Shin dan Jae ...
Kedua nama itu akhirnya bersatu di hari pernikahan. Raga mereka bertemu dalam satu ikatan. Mereka akan melangkah bersama dalam sebuah jalinan. Ia berjalan malu-malu melewati satu jalur yang mengantarnya sampai ke dekapan Jae untuk selamanya. Gaun putih yang membalut seluruh tubuhnya memancarkan keanggunan yang memaku pandangan Jae mulai hari ini dan seterusnya. Sepasang mata berkilau itu mulai berani menatap pria itu terang-terangan, menyerahkan sebuah tanggung jawab besar untuknya sepanjang masa.
Shin tidak percaya kini dirinya telah menikah. Ia lebih tidak percaya lagi pada pria yang menikahinya, maksudnya ... pria itu ... dia tampak terlalu tinggi untuk Shin impikan. Untuk bisa membayangkannya saja otak Shin merasa tidak mampu. Bahkan untuk berpikir akan berkesempatan duduk di dalam mobilnya yang mewah saja tidak pernah. Kini pria itu duduk di sampingnya sebagai suami, menyetir mobilnya dengan santai. Setelah melewati serangkaian acara sakral dalam pernikahannya, mengucap janji di depan altar, Jae akan membawa Shin dan Sora tinggal di rumahnya.
Pernikahan mereka digelar dengan sangat sederhana dan tidak banyak tamu yang diundang. Hanya kerabat dekat untuk menjadi saksi. Kendati Shin menyayangkan ketidakhadiran ibu Jae pada pernikahan putranya, semua tetap berjalan dengan sangat baik seperti yang semestinya. Tuan pemilik jam tangan menyeramkan itu terus memandangnya dengan wajah berseri-seri.
Shin benar-benar tidak menyangka akan datang seorang pria baik yang mengeluarkannya dari perkampungan kumuh itu. Dia membersihkan Shin dari kotoran dan membuat semua tetangga di sana geleng-geleng kepala melihatnya datang menjemput Shin. Bagaimanapun juga, bukanlah itu tujuan Shin menerima pinangan Jae. Pria itu sendiri tidak akan menyadari sebuah pertanda yang dia bawa sebagai jodoh Shin. Karena Tuhanlah yang telah menuntunnya diam-diam hingga sampai ke tempat Shin. Shin tidak akan bisa mencari dan mendapatkan pria yang baik, sebaik yang telah dijodohkan Tuhan untuk dirinya.
Sementara untuk pergi dari rumahnya, di sisi ada perasaan lega, Shin juga merasa berat sebab Bibi Ri tidak bersedia ikut tinggal bersamanya, kendati Jae sendiri telah memintanya untuk itu, dengan alasan tidak bisa meninggalkan tokonya. Bibi berdoa untuknya supaya tidak pernah kembali lagi ke tempat kumuhnya. Bagaimana bisa, Shin besar di sana dan dibesarkan olehnya. Shin berderaian air mata ketika harus meninggalkannya.
Setibanya di rumah Jae yang besar dan bergaya minimalis dengan dua tingkat, Shin merasa menjadi sorotan dunia meski tak ada orang lain di sana. Di depan teras terdapat banyak rangkaian bunga yang dikirim oleh orang-orang penting dan dari beberapa perusahaan untuk memberikan selamat atas pernikahan mereka. Karangan-karangan bunga-bunga cantik itu sangat besar dan banyak. Kabar pernikahan mereka tentu telah sampai ke telinga orang-orang terdekat Jae, juga orang-orang yang bekerja untuknya di hotel, tapi Shin tidak melihat tamu yang hadir di gedung untuk menyaksikan pernikahan mereka sebanyak itu. Sepertinya Jae sengaja mengatur pernikahan mereka dengan sangat pribadi, dan Shin pun merasa nyaman.
Rumah itu terlalu besar untuknya. Dengan pekarangan yang luas, garasi dan juga kolam renang di halaman belakang, rumah itu menjadi idaman bagi setiap orang. Apakah pantas Shin berada di sana? Sora terlihat antusias. Dia terus berkata bahwa dirinya sedang bermimpi. Setiap benda yang dilihatnya dalam rumah Jae membuatnya berkali-kali berdecak kagum, dan tak dapat lagi menyembunyikan binarbinar takjub serta ketercengangannya. Sebisa mungkin Shin mengendalikan perasaan yang sama. Berbeda dengan sang adik, semua kemewahan yang ia dapatkan dengan menjadi istri Jae justru membuatnya terbebani. Mungkin Shin akan belajar mengatasinya ketika mulai terbiasa nanti.
Saat matanya berhenti menjelajahi ruangan utama dan mengarah pada Jae yang berdiri di pertengahan anak tangga, Jae memintanya untuk naik dengan sebuah isyarat mata. Shin pun mengangguk ragu.
Jae membukakan pintu kamarnya dan Shin berjalan di belakangnya memasuki ruangan pribadi itu, takut-takut. Kamarnya cukup luas, bernuansa putih dan rapi. Jika kamar adalah cermin kepribadiannya, mungkin Jae termasuk orang yang suka dengan ketenangan dan suasana sepi. Pantaslah jika pria itu inginkan pernikahan mereka tertutup untuk orang luar termasuk teman-temannya.
Shin berhenti di tengah ruangan mengelilingi setiap sudut dengan pandangan, ketika Jae sibuk menyimpan sesuatu di laci meja lampu yang ada di sebelah ranjang besarnya. Kemudian, pria yang telah menjadi suaminya itu berbalik badan lalu berjalan mendekatinya. Shin bisa memperkirakan dengan pasti badannya sepuluh senti lebih tinggi dari Shin yang bertinggi badan 168 cm. Shin juga bisa merasakan wewangian maskulin dari tubuh Jae adalah hasil semprotan dari parfum khusus tubuh. Bertatapan beberapa saat dan Shin pun merasa berdebar, tangan dingin itu tiba-tiba memegang dahi Shin. Jae menyapu poni yang menutupinya ke samping, lalu menyelipkan satu sisi rambut Shin yang selalu berurai ke belakang telinga. Ketika Shin disentuhnya, Shin malah merasa dia begitu hangat.
"Mulai sekarang, aku ingin kau seperti ini," ucap Jae lembut.
Setelah menegun Shin dengan kata-katanya yang penuh arti, Jae beranjak masuk ke dalam kamar mandi pribadi di ruangan yang sama. Dia pria yang berkarismatik.
*****
Shin tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di kamar yang luas dan mewah ini, ia duduk diam seperti patung yang teronggok di tepi kasur. Ia tidak pernah memikirkan apa pertama-tama yang harus ia kerjakan sebagai seorang istri. Di rumah ini semuanya tentu telah tersedia, tapi Shin justru merasa kesulitan menemukan keberaniannya.
Situasi menjadi tegang begitu terdengar suara pintu kamar mandi dalam ruangan berbunyi. Jae keluar dari sana dengan memakai kaus polos dan celana pendek. Dia datang. Dia berjalan ke arah Shin sambil mengawasinya. Dia membiarkan rambutnya yang ikal dan setengah basah terurai, menutupi keningnya. Dia sudah segar, Shin malah merasa gerah. Kedua tangannya meremas gaun yang menutupi pangkuannya. Ia berkeringat dalam ruangan dingin itu. Astaga, Shin gugup.
Ia berusaha untuk tidak teralihkan dari pemandangan kosong di depannya hingga pria itu sampai di tempatnya, duduk di sebelahnya dan ketegangan Shin pun menjadi-jadi.
"Hoooh!" Ketika Jae mengembuskan napasnya lewat mulutnya secara terang-terangan, Shin malah merasa menahan napas.
Begitu pria yang kini telah resmi menjadi suaminya itu memutar arah duduk padanya, menaikkan satu kakinya di atas ranjang dan kian mendekatkan diri kepada Shin, Shin tersentak spontan. Ia memekik tanpa suara menatap mata Jae dan senyuman tipisnya dengan ketakutan yang luar biasa. Mata mereka pun kembali bertemu.
"Aagh!" teriaknya seketika saat Jae mengulurkan satu tangannya ke arah bahunya dan Shin membuat gerakan menyila untuk melindungi dirinya sendiri.
Jae pun tertegun.
Dia memandang Shin dengan bingung, dengan satu tangan yang masih mengambang di udara, di depan dada Shin. Dia pasti akan melakukan sesuatu seperti yang semestinya dilakukan oleh pasangan suami istri. Namun karena ini adalah yang pertama kalinya, Shin kikuk. Perkenalan mereka yang singkat pun menjadi alasan utama ketidaksiapannya.
"Ngg ... Tu-Tuan ...."
Terbata-bata, itulah kata pertama yang keluar dari mulut Shin dengan penuh usaha setelah mereka menikah.
Jae menurunkan tangannya sambil mengernyit. "Tuan?" Kemudian tersenyum simpul. "Panggil aku Jae. Aku bukan majikanmu, aku suamimu."
Shin menganggukkan kepalanya yang mendadak kaku. Sebenarnya ia hanya ingin mengalihkan suasana saja.
"Ngg ... ngg ... ngg ... Bolehkah aku bertanya satu hal padamu?" Masih dengan kedua tangan menyila di dada, Shin mencoba untuk berani bersuara meski selalu dengan nadanya yang parau dan menggumam.
Dengan tatapan santai dan suaranya yang lembut, Jae menjawab, "Bahkan seribu pertanyaan, akan aku jawab untukmu. Karena mulai malam ini dan seterusnya, aku akan selalu bersamamu."
Jae berpikir itu adalah jawaban yang menenangkan, tapi bagi Shin kalimat terakhir yang dia ucapkan begitu menggelisahkan.
"Ngg ... kenapa ... kau ... me-ni-kahi-ku?" Shin tidak mengerti kenapa ia jadi terbata-bata.
"Aku sendiri tidak mengerti."
"Hah?" Mata Shin membulat.
"Aku hanya merasa, aku telah mendapatkan izin untuk menikahimu."
"Izin?" Shin mengernyit samar.
Jae menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, "Pernahkah kau berpikir, kenapa kita selalu bertemu tanpa sengaja? Aku malah mengira, mungkin saja kita sering bertemu tanpa kita sadari. Karena saat melihatmu, aku merasa kita telah terpatri."
Ooh ... pandangan Shin melemah memikirkan sekumpulan kata-kata berat itu, mencoba membayangkannya. Benar juga ... Kedua tangan Shin menyingkir dari dadanya tanpa sadar.
"Karena itulah yang membuatku yakin untuk menikahimu. Ini semua karena kita telah mendapatkan izin dari Tuhan, untuk menyatukan dua napas dalam satu kehidupan." Jae menuturkan dengan tenang.
"Tapi, Tuan, ough ... J-Ja-Jae ...." Astaga ... lidah Shin terkelu ketika hendak mengucap nama suaminya sendiri untuk yang pertama kalinya. Ada apa ini? Ia sungguh kikuk dan menjadi gagap. "Pernikahan bukanlah hubungan yang main-main. Kau tidak pernah mengenalku, bagaimana kau bisa semudah itu mengambil keputusan?" Sudah lama ia memendam pertanyaan ini.
"Shin, seperti lagu ... kita perlu mendengarkannya berkali-kali untuk dapat memahami arti liriknya. Tapi, aku hanya perlu mendengarmu sekali saja untuk bisa memahamimu. Bahkan hanya dengan melihatmu saja."
"Kau ... tahu kehidupanku seperti apa hanya dengan melihatku? Tapi aku ini lebih menyedihkan dari kelihatannya."
Terdiam beberapa saat menjelajahi paras Shin dengan suatu pemikiran, Jae kembali memberikan jawaban yang baik, "Tidak ada bedanya hidupmu dengan hidupku. Hidup ini memang menyakitkan. Tapi ... justru ketika aku melihatmu, aku melihat begitu banyak mimpi yang tertahan di matamu dan aku merasa harus menolongmu, begitu pun kau akan menolongku. Aku merasa ... hidupku akan stabil jika kau bersamaku.
"Shin, aku akan memberimu waktu untuk memulihkan hatimu. Biarkan duka yang terus mendatangimu menyingkir seiring waktu dengan tinggal bersamaku. Semua kesedihan yang datang mengarah padamu, aku berjanji semua itu akan menyelinap pergi tanpa kau sadari. Aku akan mengeluarkan mimpi buruk dari ingatanmu.
"Dalam hubungan ini, menjadi kesempatan untukmu, juga untukku. Aku ingin kita saling berusaha memberi dan menerima, karena mulai sekarang kau milikku dan aku milikmu. Tidak ada yang menjadi milikku jika tidak ada dirimu, begitu pun sebaliknya. Apa pun yang terjadi dengan kita, mulai sekarang ... itu cinta."
Shin terperangah olehnya. Ia terbius oleh beberapa kata dan menjadi lemah, seolah memberinya keyakinan untuk bisa hidup lebih baik bersama pria itu. Dia begitu mendewasai. Shin pun mengaku pengalamannya selama hidup tak cukup membuatnya dewasa. Jae yang tampak teratasi, dia justru memiliki pemikiran yang bijak dalam menyikapi keadaan ini. Dia tahu Shin ragu dan takut, akan tetapi dia sanggup mematahkannya. Semoga, juga segala kutukan.
"Biarkan aku menempati matamu dulu sebelum hatimu. Kau bisa lihat aku, lihatlah, aku akan bicara tanpa mengucap satu kata pun. Kau akan tahu, seberapa layaknya aku menempati hatimu. Lalu kau bisa memutuskan, ke mana kau akan menempatkan aku dalam dirimu." Jae menyelami bola mata Shin dengan sungguh-sungguh. "Aku akan selalu menunggumu, karena menurutku, kau juga berhak menentukan keputusanmu. Bagiku, kau layak untuk ditunggu."
Apa itu sebuah rayuan? Shin merasa terbuai. Ia pun menemukan ketenangan dengan menatap mata pria itu. Dengan berkata seperti itu, Jae telah membebaskannya dari keharusan dan Shin merasa terjaga. Inikah rasanya dirayu oleh seorang pria? Shin tidak menyangka pria itu bisa merayunya dengan sangat baik.
"Terima kasih. Aku ... juga akan berusaha untukmu." Shin berjanji.
"Bukan untukku saja, tapi untuk kita!"
"Hm!" Shin mengangguk mantap.
"Sekarang jika aku yang bertanya kenapa kau tiba-tiba mau menerima lamaran dariku, apakah kau akan berterus terang juga?"
"Oh?"
Jae mulai balik bertanya dan itu cukup menyudutkan Shin. Kenapa Shin menerima lamarannya? Kenapa Shin bersedia menjadi istrinya?
"Sebelumnya, aku melihatmu seperti tidak pernah ingin menikah. Tapi setelah melihatku ... ehem, apakah ... kau tertarik padaku?"
Bibir Shin terbuka kecil. Ia agak terkejut saat Jae mencoba menggodanya. "Itu ... itu ...."
Bagaimana Shin akan menjelaskannya? Bibi Ri selalu mengatakan bahwa setiap jodoh akan memberikan sebuah pertanda. Shin menerimanya karena beberapa kali Shin merasa telah menerima pertanda itu dari Jae. Ia pun yakin pria itu memanglah jodohnya. Hanya itu.
"Itu ...."
Tangannya terulur, mengusap bibir Shin dengan kelima jarinya secara tiba-tiba. Shin terkesiap. Lalu secepat kedipan mata, pria itu memegang lengan Shin sambil mencondongkan wajah, membungkuk, menekankan bibirnya ke bibir Shin. Oh, Tuhan! Dia mencium Shin!
Saat Shin berusaha untuk menarik wajahnya karena kaget, Jae menarik lengan Shin dan semakin mendorong bibirnya, seakan-akan tak rela untuk melepaskannya dan mereka bertahan seperti itu hingga beberapa detik. Waktu seakan berhenti ketika kedua bibir saling bersentuhan. Pikiran waras Shin hilang beberapa saat, terbius pengalaman baru yang didapatkannya bersama Jae. Dia menggenggam erat lengan Shin sehingga Shin menjadi tegang. Ia mematung meremas bajunya seperti mayat dengan mata membulat.
"Setelah ini aku tidak ingin kau ragu-ragu lagi saat akan bicara padaku. Kau mengerti?" ujar Jae begitu menarik bibirnya sendiri, melepaskan Shin dari kelembapannya. Suaranya begitu lirih dan Shin bisa merasakan napas yang keluar dari mulut Jae meniup permukaan wajahnya, seolah mengembalikan nyawanya.
Jae turun dari kasur dan memutuskan untuk meninggalkan Shin. "Shin!" panggilnya sebelum berlalu, menarik pandangan Shin seketika. "Kau bisa memanggilku dengan sebutan apa saja yang kau suka," katanya lalu membuka pintu dan keluar.
Dia meninggalkan senyuman manis dan Shin masih tercengang-cengang tak percaya dengan apa yang sudah dilakukan pria itu kepadanya.
Kau benar, Tuan. Shin pun berpikir kenapa mereka sering kali bertemu tanpa disengaja. Semua yang dikatakannya benar. Tuhan telah mengizinkan keduanya untuk saling menyatukan dua napas dan dua hati ini dalam satu kehidupan.
*****