Jae akhirnya tiba di lokasi tempat tinggal nyonya si pembuat kue brownies. Wanita tepat yang akan ia jadikan pendamping hidupnya. Kemarin, ia sendiri tidak sabar menunggu hari ini. Meski tidak banyak yang ia lakukan untuk sebuah persiapan. Jae hanya merenung dan semakin dekat dengan hari ini, ia merasa semakin yakin. Jae berharap, begitu wanita itu menerima lamaran darinya hari ini, maka saat itulah Jae akan melakukan sebuah perubahan.
"Woooh? Kenapa ramai sekali?"
Mereka berdua tiba di sebuah rumah kecil dalam permukiman kumuh. Rumahnya agak reyot dan untuk bisa sampai ke sana, Jae harus melewati lapangan dan jalan yang masih berupa tanah di pinggir sungai keruh. Ia kesulitan membawa mobilnya memasuki lorong-lorong gang yang amat sempit. Jae sempat merasa ragu Kim membawanya ke tempat yang benar, sebab di depan rumah itu dipadati oleh warga setempat. Mereka melihatnya, tercengang-cengang dan saling mempertanyakan kedatangan Jae.
"Kim, apa kau yakin ini tempatnya?" Jae berbisik.
"Kenapa, Tuan? Aku sudah katakan pada Anda, aku sendiri bingung membedakan ini rumah atau gubuk!"
"Bukan itu maksudku! Tapi lihatlah, kau tahu ada apa di sini? Kenapa mereka semua melihat kita?" Jae merasa risi.
Kim mengamati keadaan sekitar. "Sepertinya kabar tentang lamaran Tuan sudah menyebar ke masyarakat."
"Bagaimana mungkin? Hal ini hanya kau dan aku saja yang tahu!"
"Hmm, tapi bagaimana jika wanita tua itu yang menyebarkannya, Tuan?"
"Bibinya Shin? Apa mungkin?"
Pandangan Jae dan Kim langsung beralih begitu wanita yang dibicarakannya keluar dari rumah tak bertingkat itu. "Aaah, Tuan Jae! Selamat datang di rumah kami!" Si bibi benar-benar tinggal di sini. Dia menyambut Jae dengan ramah dan seolah merasa tak percaya Jae akan benar-benar menepati janjinya.
Jae melepas kacamata hitamnya dan sekilas ia mendengar orang-orang di sekitarnya berteriak histeris terkejut dengan ketampanannya.
"Nyonya, terimalah ini!" Kim memberikan sebuah bingkisan besar, untuk sekadar oleh-oleh.
"Aah, kenapa repot-repot begini? Maaf, rumah kami sangat jelek dan sempit."
"Jangan berkata seperti itu, Bibi," timpal Jae dengan nada rendah.
"Silakan masuk, maaf jika kau akan merasa tidak nyaman."
Bibi itu membiarkan Jae berjalan di depan. Jae pun melangkahkan kakinya memasuki rumah itu tanpa ragu-ragu.
"Hey, ada apa ini? Pergi!!"
Jae mendengar si bibi berbisik mengusir para tetangganya yang masih berjaga di luar rumahnya saat Jae melepas sepatunya di ambang pintu.
Si bibi lalu beralih pada Jae. "Eeh, kenapa dilepas? Pakai saja, ini bukan tempat suci!"
Jae tersenyum. "Tidak apa, Bibi."
Akhirnya ia duduk di dalam ruang tamu yang sempit. Kursi yang kuno dan tidak banyak perabotan di dalamnya. Walau begitu, rumahnya sangat bersih dan rapi. Jae mendapati sebuah pintu kamar dan satu pintu bertirai, mungkin itu pintu menuju ke dapur dan kamar mandi. Rumah yang sangat sederhana, jauh dari kata mewah. Namun Jae merasa senang bisa sampai ke tempat ini.
"Tuan, pikirkan sekali lagi." Kim berbisik.
"Diam kau," cetus Jae dengan suara lirih, sekejap menerdiamkan Kim yang masih berusaha untuk membuatnya ragu. Ia melihat para warga mendekat ke kaca jendela dan mencoba mengawasinya, seakan ingin mencari tahu. Orang-orang yang aneh, pikir Jae.
"Silakan diminum." Bibi menyuguhkan dua gelas minuman dingin untuk Jae dan Kim yang duduk di sebelahnya.
"Siapa saja yang tinggal di sini, Nyonya?" Kim bertanya lancang, tapi Jae tidak mencegahnya sebab ia pun tak dapat memungkiri keingintahuannya akan hal itu.
"Hanya Shin dan adiknya. Kedua orang tua mereka sudah meninggal. Aku hanya tetangganya yang tinggal di sebelah rumah ini, tapi mereka sudah seperti anakku sendiri."
"Aah, begitu ...."
"Maaf, membuat kalian menunggu. Sebentar lagi Shin keponakanku akan segera keluar, tolong tunggu sebentar."
Jae mengangguk santai, tapi sebenarnya ia merasa sangat tegang. Ia mendadak terserang demam. Kenapa ini? Sebagian tubuhnya terasa dingin menyengat dan sebagian lagi panas memeras keringat. Jantungnya berdebar-debar sangat keras. Ia berkeringat meski hanya duduk terdiam. Jae gugup. Ia sangat resah seolah-olah takut semua tidak akan berjalan sesuai yang diharapkannya. Melamar seorang perempuan adalah pengalaman pertama baginya. Sebenarnya ia tidak tahu apakah caranya ini benar atau salah. Ia hanya bermodalkan keberanian dan datang membawa oleh-oleh seadanya. Namun ia tahu, keputusannya ini adalah hal yang benar.
"Ah, ini dia!" Sang bibi berseru memandang ke arah seberang Jae.
Jae pun sontak mengangkat pandangan dan mengikuti arah pandangan mata si bibi bersama Kim. Ia menoleh ke sisi samping, ke arah pintu sebuah ruangan dan dua perempuan keluar dari sana. Jae pun langsung bangkit dari duduknya dan wajahnya langsung berseri. Benar dia! Dia adalah Shin yang sama, Jae membatin.
"Ayo, Kak!" Seorang gadis berjalan di sisi nyonya si pembuat kue cokelat itu. Dia masih remaja dan dia pasti adik Shin. Tapi kenapa dia menarik tangan kakaknya sendiri? Dia tampak memaksa kakaknya untuk berjalan ke depan, sedangkan nyonya uang receh itu, seperti biasa, dia tertunduk takut-takut dan terlihat keberatan.
"Tuan, apa itu orangnya? Dia seperti Sadako!"
"Tutup mulutmu!" celetuk Jae lirih. Ia merasa tersinggung begitu Kim menilai wanita yang diincarnya itu seperti hantu jepang yang muncul dari dalam televisi, yang ada di film-film. Jika tidak sedang di rumah orang, Jae pasti sudah mencekik Kim dengan tangannya sendiri.
"Aku tidak mau menikah!"
Jae tertegun begitu samar-samar ia mendengar wanita itu bersuara, berkata tidak ingin menikah sambil terus berusaha menundukkan kepalanya, menutupi sisi-sisi wajahnya dengan rambutnya yang terurai bebas. Selalu begitu dan ya, sekilas dia memang seperti Sadako. Jae mengerutkan keningnya sesaat, mempertanyakannya dalam hati. Tidak ingin menikah?
"Kakak, diamlah!" Sang adik geram dan akhirnya berhasil membawa kakaknya sampai ke salah satu kursi tamu, di depan Jae.
Jae tiba-tiba merasa cemas membenamkan apa yang baru saja ia dengar dari mulut Shin. Dia tidak ingin menikah, apakah itu berarti dia akan menolak lamaran ini? Jantung Jae semakin berdebar kencang. Wanita itu bahkan tidak mau melihatnya sama sekali, semakin menyurutkan keberanian Jae untuk melanjutkan langkahnya.
"Kak Jae?" Tiba-tiba adiknya menggumam lirih menatap Jae dengan mata berbinar.
Gadis itu mengenal Jae. Jae tidak terkejut karena setiap ke mana pun ia pergi, semua orang bisa tahu namanya dan akan menyapanya meski Jae tidak mengenal orang itu. Mungkin adik nyonya pembuat kue itu mengenalnya dari media sosial dan bahkan mungkin sudah tahu banyak tentangnya. Jae hanya tersenyum simpul pada gadis berambut sebahu itu. Ia ingin terlihat santai tapi malah terasa kaku. Sikap Shin padanya terus menerus mendesak ketakutan Jae untuk keluar. Ia berusaha untuk bertahan, akan tetapi malah membuat tubuhnya gemetar.
"Tuan, ada apa dengannya? Sepertinya dia takut padamu!" Kim berbisik pada Jae begitu memperhatikan Shin.
Kali ini Jae juga sependapat dengan Kim. Hal itu semakin membuatnya khawatir. Ia terus menatap lurus wanita di depannya. Ia melihat adiknya berbisik sambil menutupi mulutnya. Entah apa yang dia bicarakan, Jae hanya fokus pada apa yang menjadi tujuannya saja.
"Shin, angkat wajahmu!" Bibinya menegur, berkata dengan sungkan. "Perkenalkan dirimu pada mereka," pintanya, tapi Shin malah menolak dengan memberikan sebuah gelengan sambil sesekali menyapu rambutnya ke depan untuk menutupi sisi wajahnya.
Sang bibi mencairkan suasana kaku ini dengan sedikit tawa, tawa yang hambar. "Dia ini memang pemalu," katanya seakan merasa tidak enak hati pada Jae.
Baiklah, putus Jae dalam hati.
Ia berpikir untuk menghadapi apa yang sudah ia mulai. Apa pun jawabannya, Jae akan menerimanya. Karena untuk dapat melangkah sejauh ini, walau hanya dalam waktu yang singkat, semua itu tidak lepas dari seizin dari Tuhan. Meskipun ia ingin dan yakin, jika ia harus mendapat sebuah penolakan karena mungkin wanita itu memang tidak ingin menikah, maka itu adalah keputusan dari Tuhan juga.
"Hai, aku Jae!"
Jae mengangkat tangan kanannya, memberanikan diri untuk mengajak berkenalan. Suaranya tegas, tapi parau, Jae menyadari dirinya yang grogi. Namun Jae percaya, tidak ada hal yang sia-sia dari keputusan Tuhan.
Jae melihat wanita yang berniat dinikahinya itu tertegun. Dia tidak lantas menjabat tangan Jae. Jae berusaha tetap bertahan menantinya. Ia berharap Shin mau sedikit melenturkan kebekuan hatinya. Dia sudah membuat semua orang yang berdiri di sekitarnya resah. Namun, perlahan serta ragu-ragu, Jae melihat wanita itu sedikit memutar pandangannya ke depan, ke arah Jae. Shin tercenung memandangi tangan Jae dan jam tangannya, seolah menimbang-nimbang sebelum menjabatnya. Kemudian, tak disangka-sangka, akhirnya wanita itu mengangkat wajahnya, menatap Jae sambil tercengang-cengang!
Akhirnya dia melihat Jae! Akhirnya dia menunjukkan wajahnya!
Jae bisa melihatnya dengan jelas. Wajahnya yang bulat dengan kulit putih pucat, matanya yang besar, hidung yang lurus. Bibirnya yang tebal dan terdapat belahan di bagian tengah bibir bawah seperti belahan milik Jae. Dagunya yang panjang kian menambah kesan manis padanya. Tuhan, dia sangat cantik. Jae terkesima. Dadanya bergetar menatap wajah layu dan mata sendu itu. Bibirnya yang merekah semakin menambah ketertarikan Jae sebagai pria normal. Dia, Shin, menatapnya dengan pandangan gelisah dan berembun. Mungkin dia pun menyadari pertemuan mereka sebelumnya dan mungkin kini meragukan kedatangannya. Akan tetapi Jae justru merasa semakin yakin setelah melihatnya begitu indah. Apakah ... dia mulai berpikir situasi ini adalah sebuah kebetulan juga?
Karena tidak lekas menyalami tangannya, Jae pun bertindak lancang dengan menjabat tangan wanita itu secara paksa. Sontak saja Shin terkesiap dan yang lainnya pun terlihat kaget. "Senang bertemu denganmu!" katanya percaya diri, mengulaskan senyuman tipis. Jae mendadak sangat bersemangat. "Ini asistenku, Kim," sambung Jae usai melepas tangannya.
"Baiklah, silakan duduk kembali dan silakan diminum dulu," ujar sang bibi.
Dengan senang hati Jae pun duduk kembali ke kursinya dan yang lain mengikutinya. Ia mengambil napas panjang, lalu mengembuskannya untuk mempersiapkan diri, sambil terus memandangi wanita yang duduk di depannya itu. Shin masih termangu-mangu memandang ke bawah.
"Kakak, bolehkah aku saja yang memutuskan untuk menerimanya?" Adik Shin berbisik, dan Jae masih bisa mendengarnya karena suasana di ruangan itu mendadak senyap dan beku.
"Sst!" Shin menyiku adiknya diam-diam.
Takut mereka akan mendengar bunyi detak keras dalam dadanya, Jae segera memulai pembicaraan, "Ngg, seperti yang Bibi ketahui, aku datang kemari untuk melamar keponakanmu, Shin. Aku ingin menikahinya. Aku ingin dia menjadi istriku."
Shin meliriknya takut-takut begitu namanya disebut Jae.
"Apakah ... lamaranku ini bisa dipertimbangkan?" Jae tak bisa beralih pandang ke arah lain selain hanya pada Shin saja. Wanita itu tampak tegang meremas kedua tangannya.
Bibi menimpali, "Aduh! Bagaimana, ya ... Nak, benar kau sudah memikirkan ini sebelumnya? Apakah ... ini tidak terlalu cepat untukmu? Kau baru saja tahu tempat tinggal kami dan melihat sendiri bagaimana Shin, seperti inilah dia, jadi ... apa kau yakin dengan keputusanmu ini? Kau bisa mempertimbangkannya lagi jika memang itu diperlukan dan kau bisa datang kembali lain waktu untuk memutuskannya. Pernikahan bukanlah permainan. Kami tidak apa jika kau ingin memikirkannya dulu!"
"Justru karena itulah aku jadi merasa semakin yakin! Perkenalan, berpacaran, itu hanya bagi mereka yang masih meragukan. Tapi aku, aku sangat serius untuk hubungan ini. Kami sudah sama-sama dewasa, tentu kami tahu dan pasti bisa mengatasi segala risikonya. Apa yang harus kami cari lagi untuk bisa menikah? Hanya kehidupan rumah tangga yang benar dan sewajarnya.
"Aku percaya Shin bisa menjadi seorang istri yang baik. Dan begitu pun sebaliknya, aku ingin Shin percaya aku akan menjadi suami yang baik untuknya. Jika kita sama-sama yakin, tanpa harus memandang kekurangan masing-masing, maka semua akan berjalan dengan baik." Jae meyakinkan dengan nada bicaranya yang mantap.
Bibi dan adik Shin malah terperangah seakan terbius oleh perkataannya. Mereka meleleh kendati Jae tidak sedang merayu.
"Shin, bagaimana? Yang dikatakannya itu benar! Semua akan terjadi dengan sendirinya. Jadi kau tidak perlu khawatir atau meragukan apa pun. Dia melamarmu! Nak Jae serius ingin menikahimu, cepat katakan sesuatu!"
Shin tidak menjawab. Dia tampak bingung dan resah.
Sampai pandangannya beralih kepada Jae, dia masih saja tidak berkata apa-apa. Dia terlihat bimbang. Entah ragu pada keseriusan Jae atau takut untuk memulai suatu hubungan dengannya, Jae tidak tahu. Shin menatap Jae seakan mempertanyakan kesungguhannya, seolah berpikir apakah dia harus menerima atau menolaknya, maka Jae menjawabnya dengan sebuah keteguhan dan juga janji dari matanya.
Namun di sisi lain, lagi-lagi, hati Jae menolak untuk memaksanya. Ia berpikir mungkin ini terlalu cepat dan mendadak. Mereka hanya kebetulan bertemu di jalan dan tiba-tiba Jae datang melamarnya, tentu saja Shin akan mempertanyakan maksud dan tujuannya. Masih bergeming, Jae mendapati pandangan Shin menurun ke arah jam tangan Jae.
"Baiklah, jika kau tidak bisa memberikan jawabannya hari ini, aku bersedia menunggu. Aku akan datang lagi setelah beberapa hari. Aku bisa pastikan aku tidak akan mundur dengan keputusanku ini. Dan aku berjanji, aku tidak akan sakit hati meski kau harus menolak lamaran ini. Sungguh, aku tidak ingin memaksamu karena aku menginginkan sebuah pernikahan yang murni dan abadi, yang diawali dengan ketulusan dan niat yang baik," putus Jae kemudian dan Shin masih tak mau memandangnya.
Jae mendengus keras lewat mulutnya. Ia mengalihkan pandangan sambil melemaskan ketegangannya. Setelah mengatakan itu semua, Jae merasa lega. Kini tinggal pasrah.
"Kalau begitu ... aku harus pergi." Jae bangkit dari duduknya bersama Kim.
Tiba-tiba, sekonyong-konyong, Shin bangkit dari duduknya. Dia berdiri setelah termenung beberapa saat. Sontak saja mengagetkan Jae dan semua yang ada di situ. Oh? Jae menatapnya heran karena Shin tampak tegang dan gugup. Bibirnya bergetar seakan hendak mengucap kata, tapi Jae tidak mendengar suara apa pun dari sana. Begitu dengan pandangannya yang selalu tertunduk ke bawah, semakin membuat Jae penasaran.
"A-aku menerima lamaran ini," katanya tiba-tiba, dengan suaranya yang parau, kemudian berlalu masuk ke kamarnya dengan malu-malu.
Setelah itu Jae tidak bisa mendengar apa-apa lagi, tidak bisa merasakan apa pun, bahkan tidak dengan degup jantungnya sendiri. Pandangannya terpaku pada satu arah yang sama, tubuhnya membeku mencoba melawan waktu yang mendadak berhenti. Shin tiba-tiba berdiri seolah tak rela ia pergi. Dia bersuara dan memberikan sebuah jawaban yang membius Jae hingga Jae tertegun untuk waktu yang lama. Dia menerima lamaran Jae? Jae melepaskan napasnya yang tertahan tanpa sengaja saat mencoba mencerna apa yang didengarnya langsung dari mulut Shin. Ia pun dapat melihat kebahagiaan di wajah Bibi dan adik Shin yang akhirnya ia rasakan juga.
"Tuan, dia menerimamu!"
Ya, tapi rasanya Jae tidak percaya ini!
Begitu keluar dari rumah itu, tempat pertama yang ingin Jae datangi adalah lokasi pembangunan gedung hotelnya di dekat lapangan. Ia turun dari mobil ketika sampai di sana dan langsung berlari menuju bangunan. Jae menaikinya, ia naik sampai ke lantas teratas. Di tepian pondasi, ia pun meneriakkan kebahagiaannya.
"Shiiiin!! Dia menerimaku! Aku akan menikaaah!"
Sekeras-kerasnya, Jae mengeluarkan seluruh suaranya. Ia berteriak kencang dan membiarkan udara menggemakannya. Ia biarkan angin merasakan kebahagiannya dan menebarkannya ke seluruh semesta. Tak peduli orang-orang di bawah sana melihatnya, melihat kegilaannya. Jika mereka bertanya keadaannya, maka Jae telah melupakan dunianya. Dirinya memang mengaku telah gila selama beberapa hari ini sejak bertemu dengan wanita itu dan menyadari bahwa itu dia. Bukan hanya karena sebagai pria yang lamarannya telah diterima dengan baik oleh wanita yang diharapkannya, tapi karena Jae sendiri telah jatuh cinta kepada wanita itu!
Bagaimana bisa dan apa alasannya? Jae tidak tahu. Ia selalu kesulitan menjelaskannya pada hatinya sendiri. Ia menjadi resah dan mempelajari rahasia ini sendiri meski jatuh cinta bukanlah pengalaman yang pertama kali baginya. Ia hanya merasa Shin telah membuatnya jatuh cinta. Ia tahu ia sedang jatuh cinta, yang ia tahu hanya itu, yang ia rasakan hanya itu. Hanya cinta dan karena cinta.
*****
Saat Bibi memberi tahu bahwa pria yang berniat melamarnya adalah seorang pengusaha hotel, tidak sedikit pun terlintas dalam pikiran Shin bahwa itu adalah dia. Dia, pria yang beberapa hari terakhir selalu muncul dalam kehidupannya. Dia satu-satunya pria yang berani menatap Shin dan memegang tangannya.
Setelah melihat jam tangan seram yang dikenakan pria itu, Jae, Shin yakin tidak butuh waktu lama untuk menjawab lamarannya. Ia merasa tidak memerlukan banyak pertimbangan untuk memikirkannya atau membuat dirinya sendiri yakin. Setelah beberapa kali mereka bertemu tanpa rencana dan selalu jam tangan itu yang ia lihat, Shin akhirnya mengerti bahwa itulah pertanda jodohnya telah datang. Ia mengerti pertemuan mereka yang menurutnya hanya kebetulan saja, sebenarnya adalah rencana dari Tuhan.
Mungkin ia bisa berkata tidak. Mungkin Shin bisa menentukan kapan ia akan menikah, tapi hati ini, ketika melihat jam tangan yang melingkari pergelangan pria itu, bagaimana Shin bisa menolak takdirnya? Bagaimana bisa ia akan mengubah rencana yang telah Tuhan tentukan untuknya? Semua yang terjadi selalu disertai pertanda, hanya tergantung dari cara manusia itu sendiri apakah bisa menyadarinya atau ingin mengabaikannya. Meskipun awalnya Shin tidak memikirkannya, dia tetap akan datang ke mana pun Shin berada. Jika perkenalan yang seharusnya membawa sebuah getaran dalam hati sebagai pertanda, Shin yang tidak pernah mengenalnya pun harus merasakan getaran itu hanya dengan melihat jam tangannya.
Ratusan judul buku telah ia baca. Sebagian berkisah tentang seorang gadis miskin yang malang dan seorang pangeran yang tampan. Si pangeran tiba-tiba datang menolongnya, mereka menikah lalu hidup bahagia. Cerita seperti itu memang sangat indah, tetapi Shin tidak pernah percaya hal seperti itu benar-benar ada di dunia nyata. Seorang pangeran juga manusia yang bersosialisasi, akan membutuhkan waktu yang lama untuk berpikir bisa menikahi gadis yang tidak sederajat dengannya, bahkan tidak pantas untuk masuk ke dalam istananya. Namun ... ini benar-benar terjadi pada Shin.
Pria itu tiba-tiba datang, berkata ingin menikahinya setelah menolongnya beberapa waktu yang lalu. Dia benar-benar melamar Shin tanpa memerlukan waktu yang panjang untuk memikirkannya. Sayangnya, semua ini tidak terasa indah, malah mungkin akan terdengar tidak wajar oleh sebagian orang. Namun Shin memikirkan apa yang tidak mereka pikirkan. Bertemu dan menikah, cerita seperti itu dalam dongeng beberapa persen diadaptasi dari kisah nyata. Bukan pemikiran sang pangeran yang perlu dipertanyakan, tapi bagaimanakah cara si gadis miskin ini akan menyesuaikan hidupnya dengan sang pangeran setelah menikah? Karena Tuhan telah mengirim pria seperti Jae untuknya, itu artinya Tuhan percaya Shin bisa mengatasinya.
Dia yang pernah berdiri di samping Shin tanpa ada yang mengarahkan. Dia berdiri di depan Shin tanpa ada yang memanggilnya. Dia pun datang walau Shin tidak pernah berteriak meminta pertolongan. Meski Shin telah mengabaikannya saat dia datang, dia tetap kembali! Terlebih, sepertinya Jae sudah tahu dan menyadari siapa wanita yang akan dilamarnya ini. Dia terlihat begitu yakin untuk mempersunting Shin, seakan-akan telah menemukan sesuatu yang dia cari-cari selama ini.
Tuhan, dia pasti jodohku, hati Shin yakin.
Sora menarik angan Shin kembali dalam benaknya dan mengajaknya untuk menari-nari bahagia. Dia terlihat sangat gembira setelah kakaknya ini memutuskan untuk menikah. Terlebih Shin akan menikah dengan pria yang menjadi idola di sekolahannya. Jika Tuhan telah merencanakan Shin untuk menikah, itu artinya Tuhan juga telah mengatur bagaimana ia akan menghidupi adiknya kelak. Shin pasrah dan semoga keputusannya ini benar.
*****