Makan malam pertama di tempat tinggal baru, semakin menemukan hal yang akan menjadi kebiasaan barunya, semakin membuat Sora merasa sedang bermimpi. Bisa makan di meja yang lebar dan panjang dengan berbagai menu mahal. Sungguh, satu kali pun Sora tidak pernah membayangkan akan dapat merasakan keistimewaan semua ini. Ia memang tidak pernah menyesal dengan menjadi adik Kak Shin, tapi kali ini rasanya Sora sangat beruntung memiliki seorang kakak sepertinya. Kakak Shin menikah dengan Kak Jae dan mengubah kehidupannya.
Tidak ingin mempermalukan sang kakak, Sora hanya mengambil beberapa menu makanan untuk dirinya dan berusaha untuk terlihat tidak terkejut atau bersikap norak. Ia mulai menyantap makan malamnya bersama yang lain. Makanan-makanan itu begitu lezat, Sora tidak pernah mencobanya walau hanya sekali dalam hidupnya. Sama halnya dengan Kak Shin.
Sora melirik sang kakak yang duduk di sebelahnya. Di kursi utama, Kak Jae mendudukinya. Sedangkan Kak Kim menempati kursi di depan Kak Shin. Sora yakin Kakak pun memikirkan hal yang sama sepertinya meski Kakak terlihat tenang dan tak bersuara. Eh? Sora tertegun begitu matanya menatap Kak Jae dan mendapatinya tengah mengawasi Kak Shin diam-diam. Apa yang dilihatnya? Sora penasaran dengan aksinya. Kak Jae terus saja memperhatikan istrinya sambil sesekali menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sora bisa melihat kekaguman di matanya. Kak Shin, dia malah melamun sembari mengunyah makanannya dengan sangat lambat. Dia tidak sadar tengah diawasi oleh suaminya.
Saat melihat Kak Jae mengulas senyuman tipis, sekali lagi Sora melihat sebuah perasaan besar tertanam di matanya untuk Kak Shin. Apakah itu artinya Kak Shin telah membuatnya jatuh hati? Kak Jae terlihat berharap, akan tetapi Kak Shin sama sekali tidak memandangnya. Hi hi, lucu sekali melihatnya. Sepertinya masih belum terjadi apa-apa, pikirnya nakal. Bagaimana Sora akan membantunya?
Kak Shin memang kaku. Mungkin selama hidupnya Kak Shin tidak pernah berhubungan dengan pria. Ia bersyukur masih ada pria yang mau menerima kakaknya dan beruntungnya lagi dia adalah Kak Jae. Sora berdoa semoga Kak Jae bisa melenturkan kebekuan Kak Shin dan berhasil menyentuh hatinya. Bagaimanapun juga, Sora bahagia melihat mereka bisa bersatu dan ada untuknya.
Bagaimanakah cara Kak Jae yang pendiam untuk mendekati Kak Shin yang pemalu? Itu pasti akan sulit.
Kak Kim menegur perbuatan Sora yang telah mengintai pasangan pengantin baru itu dengan menginjak kakinya di bawah meja. Pengawal Kak Jae itu melototinya, menyuruhnya untuk tetap fokus pada makanannya.
"Baiklah." Suara Jae mengisi keheningan suasana. "Aku sudah selesai," katanya bangkit dari duduknya.
Semua mata menatapnya. Dia masih menyisakan sebagian makanan di piringnya.
"Kim, urus jadwalku besok dan jangan menggangguku malam ini. Aku ingin pergi tidur sekarang. Selamat malam semuanya."
"Selamat malam," sahut Kim dan Sora.
Jae meninggalkan kursinya dan Sora melihat Kak Shin termangu, seakan merasa ada yang disesalinya.
"Kakak, ayo kita lihat kamarku setelah ini!" Sora menegur renungan Shin.
"Iya," jawabnya tak bersemangat.
*****
Shin mengelilingi setiap sudut kamar yang kini ditempati sang adik dengan pandangannya. Terlalu luas dan bagus, hanya itu yang ada di benaknya.
"Kakak, Kakak, lihat! Kasurnya sangat lebar. Lebih lebar dari kasur kita di rumah, Kak, rasanya aku tidak percaya aku akan tidur sendirian di kasur ini!"
Senyum Shin tersungging melihat keantusiasan Sora yang polos. Dia tampak gembira menunjukkan setiap sudut ruangan yang terpajang berbagai properti bagus dengan warna senada. Kamar minimalis berdominan warna ungu itu sepertinya memang sengaja didesain untuk anak perempuan. Apakah itu artinya Jae sengaja menyiapkannya untuk Sora?
"Dan meja belajar ini, komputer ini, sudah lama aku memimpikan untuk bisa memiliki kamar pribadi dengan meja belajar khusus di dalamnya dan sebuah komputer. Aku akan memajang fotoku dan menyimpan buku pelajaranku di sini! Aku tidak akan kesulitan lagi mengerjakan tugas komputerku! Kapan-kapan ajak Bibi Ri ke sini, Kak! Bibi akan terkejut melihat kamar baruku ini! Aaaah, aku tidak menyangka Kak Jae yang akan mewujudkan impianku selama ini!"
Ya, Shin pun merasakan hal yang sama. Ia tidak menyangka hidupnya akan berubah dalam sekejap. Penderitaan yang ia hadapi selama bertahun-tahun, rasanya tidak berarti lagi begitu Jae menikahinya. Dia tidak hanya berjanji akan mengeluarkan mimpi-mimpi yang tertahan di mata Shin, tapi juga imipian Sora. Jae sepertinya tahu kebahagiaan Sora adalah kebahagiaan Shin. Dengan menikahi Shin, dia tidak hanya harus menerima Shin, tapi juga Sora. Dia membuktikan bahwa dia bisa memberi dan menerima. Lantas, bagaimana dengan Shin? Apa yang akan ia lakukan untuk membalasnya? Tentu saja ia bisa menerima semua yang dimiliki pria itu, tapi apa yang bisa Shin berikan untuknya? Kenapa ... tiba-tiba Shin merasa telah datang ke kamar yang salah?
"Kakak!"
Shin membuyarkan lamunannya dan kembali fokus pada sang adik.
"Kak Jae sangat baik. Aku bisa merasakan dia tidak memiliki niat jahat terhadap kita. Ketika melihatnya memandang Kakak, aku merasa ... dia jatuh cinta padamu, Kak!" Berdiri di depan Shin, Sora mengungkapkan sebuah kalimat mengejutkan itu dengan hati-hati.
"Hah?"
"Apanya yang hah, Kak? Kakak tidak lihat tadi bagaimana Kak Jae sangat marah hanya karena kue pemberian dari Kakak dimakan habis oleh Kak Kim? Itu kue yang Kakak buat kemarin, kan? Hi hi, itu sangat romantis! Ayo cepat sana, temui Kak Jae dan katakan sesuatu padanya, Kak!" Sora mendorong Shin dan memaksanya untuk keluar dari kamarnya.
"Sora, apa-apaan kau ini?"
"Kembalilah ke kamar Kakak, aku akan tidur!"
"Sora, aku"
Shin tersentak begitu Sora menutup pintu kamarnya.
"Aakh, dasar anak kecil, tahu apa dia soal cinta?" Shin bicara pada dirinya sendiri.
"Aku tahu, Kak!" sahut Sora dari dalam kamar agak meneriakkan suaranya. "Seperti Kakak melihatku dengan penuh kasih sayang, seperti itu dia melihatmu!"
Eeh? Apakah seperti itu? Jujur dalam hati, Shin sendiri tidak mengerti bagaimana itu cinta. Seperti apa bentuk dan rasanya. Tetapi Jae, dia mengatakan apa pun yang terjadi di antara mereka mulai sekarang, dia sebut itu cinta. Apakah itu berarti benar Jae telah jatuh cinta padanya? Sejak kapan?
Shin membuka pintu kamarnya, tapi tidak bergegas melangkahkan kakinya ke dalam. Ia berdiam diri di ambang pintu memastikan penghuni di dalamnya telah tertidur. Di kasur besar dan bagus itu, Shin melihat Jae sudah terbujur dengan mata terpejam. Setelah mengumpulkan sedikit keberanian, Shin mulai melangkah masuk. Semakin mendekat, jantung dalam dadanya semakin berdetak tak keruan. Matanya terus terarah pada Jae yang telah tertidur dengan tenang. Dia tidur dengan cara yang sangat baik. Dia berbaring sambil melipat kedua tangan di atas perut. Wajahnya begitu damai, tapi Shin malah merasa tidak tenang.
Ia pun naik ke atas kasur yang sama di sisi Jae. Napasnya terasa menggebu hanya untuk duduk saja. Bagaimana Shin akan tidur? Bisakah ia terlelap di sisi pria itu? Bagaimana jika saat kesadaran Shin hilang, pria itu bangun dan mencoba melakukan sesuatu lagi padanya? Dia telah berani mencium Shin, tentu keberanian untuk melakukan hal yang jauh lagi pasti ada karena Jae tentu merasa itu sah-sah saja sebagai suami Shin. Shin belum sesiap itu.
Shin menoleh, mulai memperhatikan paras suaminya. Jae berkata merasa hatinya telah terpatri pada Shin ketika mereka bertemu sehingga itulah yang membuatnya yakin untuk menikahi Shin. Sesungguhnya ... Shin memiringkan wajah mengatur posisi yang tepat untuk dapat mengamati setiap bagian wajah suaminya dengan arah yang benar. Shin pun tak menampik rasa yang sama. Ketika tahu bahwa pria yang datang melamarnya adalah Jae, pria pemilik arloji seram itu, hati Shin seakan berbisik bahwa ia harus menikah dengannya.
Kenapa? Beberapa kali mereka bertemu. Meski hanya melihat dari jam tangannya saja, Shin merasa dia adalah orang yang baik. Shin merasa dia pria yang akan memperhatikannya seperti saat mereka bertemu di toko perhiasan itu. Dia pria yang akan memaafkannya sama seperti ketika Shin merusak kemejanya. Dia pria yang akan melindunginya sama seperti saat pria itu mengembalikan kalung milik Shin. Dia juga akan mencintai Shin tanpa ragu-ragu seperti saat dia berani memegang tangan Shin tanpa takut-takut ketika mengembalikan buku catatan milik Shin hari itu. Rasanya, semua itu benar. Dia juga pria yang tidak terlalu banyak bicara seperti pria lain yang ia tahu, tidak terlalu banyak membicarakan tentang Shin yang hina ini. Dia pendiam dan tampan.
Hatci!
Jae tersentak mengerutkan matanya yang terpejam begitu tiba-tiba Shin bersin di depan wajahnya.
Oh! Gawat! Celaka! Astaga, astaga! Ya Tuhan! Shin kalang kabut. Bagaimana ia bisa tiba-tiba bersin? Kenapa harus di saat Shin berada di posisi yang tidak tepat? Dalam kepanikannya terselip juga rasa takut. Ia mencari sesuatu untuk mengelap wajah Jae sambil kebingungan. Oh, ya Tuhan! Ini benar-benar memalukan!
Begitu menemukan persediaan tisu di atas meja lampu di sisi ranjang, Shin mengambilnya sehelai dan buru-buru membungkukkan badan untuk membersihkan wajah suaminya. Pria itu terusik dan berusaha terbangun. Payah, bodoh! Perlahan-lahan Shin menempelkan tisu itu pada setiap bagian wajah Jae. Kendati sedang tidak sakit dan menderita flu, saat bersin tetap saja udara kotor akan keluar dari hidungnya. Aduuuh, bagaimana ini? Shin telah mengganggunya. Shin sungguh ketakutan.
Shin terkesiap begitu tangan dingin itu menggenggam tangannya yang sedang bergerak berusaha membersihkan percikan dari wajah Jae. Mata mereka bertemu. Shin bisa melihat Jae terganggu dan mungkin dia akan marah. Dia tidak berkata apa-apa, malah terdiam bengong menatap mata Shin yang membelalak tegang.
"Ma-maafkan aku, a-aku sungguh tidak sengaja melakukannya ...," gumam Shin dengan suara bergetar. Ia sangat ketakutan.
Jae melepaskan tangan Shin yang masih tertahan di wajahnya usai mengambil tisu itu dari tangan Shin. Dia beranjak duduk sambil mengelap wajahnya sendiri. Shin pun kembali menegakkan badannya.
"Kau melakukannya lagi," kata Jae bergumam. Nadanya begitu datar sehingga sulit bagi Shin membedakan apakah dia marah atau sedang meledeknya.
"Oh! Aku minta maaf padamu ...." Shin menunduk, menyesali kecerobohannya. "Aku tidak tahu kenapa hidungku sering kali gatal dan tiba-tiba bersin."
"Kau alergi debu?"
Shin mengangguk ragu.
"Lalu ... apa yang sedang kau lakukan di depanku?" Pertanyaan langsung itu serasa menembak Shin. Terlebih saat Jae memalingkan wajahnya untuk menatap Shin, Shin tak bisa berkutik.
"Ngg ... itu ... aku ... aku ... itu ...."
Pria itu terus menatapnya sehingga Shin tertunduk malu tak dapat menemukan suaranya lagi. Astaga, apa yang terjadi pada dirinya? Shin tidak mengerti sama sekali. Apakah ia harus mengatakan bahwa ia sedang mengawasi pria itu dan wajahnya berdebu sehingga membuatnya bersin? Itu konyol. Tiba-tiba tersenyum simpul, Jae menyuarakan tawanya. Dia tertawa lirih dan terus tertawa seakan Shin sedang mengajaknya bercanda. Dia menoleh ke depan sambil terus tertawa sendiri memikirkan sesuatu.
"Kau begitu lucu," katanya memandang Shin. "Aku suka padamu."
"Heh?"
Jae mesem. "Tidurlah."
Jae memutuskan untuk kembali tidur. Dia mengambil guling di tengah untuk dirinya sendiri, lalu mengambil posisi memiring menghadap ke arah Shin. Aduh, kenapa harus melihat ke sini? Shin resah tanpa alasan. Pelan-pelan ia mulai membaringkan tubuhnya karena ia tidak mungkin akan terus terjaga sepanjang malam. Sora pun tidak akan membiarkan Shin tidur di kamarnya.
Ragu-ragu Shin menyilakan kedua tangannya di atas dada untuk berjaga-jaga. Jae terus memperhatikan dan menyadarinya. Dia malah tertawa geli. Sepertinya Shin terlalu polos, bisa jadi sangat memalukan, tapi mau bagaimana lagi, ia hanya inginkan keamanan. Mengerti itu, Jae pun membalikkan badan, memutar arah tidurnya dengan membelakangi Shin. Eh? Tuhan, Shin tidak percaya pria itu benar-benar memberinya keamanan.
*****