Lamunan Jae terputus kala seseorang mengetuk pintu kamarnya. Bibi Tin, asisten rumah tangga yang telah lama bekerja untuknya kala itu memberitahunya bahwa ia kedatangan tamu.
Penasaran sebab tidak merasa telah membuat janji, Jae pun turun untuk melihatnya. Ia terheran-heran saat menuruni tangga dan melihat ada beberapa wanita duduk di ruang tamunya. Mereka ada sepuluh orang, ya, sebanyak itu.
"Aaah, itu pasti Jae. Tampan sekali."
"Iya, benar."
Begitu melihat kedatangan Jae, tatapan mereka semua berubah cerah. Mereka menatap Jae dengan mata berkilauan. Mereka lima wanita berumur dan lima gadis dewasa. Ada pun wanita asing yang tampaknya bukan asli warga Negara Korea. Rambutnya pirang dan bermata besar. Entah siapa, Jae tidak mengenal mereka semua, tapi mereka tahu Jae, mereka berbisik-bisik mengaguminya. Itu sudah biasa, tidak mengherankan, tetapi yang membuat Jae bertanya-tanya, kenapa orang-orang itu bisa masuk ke dalam rumahnya?
"Kim, ada apa ini? Siapa mereka?" tanyanya langsung saat Kim yang ada di sana menghampirinya begitu Jae sampai di tangga terbawah.
"Tuan, Nyonya besar yang mengirim mereka ke sini. Mereka adalah orang tua yang akan mencalonkan putrinya sebagai istrimu."
"Apa?" pekik Jae sangat terkejut.
Sampai Kim menjelaskan kembali, "Mereka adalah yang lolos seleksi dan Nyonya besar ingin kau memilih salah satu dari mereka. Mereka datang bersama putri mereka dari berbagai kota dan negara untuk bertemu denganmu langsung, Tuan!"
Jae tercengang-cengang tak dapat menutupi keterkejutannya lagi di wajahnya. Ia ternganga melihat sejenak ke arah para perempuan yang duduk di sofa itu dan beberapa dari mereka mulai berani melambaikan tangannya pada Jae. Sungguh ia tak habis pikir Ibu akan benar-benar bertindak sejauh ini. Memikirkannya, membuatnya emosi.
"Kenapa kau biarkan mereka masuk tanpa seizin dariku? Kau ini ternyata sama gilanya dengan nyonya besarmu itu!" celetuk Jae merasa sangat tertekan. Dadanya mulai sesak dan ia ingin marah.
"Tapi, Tuan, mereka adalah tamu Nyonya, jadi Tuan harus memperlakukan mereka dengan baik."
"Kau pikir aku kurang kerjaan, hah?" bentak Jae menggelagapkan Kim dengan suaranya yang tinggi. "Berani sekali mengajariku!"
Kim ketakutan, tapi masih saja mencoba membantahnya. "Tuan Jae, mereka sudah telanjur datang. Tolong sapalah mereka sebentar dan lihatlah, mereka sangat cantik. Mungkin saja Anda tertarik pada salah satunya."
"Diam kau!!" sela Jae membentak, menyentak Kim seketika. "Jika dalam sepuluh menit mereka masih ada di sini saat aku kembali, kupenggal kepalamu!"
Begitu Jae mengancam, Kim tersentak memegangi lehernya. "Ough! Tidak, jangan, Tuan!"
Ia tidak sedang bercanda. Jae akan benar-benar memenggal kepala pria itu jika dia masih membiarkan wanita-wanita itu ada di rumahnya. Jae pun memutuskan untuk pergi keluar tanpa rencana. Ia hanya merasa muak dan butuh pelampiasan. Ia akan meminta pertanggungjawaban pada ibunya yang telah lancang mengatur hidupnya!
"Aduuuh, bagaimana ini?" Kim kebingungan.
"Jae!" Beberapa dari tamu kiriman Ibu memanggil Jae, ketika Jae berderap menuju pintu.
Mereka bahkan menyusul Jae hingga ke luar dan menahan Jae. "Jae! Kau mau ke mana? Kenapa malah pergi?"
Ah, ya Tuhan, baru kali ini Jae merasa tidak betah berada di rumahnya sendiri.
"Aku adalah teman baik ibumu, ini adalah putriku."
Salah seorang wanita menunjukkan putrinya yang sebaya dengan Jae, tapi Jae tidak mau peduli. Ia mendengus berpaling menatap Kim di depan pintu dan merasa ingin sekali membunuhnya.
"Telepon nyonya besarmu, aku ingin bicara dengannya." Akhirnya Jae menurunkan sebuah perintah.
"Ba-baik, Tuan!" Dengan tangan gemetar, Kim mengeluarkan ponselnya untuk melakukan perintah Jae. Setelah tersambung, Kim pun memberikan ponselnya ke tangan Jae.
"Apa-apaan ini? Kenapa mengirim orang-orang ini ke rumahku, hah?" Jae langsung memprotes begitu terdengar suara ibunya di sana.
"Jae, kau sudah bertemu dengan mereka? Apa ada yang kau suka?" Seperti tak merasa bersalah, Ibu masih berusaha bersikap manis padanya.
"Hentikan semua permainan ini! Aku sangat muak!" pekiknya tak tertahankan.
"Jae! Kau ini kenapa? Ibu hanya ingin membantumu!" Suara Ibu di seberang sana mulai meninggi.
Jae menyela geram, "Membantu apa? Membuatku sibuk dengan urusan yang tidak berguna?"
"Sayang, mengertilah ... Ibu begitu peduli padamu." Ibu merayu.
"Terima kasih sudah peduli padaku, tapi aku tidak butuh bantuanmu! Jika aku harus menikah, maka aku akan mencari calon istriku sendiri! Apa kau mengerti dan mau berhenti sekarang? Semua ini hanya akan mempermalukanku saja!" Setelah meledakkan kekesalannya, Jae membanting ponsel itu ke lantai dan hancur seketika.
Kim memekik, "Tu-Tuan, itu ponselku!"
Jae tidak peduli. "Ada-ada saja!" gerutunya masih mendendam pada sang ibu.
Sungguh Jae tak habis pikir kenapa Ibu begitu berambisi untuk mencarikannya seorang istri. Padahal Jae sendiri tidak pernah bicara pada wanita itu apalagi untuk mengeluhkan keadaannya. Sejak Ibu memutuskan untuk menetap di New York bersama suami barunya, Jae telah memutuskan hubungannya dengan wanita itu. Hanya lantaran dia adalah wanita yang telah melahirkannya, maka Jae masih bisa menghargai dengan menjawab telepon darinya. Lalu semenjak kematian Ayah, Ibu malah menjadi-jadi. Dia selalu mengatur kehidupan Jae setelah sekian lama mencampakkannya. Jae tidak suka dengan caranya ini.
"Tuan ...," suara Kim kembali memasuki keresahan Jae.
"Kau urus mereka. Atau kalau memang kau dibayar agar salah satu dari mereka dinikahi, maka kau saja yang menikahinya! Dan secepatnya kau bisa pergi dari rumahku! Jika kau masih terus memaksaku untuk menikah, maka aku akan menyiksa siapa pun yang akan menjadi istriku nanti!"
"Aaargh!!" Para perempuan di situ berteriak ketakutan begitu Jae mengancam.
Kim terbelalak saat Jae menyudutkannya. Bagaimana lagi, semua ini, hal memalukan ini tidak akan terjadi tanpa campur tangan darinya. Kim adalah orang kepercayaan Ibu yang dikirim dari New York untuk membayanginya. Misi utamanya adalah memaksa Jae untuk menerima penawaran Ibu, sampai Jae mau memilih salah satu calon istri yang telah dipilihkan.
Sayangnya Jae tidak tertarik. Saat pertama kali Kim datang menemuinya, Jae telah mengusirnya saat itu juga. Melihatnya berkeliaran tak jelas di jalanan seperti seorang gelandangan, Jae terpaksa membiarkan pria itu tinggal di rumahnya, dan bahkan memberinya pekerjaan menjadi asisten pribadi.
Jae berlalu dari hadapan Kim dan dari para wanita itu menuju mobilnya yang terparkir di depan garasi. Ia ingin pergi dan menenangkan diri dari situasi gila ini, tapi ia mendapati para warga di sekitar rumahnya memadati gerbang. Mereka semua wanita muda dan tampak begitu penasaran. Ya ampun, ada apa ini?
"Hey, hey, ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di depan rumah ini? Pergi dari sini!"
Mengerti suasana hati Jae sedang buruk dan sedang menahan amarahnya, Kim bergegas mengusir mereka dari pagar.
"Apa benar Jae sedang mencari calon istri?"
"Eh? Dari mana kalian bisa tahu itu?"
"Kabar beritanya sudah ada di mana-mana, bahkan menjadi viral di media sosial. Apakah kami bisa mendaftarkan diri?"
"Ya, aku ingin mencalonkan diri sebagai istrinya!"
"Berita itu sudah lama. Audisinya sudah ditutup, jadi tolong kalian semua pergilah dari sini. Tuanku akan keluar, kalian menghalangi jalannya. Ayo, ayo, cepat pergi!"
Astaga, sepertinya Ibu telah membuat masalah dengan Jae. Akibat menyiarkan rencana konyolnya dalam sebuah ajang pencarian jodoh di berbagai media sosial, semua orang mulai mendatangi rumahnya. Ini benar-benar memalukan, seolah Jae adalah pria tua yang sudah tidak laku. Bodohnya, para wanita itu benar-benar datang dan malah ingin mendaftarkan diri.
Bedebah!
Jae masuk ke dalam mobil. Ia menjalankannya dan berhenti tepat di belakang gerbang, ketika Kim membantunya untuk membuka pintu gerbang itu. Seorang wanita paruh baya di depan mobilnya lagi-lagi menunda keberangkatan Jae untuk menghilangkan stres yang dirasakannya.
"Eh, Nyonya, tolong jangan berdiri di tengah jalan. Ada mobil yang mau lewat."
Jae melihat bibi itu dari dalam mobilnya. Dia tercengang menjelajahi rumah Jae dengan pandangan dari matanya yang keriput.
"Nyonya, apa kau mendengarku?"
Si bibi dengan penampilan lusuhnya itu menoleh ke arah Kim dengan wajahnya yang polos. Jae pun berusaha sabar menunggu wanita tua itu menyingkir dari hadapan mobilnya. Jika dia bukan orang tua, mungkin Jae bisa saja menyerobot lewat dari celah sisinya, tapi ia tahu itu akan membuat wanita tua itu kaget dan mungkin bisa cedera.
"Ngg ... aku mendengar di sini ada pria yang sedang mencari calon istri, apakah itu benar?"
"Ya ampun, kenapa orang ini bisa sampai tahu?" pikir Kim heran.
Jae tersenyum sinis di belakang setir. Rupanya Ibu telah sukses membuat anaknya ini menjadi seorang selebtriti, Jae harus mengakui cara Ibu ini benar-benar mengesankan.
"Jika memang benar, aku ingin—"
"Maaf, Nyonya. Lamaran ini telah melalui seleksi yang ketat. Anda tidak bisa masuk dan ikut begitu saja! Lagi pula sudah terpilih lima kandidat, lihat, mereka semua sudah berkumpul di sini." Kim memberi tahu si bibi tua itu sambil menunjukkan orang-orang yang dikirim Ibu dan mereka masih ada di depan pintu rumah Jae.
Menjemukan.
Merasa sudah berada di ujung kesabaran, Jae mengeluarkan kepalanya dari jendela mobil. "Hey, Kim! Apa butuh waktu untuk mengatasi satu wanita saja? Berapa lama lagi kau akan membuatku menunggu di sini, hah?" Ia berteriak gusar.
"I-iya, Tuan!" Kim memaksa wanita tua di hadapannya itu untuk menyingkir ke tepian. "Aduh ... Nyonya, kau ini menyusahkanku saja!"
Ketika Jae hendak kembali ke posisi duduknya usai memastikan bibi itu tidak lagi menghalangi jalannya, Jae melihat Kim masih berusaha untuk membuat wanita itu mengerti, karena dia terus bersikeras menawarkan calon istri untuk Jae. Pada saat itulah, tanpa sengaja mata Jae melihat kalung dengan bandul permata hijau yang melingkar di leher wanita tua itu berkilauan, terpantul cahaya matahari dan tiba-tiba otaknya terpusat untuk sesaat.
Itu, kan? Sama seperti kalung yang dibeli nyonya si pembuat kue dengan uang recehan. Bagaimana bisa ada pada bibi itu? Seingat Jae, pegawai toko perhiasan mengatakan desain kalung itu adalah satu-satunya yang ada di tokonya, atau tidak ada kembarannya. Apakah itu berarti ...? Sekelebat cahaya tiba-tiba seakan melintas dalam benak. Kepenatan Jae menjadi cerah begitu menemukan sebuah petunjuk. Merasa yakin dengan dugaannya, Jae mengurungkan niatnya untuk melaju dan lekas mematikan mesin mobilnya. Ia turun dari sana dan menghampiri wanita tua itu.
"Aakh, aduuh ... gawat! Kau membuatku dalam masalah, Nyonya!" Kim ketakutan begitu melihat Jae datang ke arahnya.
Sayangnya, Jae tidak sedang ingin memarahinya atau malah memenggal kepalanya. Jae hanya ingin memastikan sesuatu yang ia rasa telah memberinya sebuah cara untuk menyudahi rencana konyol ibunya. Pun termasuk jalan untuk menenangkannya.
Pada saat yang bersamaan, wanita-wanita yang dikirim Ibu sebagai calon istri yang telah lolos seleksi di belakang Jae pun berbondong-bondong untuk mendekati Jae.
"Tuan Jae, kenapa Anda ke sini? Aku baru akan mengusirnya."
"Ngg, Tuan ... maaf aku sudah lancang dengan datang kemari. Aku mendengar kabar bahwa di sini ada pria yang sedang mencari calon pendamping hidup. Aku berpikir untuk mengajukan keponakanku." Bibi itu berkata sambil takut-takut dan ragu.
"Hey, Nyonya! Sudah kukatakan pencariannya sudah ditutup!"
Jae memandang bibi itu sambil merenung usai beberapa saat memperhatikan kalungnya. Tuhan, kali ini Jae merasa yakin semua yang terjadi padanya ini tidaklah secara kebetulan saja. Semua telah direncanakan secara baik dan tertulis sebagai takdirnya.
Ketika apa yang tidak pernah ia temui tiba-tiba muncul dan membuatnya harus memikirkannya. Ketika Jae tidak ingin memikirkannya, tiba-tiba dia datang dan membuat Jae merasakan sesuatu. Ketika Jae mencerna sesuatu yang ia rasakan, dia pun datang untuk memberinya kepastian. Jae tidak ragu sama sekali, ini semua memang untuknya.
"Bibi tinggal di mana?" Jae balik bertanya, malah mengejutkan Kim. Sesekali Jae memperhatikan kalung yang dikenakan wanita itu dan ia merasa sangat yakin.
"Ngg ... di permukiman seberang jalan, di kawasan Guryong, di belakang lapangan, di sana sedang ada proyek pembangunan hotel. Di dekat situlah kami tinggal."
Guryong? Tidak jauh dari sini, pikir Jae kembali menemukan setitik cahaya terang. Proyek pembangunan hotel yang dimaksud itu, tentu adalah proyek Jae.
"Apa pekerjaan keponakanmu itu?"
Kim bengong begitu Jae kembali bertanya.
"Dia ... dia hanya menjual kue. Tapi, tapi! Dia sangat baik dan cukup cantik! Kuenya juga sangat lezat!"
Jae manggut-manggut dengan sendirinya. Tidak salah lagi, gumamnya dalam hati. Maka untuk memastikannya, Jae pun melontarkan satu pertanyaan yang akan menentukan ke mana ia akan menjatuhkan pilihan. "Apa kalung yang Bibi pakai itu ... pemberian darinya?"
Kedua mata bibi itu melebar kaget sembari memegangi kalungnya. "Bagaimana Anda bisa tahu?"
Jae tersenyum tipis.
"Nyonya, tolong pergilah." Kim berpikir dengan menjawab pertanyaan Jae, wanita itu sudah bertindak lancang.
"Tidak, Kim!" Jae mencegah.
"Oh?"
Jae memandang Kim sambil menghela napas dalam-dalam. "Antar Bibi ini pulang dan minta tunjukkan di mana rumahnya. Besok kita akan ke sana. Aku akan datang untuk melamar keponakannya itu."
"Apaaaa?"
Tidak hanya Kim, Jae juga membuat para wanita pilihan Ibu di belakangnya terkejut serentak. Termasuk dengan bibi itu sendiri. Jae sadar dengan apa yang telah ia ucapkan. Itu adalah sebuah keputusan dan Jae tidak menyesalinya sama sekali. Ia kembali ke mobilnya dan pergi setelah mendapatkan harapan yang baik. Jae bahkan tidak membutuhkan waktu untuk memikirkannya. Setelah beberapa kali bertemu dengannyawanita ituShin, dan meski sebagian pertemuan terjadi bukan karena kesengajaan, Jae tidak meragukannya sama sekali.
Ketika Jae melihat mata wanita itu, matanya seolah berbicara, berteriak meminta suatu perlindungan padanya. Saat itu Jae masih bertanya-tanya pada hatinya sendiri kenapa ia bisa merasa begitu. Padahal wanita itu tidak berkata apa-apa padanya. Namun dengan mengirim bibi tua itu ke rumahnya, dengan membawa kalung sebagai petunjuk, maka saat itu Jae merasa yakin Tuhan memang telah memberinya izin untuk menolong keponakan bibi itu. Dengan menikahinya? Ya, dengan menikahinya, ia yakin nyonya uang recehan itu juga akan menolong Jae keluar dari keadaan ini.
Saat Jae membayangkan kembali bagaimana hari itu Shin menatapnya dengan matanya yang berkaca-kaca, dia seakan memberi tahu Jae bagaimana dunianya. Jae merasa tersedot untuk beberapa saat ke dalam mata cokelat itu dan ingin tinggal di sana untuk waktu yang lama. Selama beberapa hari berikutnya ia merasa penasaran dan ingin memasukinya lebih jauh lagi, lebih dalam lagi.
Di suatu tempat.
Ponsel Jae berdering, membuyarkan lamunannya. Ia melihat nama Kim di layar, dan Jae pun tak ingin menunda untuk menjawabnya.
"Tuan, Tuan, aku baru saja mengantar wanita itu sesuai perintah Anda."
"Bagus."
"Tapi, Tuan. Apa ... Anda yakin dengan keputusan Anda ini? Jika memang Tuan menolak perjodohan ini, aku bisa membicarakannya dengan Nyonya besar, Tuan tidak perlu marah seperti ini!"
Jae tersenyum. "Justru aku merasa senang setelah mengambil keputusan ini."
"Hah? Tuan, tapi Anda belum pernah melihat keponakannya itu, kan?"
"Kami sudah pernah bertemu di jalan."
"Lalu, apa Anda benar-benar sudah mengenalnya, Tuan?"
"Aku tidak pernah bicara dengannya."
"Apa? Lalu, bagaimana Tuan akan hidup dengannya? Bagaimana jika dia punya banyak kebiasaan yang buruk? Atau mungkin dia seorang yang jorok dan penggunjing? Bagaimana jika dia menderita penyakit menular?"
"Itu hanya masalah kebiasaan, semua itu bisa diubah. Ada sesuatu dari dalam diri manusia yang tidak bisa diubah. Jika ada kesempatan untuk bisa mengubahnya, hal itulah yang mesti diutamakan. Seperti keinginanku untuk menikah. Apa pun keburukannya, jika memang aku ditakdirkan untuk merasakan hal yang sama, maka apa pun bisa menjadi perantara."
"Tuan, seandainya Anda tahu di mana mereka tinggal ... rumahnya ada di belakang tempat pembuangan sampah yang waktu itu kita lihat! Jika Anda berpikir aku berbohong, aku bisa kirimkan fotonya ke ponsel Anda!"
"Tidak usah, besok kita akan ke sana, kan?"
"Tuan? Apakah itu artinya Anda benar-benar akan melamar keponakannya?"
"Kapan kau pernah melihatku bercanda, hah?" celetuk Jae lalu menutup teleponnya. "Tidak berguna," gumamnya sendiri.
*****