"Namanya Shin. Dia lahir di bulan Januari. Dia masih gadis dan tidak pernah berkencan dengan siapa pun. Tapi menurut informasi yang saya dapat, usianya sudah tiga puluh tahun, itu artinya dia lebih tua enam bulan dari Tuan Jae yang lahir di bulan Juli. Akh, ya ampun .... Dia juga—"
Jae merampas ponsel yang menempel di sebelah telinga Kim ketika mendapati pria itu tengah mengobrol diam-diam dengan ibunya dan membicarakan Shin.
"Eh, eh, eh, Tuan!"
"Ini aku!" sapanya langsung pada sang ibu, ketus. "Ada apa membicarakan Shin? Jika kau ingin tahu tentang calon istriku, kau bisa tanyakan langsung padaku!" katanya sinis.
"Jae, Ibu sangat terkejut ketika Kim memberi tahu rencana pernikahanmu dengan gadis seperti itu ...."
"Seperti apa maksudmu? Miskin dan tidak menarik, begitu?"
"Jae, kau seharusnya tahu gadis seperti apa yang pantas untuk kau jadikan istri."
"Karena itu! Aku yang lebih tahu siapa yang pantas menjadi istriku, bukan dirimu!"
"Tapi, Jae!"
"Jika kau tidak sibuk, kau bisa datang ke pernikahanku bulan depan. Jika tidak bisa juga tidak masalah."
"Jae—"
"Bukankah kau tidak pernah peduli dengan keputusanku? Jadi aku minta begitu pun dengan keputusanku yang ini."
"Baiklah, apa pun pilihanmu, semoga kau bahagia."
"Bagus. Baru kali ini kita memiliki harapan yang sama. Ini baru yang dinamakan ibu dan anak."
Jae menutup teleponnya dan memberikan ponselnya kembali ke dada Kim dengan perasaan muak, tapi juga puas.
"Setelah aku menikah, maka kontrakmu dengan nyonya besarmu berakhir. Kau telah gagal. Jadi sebaiknya pikirkan bagaimana nasibmu setelah pergi dari sini."
"Tu-Tuan! Jangan usir aku! Aku mohon, maafkan aku sudah merepotkanmu. Biarkan aku pergi setelah mendapat perkerjaan lain di kota ini. Aku tidak mungkin kembali ke keluargaku tanpa membawa uang."
Jae tersenyum sinis. Menyedihkan.
Bagaimanapun juga Jae tidak setega itu. Selama tinggal bersamanya, Jae merasa Kim mampu mengerjakan tugasnya dengan baik. Terkadang dia bisa membantu Jae menangani hal-hal kecil yang kerap diabaikan Jae, yang bisa menjadi masalah besar dalam pekerjaannya. Di samping bekerja untuk Ibu, dia juga bekerja untuk Jae. Lama-lama Kim mulai tahu dan terbiasa dengan keseharian Jae, keperluan Jae, begitu pun dengan kebiasaannya. Jika Kim pergi, Jae tetap akan membutuhkan seorang asisten nantinya. Daripada harus mencari lagi, Jae pun berpikir untuk membiarkan Kim tetap tinggal di rumahnya.
*****
"Shin! Hey, Shin! Keluar kau!"
Shin bergegas menghampiri pintu rumahnya setelah sempat ketakutan seorang diri di dalam kamar. Shin mendengar orang-orang itu mendatanginya, berteriak-teriak menggedor-gedor pintunya. Tuhan, ada apa lagi ini? Shin cemas.
Walaupun hal seperti ini bukanlah yang pertama kalinya terjadi, Shin tetap saja tidak mampu menghadapinya dengan berani. Mereka datang tentulah dengan niat yang tidak baik. Dari cara mereka bertamu, sudah bisa dipastikan hanya akan ada kata-kata kasar yang keluar dari mulut mereka. Tujuan mereka hanya untuk menyalahkan Shin atas semua masalah yang terjadi di sekitarnya. Kesalahan apa lagi? Shin sudah berusaha diam dan membiarkan orang-orang itu menghinanya, kenapa selalu Shin yang dianggap sebagai penyebabnya?
Shin pun akhirnya membuka pintunya karena mereka terus berteriak dan rasa-rasanya pintu Shin hampir retak dan terbelah seperti hatinya. Ia melihat beberapa tetangganya, baik itu yang perempuan maupun laki-laki telah berkumpul di depan terasnya. Mereka melihatnya dengan mata melotot yang mengancam dan Shin ketakutan setengah mati.
"Eh, Shin! Bagaimana kau bisa mengenal pria itu, hah? Apa yang kau lakukan padanya sampai dia berani menikahimu?"
"Ya, kau pasti menggodanya!"
"Kau memasukkan sesuatu ke dalam minumannya, kan? Mengaku saja!"
Mereka mendorong bahu Shin, hingga Shin tersentak ke belakang dan nyaris jatuh. Tuhan, Shin sudah menduga hal seperti ini akan terjadi sejak Jae tiba-tiba datang melamarnya, dan Shin pun menerimanya. Shin hanya sanggup menundukkan kepala, menahan air matanya.
"Kami saja yang orang biasa sulit untuk menerimamu, bagaimana mungkin pria seperti Hyun Jae bisa berpikir untuk melamarmu? Jika tidak karena kau yang menggodanya, kau pasti menggunakan sihir untuk membuatnya terpikat padamu!"
Shin menggeleng, air matanya pun tak terbendungkan lagi. Mereka para orang tua terus berteriak bersahutan dan melemparkan tudingan yang sangat keji padanya. Shin merasa sakit, sangat sakit.
"Kau menceritakan kisah palsu pada Jae untuk membuatnya simpati padamu, kan?"
"Lihat saja! Kami akan datang ke kediaman Jae dan mengatakan semua ini agar dia terlepas dari mantra licikmu!"
"Ya, ya, benar!"
"Kami akan meminta Kepala Desa langsung untuk datang ke rumahnya dan menyadarkannya! Kau itu tidak pantas untuknya!"
"Dasar tidak tahu diri! Setelah tahu Jae sangat kaya, dia mulai berani menggodanya! Apa yang ingin kau buktikan dengan menerima lamarannya? Kutukan itu tetap akan melekat padamu!"
"Ya, itu benar!"
Tangisan Shin memecah.
Ia tersedu-sedu begitu orang-orang itu pergi. Tuhaaan ... sia-sia jika Shin harus menjelaskan bahwa ia tidak seperti yang mereka katakan. Mereka akan lebih percaya pada kutukan Shin. Jika mereka akan mendatangi Jae untuk membuat pria itu tersadar bahwa Shin ini hina, tidak ada yang bisa Shin lakukan selain membiarkannya. Jika memang Jae akan percaya dan mulai berpikir ulang, lalu membatalkan lamarannya, Shin hanya bisa pasrah. Mungkin memang sudah menjadi takdir Shin harus menerima sebuah penolakan terus menerus selama hidupnya. Apalagi untuk bisa menikah dengan seorang pangeran, itu tidak mungkin. Ia bukan seorang penulis yang bisa mengatur jalan cerita hidupnya sendiri. Ia berani menerima lamaran dari pria itu hanya karena ia yakin pada pertanda jodohnya.
Bila Shin dan Jae tidaklah berjodoh, Shin anggap Tuhan punya rencana lain untuknya. Namun, bagaimana jika ternyata Jae tidak terpengaruh sama sekali dengan apa yang mereka katakan demi menjatuhkan Shin? Jika Jae tidak terganggu atau percaya pada kebohongan mereka, maka Shin berjanji akan menjadi istri yang sebaik-baiknya untuk pria itu. Shin bersumpah.
*****
Sebagai tugas utama, setelah putus kontrak kerja dengan ibunya Jae, Jae menyuruh Kim mengantar beberapa bingkisan untuk Shin dan keluarganya. Ia mengirim asistennya itu ke sana dengan membawa beberapa pakaian baru, makanan dan juga uang. Ia tahu keputusannya untuk menikahi Shin dalam waktu secepat ini, tentu akan membuat Shin kesulitan sementara waktu menjelang pernikahan mereka. Jae tidak ingin Shin dan bibinya merasa kerepotan dan harus bekerja keras.
Memang, setelah kedatangannya hari itu untuk melamar Shin, Jae kembali datang menemui Bibi Ri guna membicarakan pernikahannya dengan Shin, sebab Bibi Ri mengatakan bahwa Shin tidak mau menemuinya dan menyerahkan segala urusan pernikahan kepada mereka. Jae merasa itu lebih baik sebab ia ingin menanggung semuanya sendiri. Tidak apa jika Shin tidak ingin bertemu dengannya, mungkin karena malu atau tidak siap, Jae tidak merasa tersinggung sama sekali kendati ia tak bisa memungkiri keinginannya untuk bertemu dan mengobrol dengan calon istrinya itu. Wanita itu memang pemalu.
Akhirnya untuk melepas kerinduannya yang tiba-tiba membukit, ia meminta Kim untuk memasang kamera di badannya dan mengambil gambar keluarga sederhana Shin diam-diam saat Kim datang ke sana. Dengan kamera tersembunyi yang tersambung pada laptop Jae, Jae bisa melihat semuanya. Ia mulai mengawasi apa yang Kim lihat. Sora dan Bibi Ri tampak senang dengan hadiah dari Jae.
Shin hanya berdiam diri di depan meja tamunya tanpa bereaksi. Dia hanya melihat barang-barang pemberian Jae tanpa ingin menyentuhnya. Dia tertunduk seperti biasanya, hingga Jae kesulitan menemukan seluruh wajahnya. Namun kepekaan Kim harus Jae acungi jempol. Dia mengajak Shin bicara dan akhirnya wanita itu menoleh, bicara dengan polosnya. Ya Tuhan, Jae merasa lega tapi juga tidak puas.
Ada apa denganku ini? Kenapa sebulan terasa lama? Shin ... kau membuatku tersiksa ... Jae berbisik dalam relung hatinya.
Tak lama dari itu, terdengar keributan di luar rumah Shin. Dari kamera itu Jae melihat Shin, adiknya, Bibi Ri keluar dan Kim pun mengikutinya.
"Shin! Kenapa kau mengkhianati penantianku, Shin?"
Jae mengernyit begitu seorang pria paruh baya berkumis datang dan mengatakan hal konyol itu pada Shin dengan wajahnya yang layu. Kim memutar badannya ke arah Shin dan Jae bisa melihat calon istrinya itu bersembunyi ketakutan di belakang bibinya.
"Kenapa kau mau menikah dengan orang lain, padahal kau tahu aku masih menunggu jawaban darimu, Shin! Kau sama sekali tidak menghargaiku!"
"Bibi, siapa orang ini?" tanya Kim mewakili rasa penasaran Jae yang serius memantaunya dari layar laptopnya.
"Ngg ... dia hanya tetangga biasa," jawab sang bibi cemas. "Hey, Tuan Jun! Shin memang akan menikah, jadi berhenti mengganggunya!"
"Aku tidak pernah mengganggu Shin, aku hanya ingin Shin menjadi istriku! Tapi kenapa kau malah menerima lamaran dari pria yang baru saja kau kenal, Shin? Sedangkan hampir setiap hari aku datang melamarmu, tapi tidak sekali pun kau memberiku jawaban! Apa kurangnya aku, Shin?"
Eh? Jadi ... pria itu juga melamar Shin? Jae berpikir keras. Pria tua itu? Setua itu?
"Kau itu kurang bersyukur, Tuan Jun!" sahut Bibi Ri. "Kau sudah punya dua istri, tapi masih saja mengincar Shin untuk kau jadikan yang ketiga! Dasar tidak tahu diri!"
Jae berpaling melepaskan tawa singkatnya mendengar jawaban sang bibi. Astaga, konyol sekali. Jae pikir orang itu siapa! Ternyata hanya pria hidung belang saja.
"Aku akan menceraikan semua istriku jika Shin bersedia menjadi istriku!"
Jae tersenyum tak habis pikir kenapa ada pria semacam itu di sana. Sepertinya Shin benar-benar membuat laki-laki itu gila.
"Hey, Tuan! Pergilah, Nona Shin sudah menjadi calon istri tuanku. Jangan sekali-sekali berani datang lagi kemari!" Kim memperingatkan.
Ya, bahkan jika sampai Jae tahu laki-laki tua itu masih saja berusaha mengganggu Shin atau memaksa Shin, maka Jae sendiri yang akan mengurusnya.
"Shin, ini penghinaan bagiku!" Pria itu memandang pada Shin dengan tatapannya yang berang.
Sekilas Kim membuat Jae melihat Shin masih bersembunyi di balik punggung Bibi Ri karena takut. Tampaknya pria bernama Jun itu sangat mengganggu Shin selama ini.
"Eeh, sudah sana pergi!"
Jae memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di depan rumah Shin, meski ia tidak melihatnya secara langsung. Walaupun laki-laki berambut klimis dan berpenampilan seperti bos dari kelompok gangster itu pergi menggunakan mobil sedan bututnya dengan pasrah, Jae bisa merasakan laki-laki bercambang tebal dan memiliki berewok tipis itu sangat mengancam.
*****