Chereads / Perawan Tua Untuk Tuan Muda / Chapter 13 - Boneka dan Gadis Bergigi Kelinci

Chapter 13 - Boneka dan Gadis Bergigi Kelinci

Tiba-tiba muncul, nyonya uang recehan itu kembali mengingatkan Jae akan takdirnya. Sekretaris di hotelnya memberi tahu kue yang telah dipesannya untuk keseratus anak asuhnya telah datang dan begitu Jae berbalik hendak mengambil uang untuk membayar harga kuenya, ia melihat Shin sudah berdiri di sana. Jae terkejut meski hanya bergeming di samping kursinya. Tetap dengan gaya yang sama, dia melihat Jae di celah-celah poninya yang terlalu panjang sambil sedikit menundukkan wajah. Kendati begitu, Jae sangat yakin dia adalah orang yang sama dan wanita itu pun menyadarinya juga.

Bagaimana bisa? Hari itu jauh sebelum Jae bertemu dengan nyonya itu di toko perhiasan, Jae memang memerintahkan manajernya untuk memesan seratus kue yang rencananya akan ia bagikan kepada anak-anak asuhnya di panti asuhan pada acara pembagian bantuan dana hari ini. Ia tidak terlibat dalam pemilihan kue ataupun toko kue mana yang akan dipesan, karena menurutnya itu tidak penting dan ia percayakan semua urusan pada manajernya.

Setiap bulan Jae mengadakan acara yang sama. Untuk kali ini ia membuatnya sedikit berbeda. Ia tiba-tiba saja ingin membuat anak-anak senang dengan menikmati kue cokelat sebelum acara makan siang bersama di salah satu hotelnya. Perubahan kecil itu tak disangka membawa pengaruh besar dalam dirinya. Setelah sempat hadir, lalu beberapa hari menghilang dan Jae sudah tidak lagi memikirkannya, wanita itu tiba-tiba datang, kembali memasuki dunianya.

Kakinya melangkah canggung mendekati nyonya si pembuat kue cokelat itu sambil tercengang-cengang. Dia semakin menundukkan kepalanya dengan takut-takut seakan Jae hendak mengajukan sebuah tuduhan. Hati Jae sendiri terpusat padanya. Ia menggali ingatannya di tengah usahanya menyadarkan dirinya sendiri bahwa itu benar dia. Ia berjalan pelan-pelan seperti orang hilang akal padahal otaknya bekerja keras mencerna apa yang telah terjadi padanya selama satu minggu kemarin. Akhirnya Jae pun mengakui dirinya tidak bisa melupakan wanita itu. Ia pun berhenti tepat di hadapan Shin yang kian tertunduk gugup.

Shin membantu membagikan kue-kue buatannya pada anak-anak. Ketika sehelai benang dari lengan pakaiannya tersangkut pada bagian crown jam tangan Jae, dia ketakutan. Wajah mereka berdekatan, Jae bisa merasakan kegelisahan dalam napas wanita itu kendati rambutnya yang selalu kusut menutupi pipinya dan nyaris juga bibirnya. Begitu dengan penampilannya yang cuek menambah kesan sederhana pada diri wanita itu. Celana jins lusuh dan kemeja longgar berwarna gelap, dia jauh dari kata anggun dan tampak tidak menarik. Jae tidak percaya masih ada wanita yang betah berpenampilan seperti itu di tengah pesatnya perkembangan dunia fashion Gangnam-gu.

Jae membantunya untuk melepaskan sangkutan benang pada arlojinya karena Shin tampak ragu-ragu hendak melakukannya. Sambil berusaha, Jae memandangnya diam-diam. Kemudian sebuah perasaan menenangkan membiusnya pelan-pelan. Tangan Jae terasa gatal ingin menyapu rambutnya yang merah karena terbakar matahari dan juga sedikit kering itu dari wajahnya. Jae ingin melihatnya sekali lagi dengan jelas seperti apa wanita yang telah membuatnya penasaran selama beberapa hari kemarin. Tidak, tidak hanya ingin melihatnya saja, Jae tiba-tiba merasa inginkan lebih dari itu.

Benang itu memang terlepas dari jam tangan Jae, tapi Jae merasa ada yang terikat dalam hatinya. Ia menatap sang pembuat kue sambil melempar senyuman simpul tapi yang ia dapati hanya matanya yang bulat mengerling singkat ke arahnya.

Akhirnya setelah memastikan setiap anak mendapatkan jatah kuenya, Jae pergi begitu saja ke salah satu kamar hotel yang biasa ia tempati ketika berkunjung. Ia meminta sekretarisnya untuk ikut dan memberikan uang pembelian kue pada Shin tanpa rencana apa pun. Setiap kali meyakini apa yang terjadi padanya, hati kecilnya selalu menolak untuk memulainya. Ia yang tidak pernah memikirkan tentang sebuah pernikahan, ia yang takut pada kehidupan pernikahan, tiba-tiba saja ia merasa berani untuk memutuskan bahwa ini adalah saat yang tepat ketika ia melihat Shin.

Jae melihatnya dari atas, lewat kaca jendela kamar inapnya. Nyonya itu keluar dari gedung dan berhenti tepat di pertengahan halaman depan. Jae berdebar mengawasinya. Terselip harapan untuk sebuah kepastian. Akhirnya wanita itu mengangkat wajahnya ke langit, termenung sejenak, lalu senyumnya tersungging jelas. Dia tersenyum! Jae tahu itu meski dia jauh. Jae pun terpana tanpa sadar seolah-olah Shin sedang tersenyum untuknya.

Tuhan tahu Jae tidak akan mendekati sesuatu yang ia takuti. Ia tidak akan meminta apa yang tidak bisa ia miliki. Ia percaya dirinya bisa bertahan seorang diri. Namun jika itu adalah sebuah pertanda Jae harus memulai sesuatu untuk memberikan apa yang ia miliki pada orang lain, maka Jae memohon untuk diberikan satu jalan lagi agar bisa melangkah dengan pasti.

*****

Jae menggoyang kepala bonekanya yang telah patah. Boneka kelinci berbulu yang sangat kotor dan lusuh. Jahitan pada bagian lehernya putus dan membuat sekitarnya rusak, sehingga beberapa helai dacron yang menjadi isinya pun keluar. Warnanya yang putih pun telah usang. Benda seperti itu mungkin sudah seharusnya dibuang, tapi Jae masih menyimpannya dengan baik. Boneka seukuran lengan tangannya itu adalah sahabat Jae. Boneka itu tidak memiliki nama khusus, tapi dia setia menemani Jae yang kesepian dalam kamarnya. Jae berpikir, lalu mulai merenung.

Boneka itu diberikan kepada Jae sejak ia berusia sepuluh tahun oleh seorang gadis, putri dari buruh cuci harian yang disewa ayahnya. Gadis bergigi kelinci itu mengajaknya bermain, akan tetapi Jae malah bersembunyi di dalam kamar. Jae ketakutan karena ia sama sekali tidak pernah berteman dengan siapa pun. Di sekolah ia kerap minder dengan teman-teman sekelasnya karena mereka semua tidak terlalu menyukai Jae yang penyendiri, pendiam dan pemurung. Jae keluar untuk menemui gadis itu karena penasaran. Ia ingin menanyakan namanya sebab tertarik ingin bermain dengannya. Takut-takut Jae menemuinya kembali, memberanikan diri untuk menjadi temannya. Sayangnya dia telah pergi dan meninggalkan boneka itu di depan pintu. Jae pun mengambilnya, lalu menyimpannya. Sejak saat itu, bibi buruh cuci itu sudah tidak pernah datang dan Jae sudah tidak pernah bertemu dengan gadis itu lagi.

Hingga saat ini, Jae selalu memainkannya dan mengajaknya mengobrol layaknya teman. Jae pun merasa lega dan senang. Selain itu, di dalam rumah tiada orang yang menemaninya karena kedua orang tuanya adalah orang yang sangat sibuk. Sehingga Jae lebih suka menyendiri dan cenderung pemarah. Jae begitu menyayangi boneka kelincinya ini kendati ia kurang baik dalam merawatnya.

Pernah suatu hari ia marah karena Ibu membuang bonekanya ini, ketika Jae meminta sang ibu untuk menjahit bagian yang rusak. Ibu merasa itu hanya mengganggu waktunya. Menurutnya, Jae adalah anak yang aneh karena terus bicara pada boneka sementara tidak pernah menanggapi sapaan dari sang ibu saat pulang bekerja. Hingga saat ini pun Jae tidak bisa melenyapkan rasa sakit hatinya pada waktu itu untuk ibunya. Ia berteriak, berkata pada ibunya bahwa sepantasnya ia bertemankan boneka karena ibunya sendiri memperlakukan Jae seperti boneka yang tidak punya hati dan keinginan.

Saat itu pun Jae bersumpah pada dirinya sendiri tidak akan membuang boneka kelincinya ini meski dengan alasan apa pun atau bagaimanapun kondisinya. Boneka ini akan selalu ada di kamarnya. Namun ketika ia mulai memikirkan sebuah pernikahan, apakah Jae harus tetap menyimpannya? Bagaimana ketika nanti ia sudah menemukan wanita yang tepat, yang mau peduli padanya dan akan selalu menemaninya, wanita itu malah tidak ingin boneka ini ada di kamarnya lagi? Bisakah Jae menurutinya, menyingkirkan bonekanya demi wanita yang ia cintai?

Tak banyak yang ingin ia lakukan setelah pertemuannya kembali tadi pagi dengan Shin. Setelah beberapa hari yang lalu tidak ingin lagi memikirkannya dan menganggap apa yang ia rasakan kala itu hanya sebuah ketertarikan semata, Jae tidak mengerti kenapa mereka dipertemukan kembali dan sebuah rasa tiba-tiba menetap lalu terpatri dalam hatinya. Ini aneh. Begitu banyak gadis di sekelilingnya, tapi Jae merasa jemu dengan melihat semua itu. Namun ketika melihat Shin, Jae melihat akan ada sebuah perbaikan besar dalam hidupnya.

Jae tahu dia adalah wanita yang sederhana dan pekerja keras. Wanita seperti dia, berjuang untuk mendapatkan apa yang dia butuhkan, bukan hanya apa yang diinginkannya saja. Wanita seperti itu, tentu akan mempertahankan apa yang telah diperjuangkannya dan sudah pasti bisa menghargai sebuah usaha. Wanita sepertinya tentu pernah terjatuh dan pasti tidak akan takut bila harus terjatuh lagi. Dia wanita yang kuat karena berani membela dirinya yang tertindas. Menurut sudut pandangnya itu, Jae pun berkesimpulan.

*****