Sore itu, menjelang senja ...
Jae datang seorang diri ke tempat proyek pembangunan hotel barunya sesaat sebelum matahari tenggelam. Lokasi telah sepi. Proses pembangunan selesai untuk hari ini. Seluruh pekerja konstruksi pun telah pulang. Ia tergesa-gesa keluar dari mobil untuk menghampiri Shin di sana. Beberapa menit yang lalu pengawas proyek menghubunginya, memberi tahu seorang wanita menunggunya sejak dua jam yang lalu. Jae merasa terganggu sebab saat itu ia sedang mendengarkan laporan di rumahnya dari para staf yang bekerja untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahannya, sebelum akhirnya bawahannya itu menyebutkan nama calon istri Jae, ia pun membubarkan rapat dan cepat-cepat pergi ke sana.
Shin terbangun dari duduknya di bangku kayu, juga dari lamunannya. Dia duduk seorang diri di sudut bangunan yang hampir gelap. Ditemani alat-alat berat konstruksi, diiringi gundukan pasir dan bata, debu-debu di sana beterbangan menyelimutinya. Napas Jae berembus besar berdiri di hadapan wanita itu dengan jarak satu meter. Wanita itu memandangnya dengan mata yang sayu, membersitkan kekhawatiran dalam hati Jae. Tiba-tiba ingin bertemu, Jae senang tapi juga heran. Besok adalah hari pernikahan mereka, setelah beberapa hari kemarin menolak untuk menemui Jae, mengapa sekarang tiba-tiba Shin mencarinya?
"Kenapa menungguku di sini?" Jae tidak bisa menahan pertanyaan itu sejak keluar dari rumahnya.
"Aku ... aku tidak tahu ke mana harus menemuimu. Aku tidak tahu rumahmu dan aku juga tidak punya nomor teleponmu," jawab Shin sambil melemahkan pandangannya ke bawah.
Termangu sejenak, Jae menghela napas dalam-dalam lalu mengembuskannya lewat mulut dengan penuh penyesalan. "Jika saja kemarin kau bersedia menemuiku dan pergi bersamaku, kau pasti akan sedikit lebih tahu tentang diriku."
Mereka akan menikah dengan keadaan seperti ini, tanpa saling mengenal dan tahu satu sama lain? Jae agak tak percaya hal seperti ini bisa terjadi, tapi ini benar-benar terjadi. Mereka sungguh akan menikah tanpa pernah membicarakannya.
"Ma-maaf, apa aku mengganggu waktumu?" Shin masih saja tak mau memandang Jae setiap berbicara. Suaranya yang lirih dan sedih membuat Jae tidak tega.
"Tidak," timpal Jae cepat. "Tapi apa yang membuatmu tiba-tiba ingin menemuiku? Di sini tidak aman untukmu."
Terdiam beberapa detik, Shin pun kembali bersuara, "Aku ingin bertanya satu hal padamu."
"Apa?"
"Apakah ... besok kita jadi menikah?"
Angin yang berembus di antara mereka membekukan keadaan seketika. Ketika dia mempertanyakan kepastian yang sudah bisa ditentukan beberapa jam lagi, sebuah keraguan telah Shin selipkan untuk Jae.
Jae tersenyum heran. "Tentu saja. Besok kita akan menikah. Apa ada masalah atau persiapan yang kurang? Katakan saja, kita akan mengatasinya sekarang juga."
"Ah, tidak! Tidak ada!" Shin menatap Jae dengan matanya yang berkaca-kaca. Dia terlihat panik, cemas dan takut. "Aku, aku hanya bertanya saja. Jangan dipikirkan."
Apa?
Jae sungguh tidak mengerti ada apa dengan wanita itu. Setelah membuat Jae penasaran, khawatir, tiba-tiba Shin memintanya untuk tidak memikirkan apa yang baru saja dikatakannya, bagaimana bisa? Kepala Shin tertunduk lagi, tapi Jae melihat bibirnya sedikit mengembang. Dia tersenyum? Jae heran tapi juga merasa ini konyol. Dia perempuan yang aneh. Dia meminta Jae untuk menganggap pertanyaannya tak berarti, tapi dia sendiri terlihat senang dan lega. Tentu ada maksud di balik pertanyaannya. Itu pasti sangat penting untuknya sehingga Shin harus menemui dan menunggu Jae hanya untuk menanyakannya saja. Jae penasaran.
"Apakah ... aku juga boleh bertanya satu hal padamu?"
Shin memandang Jae dan mengejutkan, wanita itu menggeleng menolak memberikan kesempatan pada Jae untuk balik bertanya.
Jae mengangkat kedua alisnya. "Kenapa?" Ia semakin tidak mengerti dengan calon istrinya itu.
Sampai Shin menjawab malu-malu, "Kau bisa tanya apa pun padaku besok setelah aku menjadi istrimu." Setelah itu, ia tertunduk kembali.
Tercenung, senyum Jae melebar dengan sendirinya. Jae tidak kecewa Shin menolaknya untuk bertanya. Sama sekali tidak. Ketika dia berkata menjadi istrinya, Jae malah merasa hatinya berbunga-bunga. Sebenarnya Jae ingin menanyakan perasaan Shin akan menikah dengannya, tapi penolakan yang diberikan Shin sudah cukup menjawab bahwa dia sangat mantap untuk menjadi istri Jae. Shin memberikan penolakan yang terbaik. Jae semakin mengaguminya.
"Baiklah ...." Jae manggut-manggut senang.
"Aku harus kembali. Terima kasih sudah mau datang."
Eh? Hanya itu? Dia menemui Jae hanya untuk menanyakan pernikahan mereka besok? Sungguh sulit dimengerti. "Aku akan mengantarmu!"
"Tidak usah. Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak apa."
Shin berbalik, lalu buru-buru pergi masih sambil menjinjing paper bag yang dibawanya sedari tadi. Langkahnya sangat tergesa-gesa, Jae tidak bisa mencegahnya meski ia tak rela. Wanita itu begitu menjaga dirinya, Jae sangat memahami itu. Namun kilatan petir disertai suara guruh menggelegar di langit kala itu tiba-tiba menghentikan langkah Shin, seolah tak menyetujui waktu yang singkat ini. Dengan tubuh mencekang, Shin berputar ke belakang menatap Jae yang terpaku mengawasinya di tempat yang sama.
Akhirnya Shin setuju Jae mengantarnya pulang.
Ketakutannya pada guruh dan petir rupanya menguntungkan bagi Jae. Hujan pun benar-benar turun dengan deras. Jae mengemudikan mobilnya pelan-pelan sambil sesekali memandang ke samping tempat Shin duduk dengan tegang. Dia duduk tanpa menyandarkan punggungnya sembari terus menjaga paper bag di pangkuannya.
Air dari langit pun masih terus memandikan bumi. Dia terlihat sangat kaku dan gugup, Jae jadi ragu dan serba salah ketika terlintas suatu pemikiran untuk mengajaknya bicara. Shin sangat pemalu dan tampaknya tidak mudah percaya pada orang lain. Namun dia mau menerima pinangan Jae kendati mereka tidak pernah saling mengenal sebelumnya. Bagaimana Shin bisa langsung percaya pada Jae? Sesuatu yang kuat telah meyakinkannya. Apa itu, Jae tidak tahu. Percuma juga ia menanyakannya, Shin tidak akan menjawabnya. Mereka akan menikah besok, tapi bahkan Jae tidak boleh bertanya apa pun pada calon istrinya? Shin bahkan tidak ingin tahu apa pun tentang Jae, tentang keluarganya, tentang pekerjaannya. Sungguh konyol.
Merasa aneh dengan kecanggungan ini, Jae menghentikan laju mobilnya di tengah lapangan. Ia berpikir untuk sedikit lebih mencairkan hubungan mereka. "Bisakah ... kita pergi keluar? Atau untuk makan malam sebentar? Aku sangat lapar." Itu adalah alasan terbaik yang Jae temukan dalam waktu sesingkat ini.
Shin menggeleng cepat. "Sora pasti mencemaskanku. Aku harus kembali."
"Ow."
"Ngg ... kau bisa makan ini jika kau merasa lapar." Shin memberikan paper bag yang dibawanya sejak tadi.
"Apa ini?"
"Aku membuatnya untukmu."
"Eh?"
Jae menerimanya, lalu membuka isinya. Sebuah kotak berisi kue cokelat berbentuk hati, sebesar kepalan tangan dan ada beberapa dengan bentuk serupa. Shin membuatnya untuk Jae? Dia hampir saja membawanya kembali pulang. Apa mungkin Shin merasa tidak percaya diri ketika akan memberikannya pada Jae?
Jae tersenyum memperhatikan kue-kue manis itu dengan suatu pemikiran menyenangkan. Kue-kue cokelat itu sangat istimewa. Shin membuatnya khusus untuk Jae. Jika saja hujan tak datang, kue-kue ini tidak akan sampai ke tangannya. Ia berterima kasih pada Tuhan yang selalu melibatkan hal lain untuk mempertemukan keduanya, seperti di pertemuan mereka sebelum-sebelumnya. Merasa sayang untuk dimakan, Jae menutupnya kembali. Lagi pula ia tidak benar-benar lapar.
"Bisakah kau menjalankan mobilnya sekarang?"
"Oh? Ah, iya!"
Jae mengantar Shin sampai di depan rumah. Hujan dan gelap yang menyelimuti malam ini membawa suasana sepi di perkampungannya. Tak satu pun orang yang melintas di gang sempit itu. Shin berlari kecil untuk sampai ke teras rumahnya menerjang butiran hujan. Jae terus mengawasinya di belakang setir sampai wanita itu memutar kepala ke arahnya dan memberikan sebuah anggukan berarti pada Jae, Jae pun tak dapat menahan senyumnya lagi. Hari yang indah di malam pernikahan. Ini adalah saat terbaik bagi Jae di mana ia bisa bertemu dengan calon istrinya hanya berduaan saja.
Sesampainya di rumah, Jae terus memandangi kue-kue lucu itu di atas meja kerjanya tanpa ingin memakannya sedikit pun. Ia menopang kepalanya dengan satu tangan, bingung kenapa harus melakukannya, dan tersenyum-senyum sendiri memikirkannya. Sayang jika harus menggigitnya, meski tampak sangat menggiurkan. Bentuk hati kue itu seperti sebuah ungkapan dan Jae bisa merasakan betapa manisnya itu. Jae sangat senang nyonya uang recehan itu ternyata diam-diam memikirkannya dan mulai perhatian padanya. Jae merasa ... Shin sedikit mulai menyukainya, atau mungkin sedang berusaha menyukainya. Apa pun itu, tidak masalah. Selama pernikahan mereka akan tetap terjadi, Jae merasa tenang.
*****
"Kakak, apa Kak Jae yang baru saja mengantar Kakak?"
"Hm? Iya."
"Haaaah?" Sora terkejut. "Kakak pergi menemuinya?"
Shin mengangguk santai sembari mengeringkan rambutnya yang agak basah dengan handuk kering.
"Aaaah!" Sora malah berseru curiga. "Diam-diam Kakak sudah berani menemui Kak Jae, ya? Kakak menyukainya, ya?" Dia menggoda dengan lirikan meledek.
Shin terdiam sesaat membenamkan dugaan sang adik. "Menemui calon suamiku, tidak ada salahnya, kan?"
"Aaaaaah, calon suamiku?"
Shin tersenyum malu begitu adiknya yang nakal itu kembali meledeknya.
"Baru kali ini aku melihat Kakak tersenyum saat membicarakan seorang suami!"
"Sudahlah, jangan menggangguku saja!" Shin berlalu menuju ke kamar.
Ia memandang ke luar jendela, menembus deraian hujan dengan pandangannya. Mengingat kembali pertemuan mendebarkan beberapa saat yang lalu dengan hati bergetar. Keberaniannya untuk menemui pria itu tidaklah muncul tanpa sebab. Setelah beberapa hari yang lalu, usai mendapat ancaman dari para warga, Shin cemas menunggu kepastian. Para tetangganya begitu yakin akan memberi tahu Jae tentang masa lalu Shin yang hina dan segala aibnya. Tentang ibunya, tentang Sora, dan juga tentang kutukannya.
Ia menanti-nanti Jae datang untuk meminta penjelasan dirinya, atau mungkin untuk menyampaikan pembatalan lamaran sebab dia mulai tergangggu dengan kabar yang para warga berikan. Shin siap kala itu dengan apa pun yang akan menjadi keputusan Jae nantinya. Sebab ia tidak mungkin memaksakan kehendaknya atau mencoba menjelaskan bahwa kabar itu tidak benar, karena Shin akan selalu kalah. Namun hingga hari ini, di malam pernikahan mereka, pria itu tidak kunjung datang. Jadi Shin berpikir mungkin mereka akan tetap menikah, tapi ia tidak bisa percaya begitu saja setelah para warga membongkar kehidupan Shin yang kelam. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi menemui Jae.
Tentu saja. Besok kita akan menikah, itu katanya.
Sebuah kalimat yang ringan tapi memberikan dampak berarti bagi Shin. Ia senang dalam kebingungannya. Apakah para warga tidak jadi mendatanginya? Atau apakah mungkin Jae yang tidak ingin percaya pada mereka? Sulit dipastikan, tapi Shin takut bila mencari tahu hal itu, justru akan menggali rasa penasaran Jae dan akhirnya mereka akan benar-benar batal menikah.
Besok mereka akan menikah. Walaupun di rumah Shin tidak ada persiapan apa pun, tapi pria itu selalu mengirim asistennya untuk datang ke rumah dan memberi tahu persiapan yang telah dilakukannya setiap hari. Jae mengurus semuanya sendiri. Dia sangat sibuk. Dia sangat bersemangat. Kini akhirnya Shin memasrahkan takdirnya kembali kepada Tuhan. Mungkin sebaiknya Jae tidak tahu apa pun tentang Shin saat ini. Jika memang Jae adalah jodohnya, maka apa pun yang akan terjadi nanti, apa pun yang akan Jae ketahui tentang masa lalunya nanti, mereka akan tetap bersatu.
*****