga hatinya. Ia memandang istrinya yang masih berdiri di sisi meja dan merasa bunga-bunga mulai bermekaran dalam dadanya.
"Aku ... akan menyiapkan sarapan untukmu."
"Shin!" Jae mencegah. Ia letakkan kopinya kembali dan bangkit dari duduknya menghadap sang istri yang membulatkan mata menantinya.
"Untukmu." Jae memberikan sebuah amplop panjang berisi uang yang ia ambil dari ruang kerjanya ketika Shin sibuk membuatkan kopi.
"Apa ini?"
"Uang, nafkah dariku untuk bulan ini."
"Hah?" Shin malah melongo menatapnya. "Ti-tidak. Tidak usah. Kau sudah memberikan banyak waktu itu. Lagi pula semua kebutuhan di sini sudah tersedia."
"Ini untuk keperluanmu pribadi."
"Hah? Tidak perlu, aku masih belum membutuhkan apa-apa."
"Shin, menerima sesuatu dari suamimu adalah tugasmu juga. Terimalah!"
Shin menurunkan pandangannya dari mata Jae pada amplop berwarna coklat di tangan Jae. Dia tercenung tidak langsung menerimanya. Entah apa yang dipikirkannya. Sepertinya wanita itu punya banyak alasan yang menahannya untuk itu. Namun seolah punya pendapat lain, Shin pun akhirnya mau mengambilnya.
"Baiklah," katanya. "Terima kasih."
Seandainya dia tahu, itu juga salah satu cara Jae untuk menjadi suaminya. Selain memang sudah menjadi ketentuan, dengan menerima pemberian darinya, Shin sedikit bisa membuat Jae merasakan rasanya menjadi seorang suami.
Sebelum Shin membawa kakinya untuk hengkang, Jae melihat mulut wanita itu tergagap tanpa suara dan hidungnya bergetar. Dia akan bersin!
"Hatchi!"
Tepat pada saat suara bersin itu berbunyi dari hidung dan mulut Shin, Jae telah menutupi mulut juga hidung Shin dengan satu tangannya. Jae bisa merasakan telapak tangannya agak basah, tapi ia senang. Tertegun, kedua mata bulat Shin berkedip-kedip bengong. Dia terkejut Jae melakukannya. Dalam sekejap, Shin dilanda panik. Dia menurunkan tangan Jae, memeganginya seraya menarik sehelai tisu di atas meja untuk mengeringkannya. Shin benar-benar alergi pada debu.
Jae tersenyum. "Tidak apa." Ia menarik tangannya kembali.
"Ja-jangan lakukan itu lagi," pinta Shin cemas.
"Aku tidak keberatan," ujar Jae jujur.
Shin malah melongo.
"Cepat siapkan sarapannya untukku, ya! Kita akan makan bersama."
Shin mengangguk kaku, kemudian berlalu. Jae sangat menyukainya.
*****