"Apa?"
Shin sangat terkejut ketika pagi itu Bibi Ri tiba-tiba memberi tahu padanya bahwa akan ada pria yang datang untuk melamarnya. Sumpah, tidak ada hal lain yang membuat Shin kaget selain mendengar pengakuan sang bibi yang mendadak.
"Bibi, apa-apaan ini, Bi? Kenapa Bibi tidak merundingkannya dulu denganku soal adanya lamaran ini? Kenapa tiba-tiba Bibi membiarkan pria yang tidak kukenal datang untuk melamarku? Dan ... kenapa harus hari ini? Aku harus membuat kue!"
"Dia sendiri yang mengatakan akan datang untuk melamarmu hari ini! Apa Bibi harus melarang niat baik seseorang? Biarkan saja dia datang untuk melihatmu. Setelah itu, baru kita tahu apa dia benar-benar akan melamarmu! Untuk urusan kue, Bibi sudah bicara pada pelangganmu dan mengatakan sementara untuk hari ini kau tidak bisa menerima pesanan."
Shin membelalak. "Aaargh, Tuhaaan! Aku tidak percaya Bibi sudah merencanakan semua ini dengan sangat baik!" Ia bingung tak habis pikir, tapi Bibi Ri terlihat sangat tenang dan senang. "Bagaimana jika setelah melihatku, atau tahu sesuatu tentang diriku, orang itu akan membatalkan lamarannya, Bi?" Ia cemas dan takut sendiri seolah akan kedatangan polisi untuk menjebloskannya ke dalam penjara.
"Biarkan saja, bukankah hal seperti itu dulu juga pernah terjadi padamu?" Bibi Ri malah menambah kecemasan dan kepanikan Shin.
"Aaakh, ya ampun, Bibi ... jika sampai itu terjadi lagi, aku pasti akan menjadi bulan-bulanan para warga!"
"Tapi sepertinya dia bukan orang seperti itu!" Bibi membujuknya, "Kemarin dia hanya bertanya apa pekerjaanmu, setelah aku katakan kau hanya penjual kue, dia langsung memutuskan untuk melamarmu. Padahal aku melihatnya sendiri di rumahnya begitu banyak orang tua yang datang untuk mencalonkan anak mereka sebagai istrinya!"
"Bibi ke rumahnya?" Shin tidak menyangka.
"Ngg ... tadinya Bibi hanya penasaran saja. Bibi mendengar orang-orang membicarakannya. Mereka bilang di rumah itu ada pria yang sedang mencari calon istri, jadi Bibi datang ke sana ...."
"Astaga, Bibi! Itu sangat memalukan!" Shin tidak percaya Bibi Ri akan bertindak sejauh itu.
"Eeh, sudahlah! Setidaknya lihat dulu seperti apa dia! Dia sangat tampan dan kaya. Kau pasti akan langsung jatuh hati begitu melihatnya. Kalau saja Bibi masih muda, Bibi akan mencalonkan diri Bibi sendiri untuk menjadi istrinya."
"Bibi!" Shin menggeram begitu Bibi mulai kecentilan. Ia sudah sangat gugup, tapi Bibi menganggap situasi ini seperti hal yang mudah.
Ia berjalan mondar-mandir di hadapan bibinya dengan sangat gelisah. Hari ini akan datang seorang pria yang melamarnya? Bagaimana Shin bisa tenang memikirkannya? Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk mengatasi dirinya. Shin malah merasa harus mencari cara untuk membatalkan rencana ini.
"Dengar, Shin! Ini adalah kesempatan baik untukmu. Meskipun begitu, tetap kaulah yang berhak memutuskan nantinya. Kau bisa menolak atau menerima lamaran darinya setelah kalian bertemu nanti. Tapi ... menolak lamaran seorang pria, akan membuatmu sulit menerima lamaran selanjutnya. Jadi pikirkan ini!" Bibi masih tetap saja berusaha merayunya, dan menakuti Shin.
"Sebelum aku menolaknya, pria itu yang akan mengundurkan diri! Bibi, aku tidak mau menikah!" Shin berhenti berderap dan memegang kedua lengan Bibi, menegaskan untuk yang kesekian kalinya.
"Hey! Apa kau mau menunggu sampai usiamu empat puluh tahun? Saat itu stok pria tampan di dunia ini sudah habis, Shin!" Bibi bersikeras.
"Aku harus menyekolahkan Sora, Bibi!"
"Itu soal mudah. Kau, kan, masih bisa membantu adikmu setelah menikah. Lagi pula calon suamimu ini sangat kaya, mengeluarkan sedikit uang untuk membantu membiayai sekolah adikmu, tidak ada artinya bagi dia." Bibi terus saja memaksakan kehendaknya, membuat Shin stres.
"Justru karena dia sangat kaya, Bibi! Apa aku pantas? Orang tuanya tentu menginginkan seorang menantu dari keluarga terpandang. Lihat saja, aku pasti akan dipermalukan lagi!" Ia tak memungkiri kecemasannya akan hal itu. Ia memohon supaya bibinya mau mengerti dengan menangis tanpa air mata.
Bibi malah menjawabnya dengan enteng, "Ayahnya sudah meninggal. Ibunya menetap di luar negeri. Di sini dia tinggal seorang diri. Bagus sekali, bukan?"
Shin pun tersudut tak memiliki alasan lagi untuk menolaknya. "Bagaimana Bibi bisa tahu sejauh itu?" Ia sangat terkejut.
"Semua orang di sini juga tahu itu! Dia adalah pengusaha terkenal. Dia punya banyak hotel dan sedang membangun proyek baru di depan lapangan pemukiman kita ini!"
"Di depan lapangan?"
"Ya, dia pria yang mapan dan bisa menjamin masa depanmu, Shin! Jika kau menikah dengannya, si Jun yang hidung belang itu tidak akan berani mengganggumu lagi!"
"Aduuuh, Bibi! Kau membuatku cemas!"
"Tenanglah, Shin. Kau diam saja dan perhatikan betapa manisnya dia. Tidak perlu banyak bertanya apalagi harus memberikan persyaratan! Karena Bibi tahu, dia pria yang baik!"
Shin mendengus. "Aku sangat grogi. Aku tidak mau. Aku tidak mau menikah!" Shin memberontak dan rasanya ia ingin menghilang sejenak hari ini. Kecemasan Shin menjadi-jadi begitu Sora memasuki kamarnya dengan wajah berseri.
"Bibi, mereka sudah datang!" katanya, tiba-tiba seakan menghentikan fungsi jantung Shin.
"Oya? Ah, Sora! Kau dandani kakakmu secantik mungkin. Paksa dia untuk mengganti pakaiannya dan jangan biarkan rambutnya menutupi wajahnya, ya!"
"Oke, Bi!"
Bibi keluar dari kamarnya.
Shin melihat Sora begitu antusias. Sepertinya adik dan bibi Shin itu telah bersekongkol untuk menjeratnya ke dalam masalah yang justru ia hindari selama hidupnya ini.
"Aaaah! Aku tidak mau menikah, aku tidak mau!!" Shin menjadi paranoid.
"Kakak, tenanglah! Ini adalah kesempatan baik untukmu. Ada pria baik yang berniat melamarmu!" Sora bukannya membuat Shin tenang, malah semakin membuatnya panik dengan kata-kata terakhirnya. Ia merasa phobia setiap mendengar kalimat yang berhubungan dengan pernikahan.
"Tapi aku tidak pernah mengenalnya, Sora!"
"Justru karena itulah, Kak! Pria itu juga pasti belum mengenal Kakak, tapi bagaimana dia bisa tahu Kakak sedang mencari calon suami? Tentu dia sudah mendengar kabar bahwa Kakakku ini sangat cantik dan wanita baik-baik!"
"Sora, hentikan leluconmu! Bibi mendatangi rumahnya dan mengajukanku sebagai calon istrinya! Itu sungguh memalukan, bukan?"
"Itu artinya dia memang sedang mencari calon istri, terbukti dia menerima pengajuan Bibi! Jika dia menolakmu, itu baru yang disebut memalukan, Kak!" timpal Sora enteng.
"Kau ini! Aku tidak ingin menikah untuk saat ini. Tolong bantu aku menjelaskan ini pada Bibi! Aku tidak mau menikah!"
"Kenapa, Kak? Jika aku adalah alasannya, maka itu sama artinya aku seperti penghalang untuk Kakak!"
"Tidak, Sora! Bukan begitu!"
"Sudahlah, Kak. Untuk kali ini saja, tidak ada salahnya mencoba! Bibi sudah berusaha keras untukmu. Apa salahnya mengalah untuk menyenangkan hatinya? Keputusannya tetap ada di tangan Kakak! Jadi ayo, rapikan penampilan Kakak. Mereka sudah ada di depan. Aku akan mendadani Kakak." Sora mengambil dress terbaik Shin, menarik tangan Shin dan memaksanya untuk mengganti pakaiannya dengan drees pendek itu.
"Apa kau sudah melihatnya?"
"Aku hanya melihat mobilnya. Mereka datang dengan mobil sport yang mewah. Jika Kakak menerima lamaran ini, aku menjamin seluruh warga di kampung ini akan berhenti menghina kita!"
"Itu tidak semudah yang kau bayangkan!"
"Kakak, diamlah!"
"Aku ingin melihatnya seperti apa." Shin berusaha meloloskan diri dari usaha Sora untuk dapat melepas pakaian yang dikenakan Shin. Ia beranjak ke jendela kamarnya tapi Sora menahan dengan menarik tangannya. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Di depan rumahnya, hanya ada sebuah mobil putih seperti yang Sora katakan dan para warga telah berkumpul di sekitarnya. Ya Tuhan, sepertinya ini akan menjadi pertunjukan terakhir Shin, pikirnya pasrah.
"Nanti juga Kakak akan bertemu dengannya! Sudah, ayo sini, aku juga akan mengoleskan lipstik ke bibir Kakak!"
"Tidak mau!"
Akhirnya setelah berhasil membuat Shin memakai dress-nya yang polos berlengan pendek, lalu merias wajahnya dengan sedikit polesan bedak, juga yang terpenting adalah menyisir rambut Shin yang kusut, Sora telah berkerja keras.
"Ah, ini dia!"
Sora menarik tangan Shin, memaksanya keluar dari kamar dan langsung menemui pria itu. Sebisa mungkin Shin menahan diri dan Sora harus berusaha lebih keras lagi untuk membuat kakinya selangkah lebih maju.
"Ayo, Kak!" Sora berbisik kesal.
"Aku tidak mau menikah!!" Shin terus menundukkan kepalanya, sengaja menutupi sisi-sisi wajahnya dengan rambutnya yang terurai bebas setelah Sora bekerja keras merapikannya.
"Kakak, diamlah!" Sora geram dan akhirnya berhasil membawa Shin sampai di kursi tamu.
Shin semakin menundukkan kepala, berpaling, tak berani menatap ke depan karena ia bisa melihat pria itu sudah ada di hadapannya. Ia melihat sepasang dua kaki mengenakan celana formal laki-laki yang berdiri di depan meja. Shin tidak peduli apa yang akan dipikirkan oleh mereka. Mungkin Shin wanita yang aneh bagi mereka. Ia hanya tidak ingin mereka melihatnya, lalu mereka akan tahu sesuatu tentang Shin dan kembali mengingatkan Shin akan julukannya sebagai perawan tua. Karena itu Shin terus menyembunyikan wajahnya di balik pundak Sora.
"Kak Jae?" Tiba-tiba Sora menggumam lirih, menegun Shin sejenak.
Jae? Kenapa Sora mengenalnya? Apakah salah satu dari pria itu adalah Jae si pemilik sekolahan yang pernah Sora ceritakan dan banggakan di depan Shin? Jae yang dipuja-puja oleh seluruh temannya di sekolah? Bukankah Bibi Ri mengatakan, pria yang akan melamarnya memiliki bisnis perhotelan? Sebenarnya dia itu siapa? Shin ingin melihat mereka, tapi ia tidak seberani itu.
"Kakak, lihatlah, kau tidak akan percaya ini!" Shin mendengar Sora berbisik seolah melihat sesuatu yang mengagumkan.
"Shin, angkat wajahmu!" Bibi Ri berbisik sungkan-sungkan. "Perkenalkan dirimu pada mereka."
Tidak, hati Shin bergumam, bersikukuh. Ia menggeleng pelan dengan pemikirannya sendiri. Ia sangat gugup.
Bibi mencairkan suasana dengan sedikit tawa, tawa yang hambar. "Dia ini memang pemalu," katanya merasa tidak enak hati pada tamunya.
Shin tidak peduli. Bibi yang telah merencanakan semua ini, jadi apa pun yang terjadi, Bibi juga yang akan bertanggung jawab, putus Shin dalam hati, sesekali menutupi matanya dengan tangan. Sekujur tubuhnya terasa panas dingin. Shin ingin pergi ke belakang.
"Hai, aku Jae!"
Oh?
Begitu salah seorang memperkenalkan diri dan menyebutkan nama itu, Shin tertegun sejenak. Suaranya terdengar serak dan parau. Dengan lehernya yang kaku, Shin memaksakan dirinya untuk memutar kepalanya sedikit, lurus ke depan. Ia melirik ke samping dan melihat sebuah tangan terulur ke arahnya. Oh, jam tangan seram itu! pekiknya seketika dalam hati melihat jam tangan tak asing yang dikenakan pria itu di tangannya. Jam tangan yang berlapis emas dan memerlukan biaya satu juta won hanya untuk menyervisnya. Ketegangan dalam dirinya mendadak mencair. Pria itu! Menemukan ingatannya, Shin sontak mengangkat pandangannya dan mata mereka pun kembali bertemu.
Hah? Dia?
Shin membeku. Untuk yang pertama kalinya ia berani mengangkat wajahnya di depan seorang pria, menatap mata pria itu secara langsung. Bagaimana dia bisa sampai ke sini? Shin menahan napas karena terkejut. Ia tercengang-cengang memikirkan kebetulan ini. Ini aneh ... sangat aneh ... Apakah sebelumnya dia tahu dan sadar siapa yang akan dilamarnya ini? Karena dia tampak begitu tenang dan mengulas setitik senyuman kepada Shin. Tidak pernah terpikirkan dalam benak Shin bahwa itu adalah dia, saat Bibi Ri memberitahunya jika pria yang akan melamarnya adalah seorang pengusaha hotel. Ia terlalu panik dan cemas. Lantas, ada apa ini? Shin tidak mengerti kenapa ia merasa semua ini seakan-akan telah direncanakan? Bagaimana bisa? Siapa yang merencanakan semua ini?
*****